PADANG, HALUAN — Untuk menanggulangi melonjaknya permintaan pasar terhadap sejumlah bahan pangan jelang Ramadan dan untuk menghadapi Lebaran tahun ini, pemerintah mengambil kebijakan impor, antara lain impor daging sapi, impor bawang merah, dan impor gula.
Terkait kebijakan tren impor ini, pengamat ekonomi Sumbar Prof. Niki Lukviarman mengatakan, hal itu sah-sah saja asalkan tak berkelanjutan.
“Pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang tak bisa digantikan. Karena itu, kebijakan impor yang dilakukan karena pertimbangan ekonomi, yaitu menjaga terpenuhinya ketersediaan pangan dengan harga terjangkau, saya kira sah saja,” ujar Rektor Universitas Bung Hatta (UBH) Padang itu kepada Haluan baru-baru ini.
Ia menerangkan, sesuai dengan fungsi dan amanatnya, pemerintah bertanggungjawab menjaga keseimbangan ketersediaan pangan dengan harga terjangkau tersebut melalui berbagai mekanisme yang tersedia, salah satunya impor. Apalagi lonjakan permintaan biasanya selalu terjadi menjelang Lebaran, yang harus diantisipasi pemerintah walaupun terjadi kelangkaan stok.
“Namun perlu dicatat, impor hanya merupakan salah satu mekanisme yang memberikan solusi jangka pendek,” tuturnya.
Niki juga memberikan pandangannya terhadap adanya pendapat sejumlah kalangan yang mengatakan, tren impor pangan oleh pemerintah akibat kegagalan pemerintah mengelola sumber daya alam dalam negeri yang sebetulnya melimpah.
“Menurut saya tidak melulu soal kegagalan. Ada faktor tidak terkontrol bagi pemerintah atau pihak manapun, misalnya “cuaca”, yang memengaruhi hampir seluruh produk pangan, misal hujan berkepanjangan, masa paceklik panas, abu gunung, yang membuat ketersediaan beberapa bahan pangan tidak sesuai dengan harapan,” papar Niki.
Meski atas pertimbangan ekonomi, yaitu demi berimbangnya ketersediaan dan kebutuhan masyarakat, impor dibenarkan. Namun Niki tak setuju jika tren impor pangan oleh pemerintah dilakukan berkepanjangan.
“Saya tidak setuju. Dalam jangka panjang impor tetap tak menyelesaikan masalah karena menimbulkan ketergantungan, kecuali tak tersedia barang substitusi impor di dalam negeri,” ujarnya.