Bapak Kapolri (baru) yang terhormat. Penembakan terhadap Iwan Mulyadi terjadi tahun 2006, saat Iwan Mulyadi berusia 13 tahun. Warga Kinali Pasaman Barat itu lumpuh permanen. Kedua kakinya yang dahulu, kuat saat ini bertambah mengecil dan tidak bisa lagi digerakkan. Kasus ini bermula dari aksi tidak bertanggung jawab anggota Polsek Kinali Pasaman Barat Sumatera Barat pada hari Minggu, 29 Januari 2006 sekitar pukul 11.30 WIB di Pondok Ladang Sasok Rimbo Gadang Durian Sabuik Tanjung Medan Jorong IV Koto Selatan Nagari Kinali Kabupaten Pasaman Barat Aksi ini telah menghilangkan masa depan anak ini.
Baca Juga : Cegah Warga Nekat Mudik, Polri Gelar Operasi Sebelum 6 Mei
Penembakan sadis tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum hingga sekarang. Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap, belum juga dilakukan eksekusinya sampai sekarang ini. Sejauh ini belum terlihat kesungguhan jajaran institusi Polri untuk menyelesaikan kewajiban hukum pembayaran ganti kerugian immaterial sebanyak Rp 300. 000.000 (tiga ratus juta rupiah) terhadap korban. Padahal, putusan hakim atas kasus ini telah terang benderang, sudah menjadi komsumsi publik, dan telah berkekuatan hukum yang pasti.
Tidak ada lagi upaya-upaya hukum yang tersedia ditingkat undang-undang. Baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Semuanya sudah dilakukan dan dijalani oleh Iwan Mulyadi melalui kuasa hukumnya. Tidak itu saja, menyurati komisi-komisi negara dan lembaga politik pun telah dilakukan seperti Komnas HAM RI, Komisi Ombudsman, DPR RI tetapi tidak ada tindakan yang konkrit dari lembaga-lembaga itu. Sampai hari ini pun ketika tulisan ini dibuat belum tampak niat baik jajaran institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan itu.
Baca Juga : Inilah Jam Kerja ASN pada Bulan Ramadan 1442 Hijriah
Bapak Kapolri (baru) yang terhormat. Jika sudah demikian halnya. Maka terjadilah pembiaran dan ketidakadilan yang terus berlangsung dalam kasus Iwan Mulyadi. Adagium hukum “hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah” benar adanya. Negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” patut dipertanyakan. Ketidakadilan yang terjadi di suatu tempat menjadi ancaman terjadinya ketidakadilan di tempat lain. Artinya, ketidakadilan berpotensi menimpa siapa pun, termasuk keluarga Nfr sebagai pelaku penembakan Iwan Mulyadi.
Padahal, ciri terpenting dari negara hukum itu adalah adanya perlindungan HAM. Dalam kasus Iwan Mulyadi dimana tanggung jawab negara (baca: Kepolisian Negara Republik Indonesia). Pembiaran dalam kasus Iwan Mulyadi merupakan pelanggaran HAM yang cukup serius.
Baca Juga : Gawat! Ada 22.000 Senjata Api Dimiliki Warga Sipil di Daerah Ini
Tidak saja terjadinya pelanggaran HAM terhadapnya, juga pada saat yang bersamaan telah terjadi kemacetan -kemandekan penegakan hukum, dan pelaksanaan keadilan. Jika belum ada juga kesungguhan dan keseriusan jajaran institusi kepolisian dalam menyelesaikan kewajiban hukumnya maka kasus ini akan bergulir setiap tahunnya. Bukan itu saja penderitaan Iwan akan bertambah panjang. Padahal, jika itu ditunaikan oleh institusi kepolisian maka sedikit akan mengurangi penderitaan yang dialami oleh Iwan Mulyadi dan keluarganya.
Bapak Kapolri (baru) yang terhormat. Penulis berpandangan, penyelesaian kasus ini bertumpu di institusi Polri yang Bapak pimpin. Jika Polri, termasuk Bapak, mempunyai keseriusan menuntaskan maka persoalan akan selesai. Yang menjadi pertanyaan sampai kapan Iwan menunggu hal ini. Kondisinya bertambah parah. Lalu, mungkinkah pembayaran ganti kerugian immateril itu dia terima ketika masih hidup?
Baca Juga : Launching Polri TV dan Radio, Jenderal Listyo Sigit: Untuk Mengedukasi Masyarakat
Kasus Iwan Mulyadi merupakan ‘pekerjaan rumah’ bagi Polri untuk menuntaskannya segera. Jangan sampai berlarut tanpa ada ujung penyelesaian. Bukan kali ini saja Iwan Mulyadi datang menagih ganti kerugian ke jajaran kepolisian. Jawaban yang ia dapatkan hanya klasik dan terlalu normatif. Bahasa “akan dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan pimpinan” sudah berulang kali ia dengar.
Tidak ada tindakan konkrit yang dilakukan jajaran Polri hingga saat ini. Bahkan berdalih sedang melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Kitab undang-undang hukum di Indonesia, menyebutkan “pengajuan PK tidak menghalangi eksekusi”. Lagi-lagi dalih sedang melakukan upaya hukum PK adalah upaya untuk menunda pelaksanaan eksekusi.
Tembok birokrasi Polri yang panjang dan berliku semakin mengikis harapannya untuk mencapai keadilan. Hampir tidak ada bayangan ujungnya. Sepertinya, tiada kekuatan yang mampu menembusnya selain Bapak dan institusi Polri itu sendiri. Tidak tahu lagi ke lembaga mana akan menyampaikan soal tertundanya pelaksanaan keadilan. Dalam kasus Iwan ini berlaku asas adigium justice delayed is justice denied (keadilan yang datangnya terlambat sama dengan ketidakadilan itu sendiri). Maka justru itu tidak ada kekuatan lain selain dari niat baik dan kesungguhan jajaran kepolisian yang ditunggu untuk mengakhiri ketidakpastian dalam penyelesaikan kasus ini.
Bapak Kapolri (baru) yang terhormat. Di saat jajaran Polri mencari cara untuk menyelesaikan kasus ini maka pada selama itu pula Iwan menunggu penyelesaian kasusnya. Iwan Mulyadi masih tetap berharap, ia tidak akan pernah lelah berjuang mendapatkan hak-haknya. Mungkin pepatah lama walaupun dunia akan kiamat besok pagi maka hukum di negeri ini harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Sebagaimana yang Bapak tentu pahami bahwa, tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Semua sama dihadapan hukum (equality before the law).
Penegakan hukum harus memanusiakan manusia dan membuat warga negara sejahtera. Bukan membuat warga negara menderita, seperti yang dialami oleh Iwan Mulyadi. Penderitaan yang tidak jelas akhirnya. Kasus yang ini seharusnya menjadi ‘tamparan keras’ bagi institusi yang Bapak pimpin, agar tidak lagi gegabah dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Tidak taatnya jajaran kepolisian dalam mematuhi prosedur penyelidikan dan penyidikan telah menimbulkan korban yang belum tentu bersalah melakukan tindak pidana.
Penegakan hukum yang dilakukan dengan gegabah hanya akan menambah persoalan hukum baru. Menegakkan hukum jangan melanggar hukum. Tidak akan ada yang mau menderita di dunia ini seperti yang dialami oleh Iwan Mulyadi. Jika jajaran kepolisian masih melakukan tindakan yang ceroboh harus ditindak tegas, masyarakat akan memberikan hukuman. Bentuknya adalah akan muncul tindakan main hakim sendiri setiap akan menyelesaikan masalah hukum.
Bapak Kapolri (baru) yang terhormat. Mulai hari ini dan ke depan kita tidak ingin melihat Iwan Iwan yang lain menjadi korban salah sasaran tembak aparat kepolisian. Kasus Iwan Mulyadi adalah yang terakhir. Kami berharap Polri berkomitmen untuk menyelesaikan kasus Iwan Mulyadi ini sehingga ada titik terang yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara ini.
Kepada Bapak Kapolri baru, penulis berharap bisa segera melaksanakan eksekusi dalam kasus Iwan Mulyadi ini. Selain itu kami juga berhadap Kapolri mampu menjalankan konsep merevolusi sikap mental di institusi berseragam coklat. Seraya berharap semoga Bapak dapat menjadikan Polri benar-benar menjadi ‘bhayangkara’ (penjaga) bumi pertiwi dan warga bangsa. Termasuk menjaga hak-hak hukum warga negara terlindungi, amien. Semoga.
SAHNAN SAHURI SIREGAR
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti & Pendiri Rumah Bantuan Hukum)