HARIANHALUAN.COM - Anggaran infrastruktur yang dialokasikan dalam era pemerintahan Joko Widodo memang sangat besar.
Dalam lima tahun terakhir, anggaran infrastruktur mencapai sekitar 13% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tanpa menghitung anggaran dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor konstruksi. Namun, ada masalah serius yang mengemuka terkait pengelolaan anggaran tersebut.
Belakangan ini, dua BUMN sektor konstruksi mengajukan standstill atas kewajiban jangka pendeknya. Meskipun belum sampai pada kegagalan pembayaran, hal ini menunjukkan adanya masalah yang perlu diperhatikan.
Baca Juga: Partai Gerindra Buka Suara Soal Pertemuan Prabowo dengan Jokowi, Begini Jawabannya
Seharusnya, BUMN yang diatur oleh Undang-Undang diminta untuk mencari keuntungan. Namun, fokusnya saat ini bukan hanya pada anggaran infrastruktur yang besar, tetapi juga maraknya kasus korupsi di sektor tersebut.
Anggaran infrastruktur yang begitu besar bisa dikatakan "obesitas" jika infrastruktur yang dibangun belum menyasar sektor-sektor ekonomi yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi selama dua periode kepemimpinan Jokowi.
Data yang dirilis oleh lembaga luar menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kualitas infrastruktur yang rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya sebelum pandemi Covid-19. Singapura, Malaysia, dan Thailand, misalnya, berada di atas Indonesia dalam hal kualitas infrastruktur.
Ada kemungkinan bahwa anggaran yang dialokasikan tidak efisien, terjadi korupsi, atau kurangnya kualitas studi kelayakan sehingga belum mampu memacu pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mengalami kenaikan biaya hingga Rp18 triliun.
Investasi di sektor infrastruktur memang membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yang signifikan. Namun, dua periode kepemimpinan Jokowi adalah waktu yang cukup bagi pemerintah untuk melihat output dari infrastruktur tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data, kualitas infrastruktur Indonesia masih rendah. Indeks logistik Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga dan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5%. Hal ini mencerminkan adanya "obesitas anggaran", di mana anggaran yang dialokasikan cukup besar, tetapi transfer kualitas infrastruktur ke dalam perekonomian belum optimal.
Mengenai pembangunan jalan, glorifikasi bukanlah soal seberapa besar anggaran yang dialokasikan atau berapa banyak jalan yang dibangun. Yang penting adalah transfer nilai yang diberikan infrastruktur tersebut kepada perekonomian.
Dalam hal indeks logistik, berdasarkan data Bank Dunia, Singapura menduduki peringkat pertama di Asia
Artikel Terkait
Benarkah Ada Peran Suami Puan Maharani di Korupsi BTS 4G, Jokowi Manuver Pressure Megawati Begini
Puluhan Juta Simpatisan Partai Demokrat Bayar Pajak Sakit Hati, Anak Buah AHY Minta Jokowi Pecat Moeldoko
Menjelang Pemilu 2024, Jokowi Minta Mahkamah Konstitusi Bersikap Adil dalam Menangani Sengketa
WNI di Myanmar Minta Jokowi Pulangkan Mereka karena Dipekerjakan Secara Tidak Manusiawi, Netizen: Mirip Taxi..
Partai Gerindra Buka Suara Soal Pertemuan Prabowo dengan Jokowi, Begini Jawabannya