Ternyata persoalan pemakaian jilbab bagi siswi Non Muslim di SMKN 2 Padang, belum berakhir. Pemberitaannya hiruk pikuk dan viral diperbincangkan secara nasional dalam dunia pendidikan. Sampai Mendikbud terpancing angkat bicara, dan terakhir mengeluarkan SKB 3 Menteri, yang meliputi Mendikbud, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Oleh : Dr.H.Asfar Amir Tanjung
(Anggota BAN SM Sumbar/ Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Baca Juga : Jangan Ikuti! Iblis Penebar Hoaks Pertama
Menurut Mendikbud Nadiem yang dikutip dari Kompas.Com, bahwa penerbitan SKB 3 Menteri itu terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan dilingkungan sekolah negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah, dan dalam SKB 3 menteri itu ada enam keputusan utama penggunaan seragam disekolah negeri dan bila tidak dipatuhi, maka akan ada beberaba sanksi yang akan diberikan.
Keluarnya SKB 3 Menteri itu, ternyata juga banyak menimbulkan berbagai analisa, bahkan ada daerah yang menolak dan mengatakan seperti yang dikutip dari Tribun Pekanbaru.com, memberitakan Dewan Pendidikan Riau mengatakan, batalkan SKB 3 Menteri, karena bertentangan dengan Pancasila dan UU Pendidikan.
Baca Juga : Surau Inyiak Djambek, Warisan Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam
Kemudian Ketua MUI KH.Cholil Nafis dalam pemberitaan Pikiran Rakyat Tasik Malaya.com, minta SKB 3 Menteri itu untuk dicabut, karena pelarangan dan tidak mewajibkan seragam keagamaan tersebut sudah tidak lagi mencerminkan pendidikan.
Wakil Ketua MUI Anwar Abbas yang dikutip dalam Tribunnews.com mengemukakan bahwa negara atau sekolah harus mewajibkan anak anak didiknya agar berpakaian sesuai dengan ajaran agama dan kayakinanmya masing masing, sehingga tujuan dari sistem pendidikan nasional yang kita canngkan yaitu membuat peserta didik bisa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha esa berakhlak mulia dan seterusnya dapat tercapai.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq
Setelah membaca dari berbagai komentar dan dampak dari SKB 3 menteri itu, memang kalau ditinjau dari berbagai segi, perlu menjadi bahan kajian untuk ditinjau ulang. Sebab disaat Pandemi sekarang ini, masih banyak hal yang harus menjadi prioritas dalam menyikapi bagaimana jalannya mutu pendidikan di tanah air kita ini, kini di hebohkan lagi dengan persoalan pakaian jilbab bagi siswi non muslim. Padahal hal itu bukanlah terlalu urgent untuk didalami, dan tidak perlu dibicarakan secara nasional. Sekolah dan daerah bisa menyelesaikan, apalagi pemakaian jilbab itu hanya sebatas anjuran tidak pemaksaan, seperti yang dijelas oleh pihak sekolah yang bersangkutan.
Kalau memang diterapkan SKB 3 Menteri itu, berarti budaya lokal tidak bisa diterapkan disekolah. Disatu sisi budaya yang jadi kearifan lokal, menjadi anjuran yang harus dikembangkan dimana sekolah itu berada di daerah, misalkan untuk daerah Sumbar yang berada di alam Minangkabau yang dikenal dengan falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang sudah menjadi kearifan lokal budaya pakai “baju kuruang dan selendang” bagi wanita minang, dan di Riau ada lagi budaya pakaian adat melayu. Dan banyak lagi daerah yang punya ciri khas daerah dalam berpakaian.
Baca Juga : Catatan Akhir Tahun (4): Selamat Tinggal Tahun Kelam
Sementara di SKB 3 Menteri itu ditegaskan bahwa peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih, antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama dan seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Kemudian Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Selanjutnya dipoin ke 4 Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan agama, paling lama 30 hari kerja sejak SKB 3 Menteri ini ditetapkan.
Terlepas ada atau tidaknya SKB 3 Menteri terkait pakaian seragam bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah negeri di tanah air ini, yang namanya peraturan tata cara berpakaian dan seragam yang diberlakukan di sekolah, adalah merupakan hak otonomi sekolah mengaturnya. Budaya cara berpakaian bagi peserta didik dan guru itu, adalah termasuk salah satu pembinaan karakter anak didik, karena cara berpakaian bagi peserta didik dan tenaga kependidikan, adalah merupakan cerminan dari akhlak dan pribadi seseorang. Bagaimana kira kira, kalau cara berpakaian tidak lagi diatur di sekolah dan siswa boleh memilihnya, tentu saja sulit membentuk krakter dan kepribadian anak didik seperti yang kini jadi salah satu penilaian utama dalam kelulusan seorang siswa.
Soal ada tidaknya pemaksaan , jelas sudah diakui oleh pihak sekolah tidak ada pemaksaan memakai jilbab bagi siswi non muslim, hal itu adalah anjuran. Jadi sebenarnya tidak ada lagi persolan yang harus diperpanjang.
Kemudian dalam Kompetensi Inti (KI) satu pada RPP masing masing guru, pada rumusan kompetensi sikap spritual dijelaskan siswa harus menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Makanya khusus bagi siswi muslim, harus bisa mengamalkan ajaran agamanya, misalnya dalam berpakaian harus mencerminkan seorang muslim, dengan memakai pakaian yang menutup aurat, seperti jilbab. Dan bagi siswi non muslim tentu menyesuaikan, dengan berpakaian sopan, yang juga bisa menjadi alat pelindung diri bagi wanita, seperti layaknya alat perlindungan diri (APD) bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas menghadapi pasien disaat pandemik covid-19.
Disisi lain, wanita harus mendapat perlindungan, menurut data yang dikutip dari CNN Indonesia, kasus kekerasan seksual di Indonesia cendrung meningkat setiap tahunnya, termasuk masalah pemerkosaan. Menurut Komnas Perempuan Indonesia mememukan setiap hari ada dugaan 8 orang perempuan diperkosa di Indonesia, dan Komnas Ham Perempuan mencatat ada 17.088 kasus kekerasan seksual terjadi selama priode tahun 2016-2018, diantara kasus kekerasan seksual tersebut 8.797 kaus perkosaan, atau 52 persen. Jika di bagi tiga tahun dan dibagi per hari dalam setahun diduga ada rata rata 8 kasus perkosaan.
Makanya, berdasarkan data yang dikemukakan Komnas Perempuan itulah perempuan itu harus dapat hak perlindungan diri, salah satunya penertiban tata cara berpakaian, seperti memakai pakaian muslim bagi wanita muslim, yang menutup aurat, dan memakai pakaian yang sopan bagi siswi non muslim sangat perlu di ingatkan dan dianjurkan agar tidak menimbulkan fitnah dan rangsangan bagi orang yang memandangnya, dan juga bisa mengurangi tingkat kenakalan remaja
Kemudian mengutip dari UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, , Bab II pasal 3 dijelaskan bahwa , pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
Makanya, lahirnya SKB 3 Menteri itu, perlu ditinjau kembali, bahkan Mantan Mendikbud agar tidak terjadi salah persepsi dalam mentafsirkan persoalan yang menjadi hal yang harus dilaksanakan, apalagi sekarang ini sudah ada pula Surat Edaran Mendikbud No 1 tahun 2021 tentang peniadaan Ujian nasional ( UN), dan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan disekolah salah satunya memperoleh sikap dan prilaku baik minimal. Nah baiknya prilaku siswa tentu diawali dari kedisiplinan diri, termasuk juga dalam tata cara bergaul dan disiplin dalam berpakaian.
Kini persolan mutu pendidikan yang diduga cenderung menurun, akibat Pandemik Covid-19, hendaknya harus jadi pemikiran bagi pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Banyak keluhan yang terjadi dimana mana persoalan proses belajar mengajar atau PBM, belajar tatap muka sulit dilakukan secara serentak diseluruh daerah, dan sudah mendekati setahun pembelajaran berlangsung secara online dengan sistem Daring, semua itu memerlukan biasa paket yang yang cukup besar dan disamping guru juga banyak kesulitas dalam menyampaikan materi karena keterbatasan SDM.
Inilah agaknya yang perlu menjadi sorotan utama menjadi pemikiran secara bersama, persoalan penertiban pakaian bagi anak didik dan guru serta tenaga kependidikan itu, yang berujung terbitnya SKB 3 Menteri. Hal itu ternyata telah banyak menguras pemikiran dan plus minus azas manfaat diterbitkannya SKB 3 Menteri itu perlu juga dikaji. Yang jelas bisa berdampak terhadap kualitas mutu pendidikan di negeri ini, padahal masalah yang terjadi di SMKN 2 Padang itu itu sudah bisa diselesaikan secara bijak dan tidak harus berujung pada SKB 3 Menteri yang kini juga jadi polemik secara nasional. Dan sewajarnyalah kita fokus pada peningkatan mutu pendidikan disaat pandemi Covid-19, SKB 3 Menteri bisa ditinjau ulang . Mari kita pusatkan pemikiran, bagaimana mencarikan solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan memecahkan persoalan yang timbul akibat dampak Pandemi Covid-19 yang kini masih mewabah . Sekian.