JAKARTA, HARIANHALUAN.COM - Belum lama ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Wakil Gubernur Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan akan mendenda warung-warung yang kedapatan menjual rokok kepada anak di bawah umur. Tak tanggung, dendanya mencapai Rp50 juta.
Peraturan tersebut, kata Ahmad Riza, sudah tertuang dalam Peraturan Daerah yang juga membatasi area-area untuk merokok. Tak hanya itu, Pemprov DKI Jakarta juga menegaskan untuk menutup seluruh stiker dan juga baliho terkait iklan rokok.
Baca Juga: Warga DKI Ingatkan Pejabat untuk Bertanggung Jawab Atas Polusi Udara
Kepala Seksi Ketentraman, Ketertiban Umum dan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Barat Ivand Sigiro menjelaskan, sudah mulai melaksanakan kegiatan penertiban tempat usaha yang memasang reklame rokok atau memajang bungkus rokok.
Aturan terkait denda, area, dan pemasangan reklame itu, menurut Pemprov, dalam rangka melaksanakan program Jakarta Bebas Rokok. Harapannya, sederet aturan ini dapat mengurangi jumlah perokok aktif, sekaligus melindungi warga agar tak menjadi perokok pasif.
Baca Juga: Maling Teriak Maling, YE Kuras Ratusan Bungkus Rokok
Pasalnya, grafik perokok aktif di Indonesia terus merangkak naik. Yang mengkhawatirkan, sejumlah perokok ini ternyata masih di bawah umur, kebanyakan usia remaja atau anak-anak yang baru memasuki remaja.
Terbukti, prevalensi merokok di populasi usia 10-18 tahun terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018.
Sementara itu, prevalensi merokok pada populasi usia 10 hingga 18 tahun meningkat sebesar sebesar 1,9% dari tahun 2013 di angka 7,2% menjadi 9,1% pada tahun 2018.
Pandemi pun seakan tak menjadi halangan bagi para perokok. Mereka bahkan tak mau mengurangi kuantitas rokok yang mereka konsumsi setiap hari. Anjloknya perekonomian dan ancaman virus Covid-19 belum cukup memotivasi mereka untuk berhenti.
Berdasarkan survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), sebanyak 77,1% responden dari keluarga miskin menyatakan tidak menurunkan konsumsi rokoknya selama pandemi. Sebaliknya, konsumsi rokok justru cenderung meningkat.
Riset itu juga memperlihatkan, sebanyak 73,2% kepala rumah tangga dan pencari nafkah tetap mempertahankan pengeluaran rokoknya meski kondisi ekonomi menurun.
Direktur IDEAS Yusuf Wibisono memaparkan, para responden lebih memilih menurunkan atau meniadakan kebutuhan lain agar dapat terus merokok dengan jumlah sama.
Dari hasil survei tersebut, sebesar 39,7% responden mengaku rela membeli lebih mahal rokok pilihannya, yang di masa pandemi harganya naik. Sementara 21,2% responden menurunkan pengeluaran rokoknya di masa pandemi, meski hal ini tidak selalu berimplikasi pada turunnya konsumsi rokok.