Inflasi Turki saat ini menembus level tertinggi selama 20 tahun terakhir, yaitu 61,14 persen pada Maret 2022 lalu. Inflasi di Turki terjadi karena dampak dari perang Rusia-Ukraina karena harga energi dan komoditas yang meningkat.
Namun, jauh sebelum inflasi menembus 61 persen, ekonomi negara pimpinan Recep Tayyip Erdogan itu sudah terguncang sejak tahun lalu. Dari catatan redaksi, sejak April tahun lalu inflasi Turki sudah meroket di atas 16 persen akibat gonta-ganti gubernur bank sentral Turki dan kebijakan moneternya.
Kala itu, Naci Agbal lengser dari kursi gubernur bank sentral secara tiba-tiba, mengakibatkan penjualan mata uang lira rontok secara berjamaah.
Sebelum itu pun sebetulnya inflasi Turki telah bergejolak dalam enam bulan berturut-turut dan meroket dua kali lipat sejak empat tahun terakhir.
Agbal dicopot hanya empat bulan menjabat sebagai gubernur bank sentral. Sebelum Agbal, Erdogan sudah mengganti empat gubernur bank sentral. Kebijakan itu diyakini 'melukai' kredibilitas moneter Turki. Juga, membuat lira tertekan sehingga mendorong inflasi lewat aktivitas impor.
Seiring berjalan waktu, inflasi dan penurunan mata uang Lira kian memburuk hingga puncaknya pada November 2021 saat sekelompok pengunjuk rasa turun ke jalan di Istanbul. Sekitar 250 pengunjuk rasa sempat bentrok dengan polisi saat mengorasikan desakan agar Erdogan segera turun dari jabatannya.
Inflasi lira terus meroket hingga mencapai 15 persen terhadap dolar AS per Selasa (23/11) tahun lalu. Saat itu, per dolar AS seharga lebih dari 13 lira, sedangkan pada 2020, 1 dolar AS masih dihargai 8 lira.
Di Ibu Kota Ankara, puluhan pedemo juga turun ke jalan guna memprotes harga barang dan kebutuhan yang semakin tinggi akibat inflasi.
Baca Juga: Inflasi Dirasakan Masyarakat, Jokowi: Nggak Mungkin Kita Tidak Naikkan Harga BBM
Politikus oposisi di parlemen Turki menganggap inflasi ini menggiring Turki menghadapi 'malapetaka' paling gelap dalam sejarah.
Kilicdaroglu menyalahkan Erdogan, yang telah memimpin Turki sejak 2003, sebagai penyebab nilai lira yang terus terperosok.
Mantan perdana menteri Turki, Ahmet Davutoglu, eks sekutu Erdogan, menganggap kebijakan ekonomi sang presiden merupakan bentuk 'pengkhianatan dan bukan soal ketidaktahuan.'
Protes keras itu sejalan dengan kebijakan Erdogan memangkas suku bunga bank sentral yang ia yakini dapat menggenjot ekspor, investasi, dan lapangan pekerjaan. Di sisi lain, sebagian ekonom menilai penurunan suku bunga adalah kebijakan yang 'sembrono'.
Kemerosotan lira berujung pada pencopotan menteri keuangan negara itu pada Desember 2021. Menurut dekrit presiden, Erdogan menerima pengunduran diri dari mantan menkeu Turki Lutfi Elvan dan menunjuk Nureddin Nebati sebagai penggantinya.
Artikel Terkait
Rekomendasi Saham di Tengah Ancaman Inflasi Global
Ramai Dijatuhi Sanksi, Turki Siap Sambut Kedatangan Miliarder Rusia yang Terkena Imbas Invansi
Perundingan Rusia-Ukraina di Turki Hari Ini, Erdogan: Harapkan Perdamaian Segera