Hampir seluruh publik Sumbar, baik itu pecinta sepakbola maupun tidak, mengetahui nasib Semen Padang FC (SPFC) di gelaran Liga 1 Indonesia edisi 2019 ini. Jadi, kiranya, tak menarik lagi untuk diulas. Bisa jadi, sebagian dari mereka itu tahu lebih dalam soal kondisi kini. Akhirnya, spekulasi bisa bermunculan.
RAKHMATUL AKBAR
(Wartawan Utama)
Bicara soal SPFC, rentangnya panjang. Tak hanya kekinian. Dari capaian yang ada, era promosi tim dari level Divisi Utama 2009-2010 ke Indonesian Super League (ISL) merupakan era yang menarik untuk diingat kembali. Ya, menarik untuk diingat kembali hingga masa PSSI “dikubur” FIFA 2015 silam.
Di musim 2009-2010 itu, SPFC kala itu diarsiteki Arcan Lurie yang asal Moldova, naik level. Tim berjuluk Kabau Sirah itu mentas di ISL musim berikutnya dengan status sebagai juara ketiga Divisi Utama musim 2009-2010. Saat itu, manajemen tim sudah mulai dikelola oleh sebuah perusahaan bernama PT Kabau Sirah Semen Padang (KSSP). Masih di bawah payung PT Semen Padang tentunya.
Tak seperti sebelumnya dimana pengelola tim ini berstatus pengurus yang dipimpin oleh Ketua Umum PS Semen Padang, PT KSSP dipimpin oleh seorang Direktur Utama didampingi tiga direksi, mulai dari Direktur Keuangan, Direktur Operasional-Komersial dan Direktur Teknik, plus jajaran komisaris. Secara regulasi sepakbola Indonesia kala itu, memang demikian harusnya.
Tahun 2010-2011 adalah ujian pertama manajemen tim ini untuk berkiprah di liga elite Indonesia itu. Hasilnya, mengejutkan. Berstatus sebagai tim promosi, SPFC finish di posisi 4, persis berada di bawah tim sekelas Persipura Jayapura yang jadi juara, Arema dan Persija. Pun yang tambah mengejutkan, SPFC justru “hanya” dilatih oleh Nil Maizar yang saat itu dianggap pelatih kelas 2.
Sukses dengan ujian pertama, SPFC makin mentereng. Saat kompetisi berikut nya yang berganti lebel menjadi Indonesian Premier League (IPL), tim ini jadi juara, plus runner up Piala Liga. Hasilnya, satu bintang di dada akan terus tersematkan di jersey tim. Tahun berikutnya, tahun 2013 kompetisi Indonesia carut marut. Ada dualisme. Ada IPL yang SPFC di dalamnya, dan ada ISL yang dianggap breakaway league. Hasilnya, IPL terhenti di tengah jalan. Namun, di awal kompetisi, Hengki Ardiles Cs sempat juga menggenggam gelar. Mereka menjadi juara Community Shield setelah mengalahkan Persibo Bojonegero.
Untungnya, di tahun 2013 itu, SPFC masih tetap bisa bersepakbola. Kendati IPL terhenti, tim ini justru mengambil simpatik di level Asia. SPFC jadi wakil Indonesia di ajang AFC Cup karena menjadi juara di kompetisi tahun 2012.
Di kompetisi Asia ini, tim yang berdiri 30 November 1980 silam ini malah berhasil melenggang ke babak 8 besar . Catatannya juga moncer. Anak asuh Jafri Sastra ini tak tersentuh kekalahan hingga fase 16 besar. Edward Wilson Cs kala itu, tak bisa dikalahkan wakil tim asal Singapura, India, Hong Kong dan Vietnam. Di babak 16 besar, barulah langkah mereka terhenti oleh tim asal India lainnya, East Bengal.
Di tahun berikutnya, tim yang dikelola PT KSSP ini mulai berlaga di kompetisi ISL setelah PSSI memutuskan peleburan kompetisi. Formatnya dua wilayah. Tergabung di wilayah Barat, SPFC berlabuh di posisi ketiga dan berhak lolos ke delapan besar. Semen Padang berpeluang ke semifinal. Di laga terakhir pada fase ini, mereka “nyaris” memang atas Arema. Sebagian kalangan menyebut laga ini penuh intrik. Kendati demikian, PT Liga tetap menyematkan penghargaan untuk SPFC sebagai tim Fair Play sepanjang kompetisi 2014. Di sisi lain, tim muda mereka, SPFC U-21 justru berhasil mengangkat piala dengan status sebagai juara ISL U-21.
Namun, tahun 2015, kompetisi sepakbola di Indonesia kembali terhenti di tengah jalan. Sepakbola Indonesia dibekukan FIFA karena melanggar statuta. Pemerintah campur tangan dalam persoalan federasi sepakbola di negeri ini. Tak hanya itu. Indonesia juga terlempar dari percaturan sepakbola dunia dan dilarang mengikuti Pra Piala Dunia 2018 di Rusia.