SPFC dan Manajemen Sepakbola

Administrator
- Rabu, 4 Desember 2019 | 16:56 WIB

Itu memorinya. Itu sedikit runtutan capaian tim di bawah pengelolaan manajemen kala itu. Pascapembekuan oleh FIFA, SPFC juga pernah mencapai hasil gemilang kala menjadi runner up Piala Jenderal Sudirman sebelum akhirnya dikandaskan Mitra Kukar di babak final tahun 2015 dan semifinalis Piala Presiden tahun 2017. Sebuah turnamen yang diadakan untuk mengisi kevakuman sepakbola nasional.

Lalu, apakah kita bisa bandingkan manajemen tim era gemerlap itu dengan era redup seperti dua tahun terakhir? Jika dilihat dari sudut pandang finansial mungkin akan sulit menyetarakannya.  Cash in dan cash out PT KSSP jika dibandingkan kala itu dengan momen saat ini jelas berbeda. Nilai rupiah yang digelontorkan dari penyokong utama, PT Semen Padang terus menyusut. Apakah PT Semen Padang salah? Mungkin tak tepat juga menyalahkannya karena roda bisnis perusahaan semen itu memang sedang sulit berputar.

Selain dukungan yang makin menipis, format kompetisi juga memiliki biaya tinggi. Apalagi di musim depan saat Persiraja sudah memastikan tempat di Liga1 2020. PT KSSP benar-benar harus bisa menjadi manajemen mandiri hingga melepaskan ketergantungan dari PT Semen Padang.  Mulai dari sisi biaya hingga sisi personil.

Cerita soal melepas ketergantungan inipun, bukan cerita baru.  Era gemerlap tadi, manajemen PT KSSP sudah mulai dituntut untuk mandiri. Hal itu mulai ditandai dengan menipisnya pasokan dari induk. Belum lagi format kompetisi sempat dua wilayah yang notabene cost nya juga ikut berkurang. Menariknya, pada saat bersamaan, mereka juga berhasil mengembangkan asset. Salah satu aset yang sudah bisa diraup saat itu adalah lahan yang rencananya untuk pembangunan stadion.

Setidaknya, ada 7 hektare lahan yang menjadi aset saat itu di dekat kawasan Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Ada juga toko resmi penjualan assesoris tim yang disebut Kabau Sirah Shop. Ada juga upaya pelaksanaan program CSR dan beberapa lainnya. Dari aset ini, sebenarnya ditargetkan menjadi salah satu sumber income perusahaan. Sempat juga ada pembicaraan dengan calon investor saat itu.

Soal lahan untuk stadion, tentu bukan hanya untuk stadion. Bisa saja untuk membangun hotel atau venue lainnya. Areal parkirnya bisa saja disulap menjadi areal balap motor Non Permanen. Belum lagi nilai komersil nya saat ini dimana tak jauh dari kawasan itu juga direncanakan pembangunan mall. Dalam sebuah diskusi kala itu, bukan tak mungkin sekelas Timnas Indonesia menggelar TC di areal milik PT KSSP tersebut. Tentu dengan standar yang sepakbola nasional pula.

Tapi, apakah PT KSSP punya budget untuk itu? Tentu kita semua tidak yakin. Namun, dengan konsep kerja sama B to B tak menutup kemungkinan areal tersebut bisa dibangun. Ada juga konsep perjanjian BOT (Built Over Transfer)-pun bisa. Sepakati saja jangka waktunya. Banyak lagi yang lainnya. Minimal, belajar lah dengan pengelolaan Bali United yang baru saja berpesta di Stadion H Agus Salim. Tim ini bahkan sudah melantai di bursa saham setelah melakukan IPO (Initial Public Offering) pertengahan tahun ini.

Ini tentunya bisa menjadi bagian upaya untuk melangkah menjadi tim yang dikelola oleh manajemen mandiri. Bukan tak mungkin Semen Padang FC itu akhirnya berubah nama menjadi Kabau Sirah United atau lainnya. Apakah itu mungkin? Ya mungkin saja. Karena ketika manajemen PT Semen Padang melepaskan tanggung jawab karena “tak sanggup”. Pola yang dibangun pun pola kemitraan dengan pengelola berdasarkan pihak yang memiliki basis bisnis, terutama bisnis sepakbola.  Pun demikian dengan PT Semen Padang. Hanya kemitraan seperti Freeport dengan Persipura.

Tak kalah penting adalah value added (nilai tambah) atas kelompok supporter yang dimiliki SPFC. Saat sepakbola dikenal sebagai industri, maka keberadaan supporter tak lagi sekedar pemain ke 12 yang mendukung tim di lapangan. Jika masih berpandangan demikian, mindset para pengelola tim perlu direcovery. Mereka, adalah aset. “Jual” saja. Mereka bukan penonton, tapi suporter. Tawarkan keberadaan mereka sebagai salah satu komponen tim agar investor bisa melirik SPFC.

Soal loyalitas, ada klaim yang menyebut para supporter tersebut sudah mencapai 20 ribu orang tersebar di beberapa kelompok supporter.  Belum lagi mereka yang rela mendampingi tim saat laga away. Apakah loyalitas nan demikian dianggap tak ada harga? Belum termasuk para supporter yang ada di dunia maya.  Lihat saja tim-tim besar Indonesia lain, seperti Persib Bandung, Persija Jakarta lalu PSS Sleman. Supporter itu adalah nilai tambah mereka.

Jadi, alangkah lebih baik jika opsi pembubaran tim yang kini tengah butuh support dan dukungan itu diganti dengan opsi perubahan manajerial. PT KSSP yang selama ini dikenal sebagai anak perusahaan PT Semen Padang bisa saja dilepaskan dari induknya menjadi perusahaan sendiri. Dan personil yang ada sekarang, bisa kembali ke induk menjadi karyawan yang profesional. Tentunya, disesuaikan dengan runut aturan BUMN yang mengikatnya karena PT Semen Padang itu berstatus BUMN, plus regulasi sepakbola nasional. Siapa pengelola “baru” itu? Tentu orang-orang yang lebih mengerti soal bisnis sepakbola.

Jika memang memaksakan tim ini dibubarkan sebagai opsi yang dipilih, sejarah sepakbola Indonesia yang akan mencatatnya. Sejarah sepakbola akan mencatat, mereka yang bertanggung jawab atas tim saat ini, sekedar lepas tanggung jawab, tapi abai atas opsi lain. Pokoknya, bubar! Tapi tanggung jawab moral dan tanggung jawab akan historis akan tercatat sepanjang masa.

Terasa agak egois memang ketika mimpi ini dihadapkan dengan perhitungan matematis operasional PT Semen Padang yang harus ikut “mengurus” sepakbola lewat PT KSSP-nya. Namun, upaya ini bisa saja menjadi opsi terbaik agar orbit sepakbola Sumbar tetap berputar seiring belum tampaknya tim sepakbola yang bisa mengarah ke professional. Belum lagi ketika harus bicara historis. Semen Padang FC adalah salah satu buah tangan Azwar Anas kala ia menjadi Dirut. Sampai saat ini, masih terpelihara. Ia adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari sepakbola professional di negeri ini. Ia adalah Dirut PTSP, Gubernur Sumbar, Menteri hingga seorang Ketum PSSI yang membuka kran sepakbola profesional di Indonesia. (*)

Halaman:

Editor: Administrator

Terkini

X