Perlu Waspada! Segmen Megathrust Selat Sunda Bisa Picu Gempa 8,7 M

- Sabtu, 15 Januari 2022 | 20:15 WIB
Data BMKG Ungkap Sumber Gempa Sumur Banten Berhubungan dengan Megathrust
Data BMKG Ungkap Sumber Gempa Sumur Banten Berhubungan dengan Megathrust

JAKARTA, HARIANHALUAN.COM - Selat Sunda dan sekitarnya merupakan wilayah yang kerap terjadi gempa hingga tsunami. Terbaru adalah gempa 6,6 magnitudo dekat Ujung Kulon, berpusat di 52 kilometer barat daya Sumur, Pandeglang, Banten.

Meski guncangan terasa cukup kuat, namun menurut Koordinator Bidang Mitigasi gempa Bumi dan tsunami BMKG, Daryono, gempa ini bukan ancaman sesungguhnya.
Daryono mengatakan, ada potensi ancaman yang lebih besar dan harus diwaspadai. Yakni, segmen megathrust Selat Sunda yang bisa memicu gempa hingga 8,7 magnitudo.

Baca Juga: Data BMKG Ungkap Sumber Gempa Sumur Banten Berhubungan dengan Megathrust

"gempa Ujung Kulon kemarin sebenarnya bukan ancaman sesungguhnya karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7 dan ini dapat terjadi sewaktu-waktu, inilah ancaman yang sesungguhnya," jelasnya dikutip dari Kumparan.com, Sabtu (15/1).

megathrust adalah zona jalur lempeng bersubduksi secara panjang namun relatif dangkal. Zona ini terbentuk ketika lempeng samudra bergerak ke bawah menunjam lempeng benua dan menimbulkan gempa bumi.

Baca Juga: BMKG Sebut Gempa Selatan Jawa Timur Hari Bukan Megathrust

Di selatan Jawa setidaknya ada tiga zona megathrust, yakni Segmen Jawa Timur, Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan Segmen Banten-Selat Sunda.

Daryono mengatakan, gempa besar karena segmen megathrust Selat Sunda bisa terjadi sewaktu-waktu, karena wilayah ini belum pernah diguncang gempa sangat besar dan diapit 2 lokasi gempa besar di Pangandaran dan Bengkulu.

"Kapan saja dapat terjadi karena Selat Sunda ini merupakan salah satu zona seismic gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar sehingga patut diwaspadai karena berada di antara 2 lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami yaitu gempa Pangandaran magnitudo 7,7 (2006) dan gempa Bengkulu magnitudo 8,5 (2007)," paparnya.

Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, menurut Daryono, wilayah Selat Sunda beberapa kali terjadi tsunami, baik karena aktivitas kegempaan maupun gunung berapi.

"tsunami Selat Sunda pada tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa. tsunami tahun 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran," rincinya.

Meski demikian, Daryono memastikan hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami. Hal terpenting yang harus dipersiapkan, kata dia, adalah proses mitigasi yang harus dipahami masyarakat.
gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan, bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa.

"Namun dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret seperti membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami," terangnya.

"Kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi, seperti perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami, menyiapkan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri di samping itu BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat," pungkasnya. (*)

Halaman:

Editor: Milna Miana

Sumber: Kumparan.com

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X