Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjelaskan bahwa akan ada beberapa profesi pekerjaan yang diperkirakan akan hilang di tahun 2030 mendatang. Hal tersebut terjadi lantaran perkembangan teknologi yang kian masif.
Pernyataan tersebut disampaikan Erick Thohir pada saat mengisi kuliah umum di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).“Dengan digitalisasi akan banyak pekerjaan yang hilang, jenis usaha juga berubah. Studi di 3 negara Amerika, Jerman, dan Australia menyatakan semua negara itu akan hilang pekerjaan dibandingkan yang tumbuh,” ujar Erick Thohir.
Erick Thohir juga menjelaskan sekarang merupakan era pertumbuhan ekonomi berdasarkan kapabilitas dari pada sumber daya manusia (SDM). Erick juga berharap bahwa tidak hanya infrastruktur yang akan mengalami pembangunan, akan tetapi sumber daya manusianya juga harus dibangun agar bisa memiliki kemampuan yang meningkat.
Adapun sembilan pekerjaan yang akan hilang pada 2030 yakni tenaga jasa penyiapan makanan, tenaga administrasi perkantoran, tenaga jasa transportasi, hingga tenaga produksi manufaktur non auto.
Baca Juga: Harga Pertalite Naik? Ini Bocoran dari Erick Thohir
Kemudian, construction and extraction, traditional farming, fishing, and forestry, sales and related field, social media manager, dan terakhir adalah tenaga jasa keamanan.
"Ini eranya kita membangun knowledge base economy, yaitu pertumbuhan ekonomi berdasarkan kapabilitas manusianya. Jangan sampai infrastrukturnya ada, manusianya tidak ada," kata Erick.
Erick menyebut, ada sekitar 17 juta pekerjaan baru yang dibutuhkan di masa depan berdasarkan kebutuhan teknologi yang ada. Baik itu di sektor pendidikan, pertanian, sampai dengan sektor pertambangan.
"Kita akan launching 5G mining pertambangan 5G di Freeport satu, dua bulan ke depan, akan jadi pertama di Asia Tenggara," jelasnya.
Artikel Terkait
Bocoran Reshuffle Kabinet, Eko: Erick dan BGS Pindah Posisi
Erick Thohir Temui Prabowo di Kemhan, Berikut Isi Pertemuannya
Andre Rosiade Apresiasi Gerak Cepat Menteri Erick-Jaksa Agung Tangani Kasus Garuda