Dari pengamatan wartawan Haluan di Bukittinggi, jembatan layang atau fly over di Jalan By Pass Aur Kuning Bukittinggi telah difungsikan pada Minggu 11 Januari 2015 lalu. Meski baru berstatus uji coba, namun jembatan ini menjadi primadona baru bagi warga kota itu. Meski di sepanjang fly over terpajang rambu-rambu dilarang berhenti, tapi tak sedikit pengendara yang berhenti disana, hanya untuk sekedar foto-foto.
Baca Juga : Pakai BPJS Kesehatan, Antisipasi Apabila Sakit
Jembatan ini menjadi magnet tersendiri, karena jika berdiri di sana dalam keadaan cerah, terbentung dua gunung yang indah, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang, pada sisi kiri dan kanan.
Namun kondisi tidak nyaman mulai muncul di kalangan sebagian warga, karena di saat truk serta alat berat yang melintas, siapapun yang berdiri di atas jembatan akan merasa guncangan bak merasakan gempa.
Baca Juga : Mubaligh: Perbanyak Taubat Selagi di Bulan Ramadhan
Kondisi ketidaknyamanan itu tidak dirasakan di atas jembatan saja. Pada bagian bawah jembatan, pedagang kaki lima mulai bermunculan. Mereka mulai muncul pada siang hingga sore. Sebut saja pedagang durian, pedagang keliling serta beberapa pedagang lainnya yang mulai betah mangkal di bawah jembatan.
Meski jumlahnya baru sedikit, namun jika tidak diantisipasi dengan cepat, mereka bisa menjamur. Larangan untuk berjualan di bawah jembatan yang terpajang di sekitar bagian bawah jembatan terbukti tak cukup untuk menyadarkan mereka.
Baca Juga : Berbuka Puasa Sembari Menikmati Nuansa Tepi Bukit dengan Pemandian Air Panas Alami di Solsel
Kondisi tersebut sangat berbeda jika pada hari pasar (Rabu dan Sabtu). Jika hari pasar tiba, puluhan pedagang berbondong-bondong untuk berjualan di bawah jembatan. Mungkin bagi para pedagang telah merupakan aktivitas biasa. Namun kebiasaan itu sangat berdampak besar bagi arus lalu lintas di sekitarnya.
Fly over itu dibangun pada ruas jalan By Pass Aur Kuning, mulai dari depan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) hingga menjelang simpang empat SPBU bensin dengan lama pengerjaan satu tahun. Pembangunan fly over itu menghabiskan dana sebesar Rp98 miliar, dengan panjang jembatan 675 meter, lebar 10 meter dan tinggi 5 meter.
Baca Juga : Terapkan Prokes Ketat, Pesantren Ramadan Kembali Digelar Pemko Padang Panjang
Terkait fenomena ini, pemerhati Perkotaan Kota Bukittinggi Zul Ifkar Rahim menilai, fenomena pedagang di bawah jembatan merupakan bentuk kajian pemerintah yang tidak matang. Menurutnya, pemerintah hanya terfokus pada pembangunan jembatan saja, tanpa mengkaji dampak negatif yang akan muncul belakangan.
“Pemerintah tidak pernah berpikir, apa yang harus dilakukan pada sekitar jembatan. Pemerintah selalu menunggu munculnya pedagang, baru mengkaji dan mencari solusinya. Itupun butuh biaya lagi. Ujung-ujungnya nanti, oknum pedagang dan oknum petugas main mata. Permasalahan barupun akan muncul lagi. Begitu seterusnya,” tutur Zul Ifkar Rahim.
Zul Ifkar Rahim berpandangan, jalur di sepanjang jembatan layang mutlak disterilkan dari aktivitas pedagang, karena lebar jalan pada jalur kiri dan kanan tidak terlalu besar dan bisa berdampak pada kemacetan.
“Mungkin sekarang baru ada satu atau dua pedagang. Tapi besok bisa saja ada puluhan pedagang disana. Keseriusan pemerintah disini sangat dibutuhkan,” tambah Zul Ifkar.
Di Padang, fenomena ini sudah berlangsung sejak tahun 2002 lalu kala jembatan Siti Nurbaya yang membentang sepanjang 156 meter di atas sungai Batang Arau resmi digunakan. Tak tanggung-tanggung. Pemeran sinetron Siti Nurbaya yang sempat booming kala itu, seperti Datuk Maringgih (HIM Damsyik), Siti Nurbaya (Novia Kolopaking) dan Samsul Bahri (Gusti Randa) ikut dihadirkan dalam peresmian jembatan senilai hamper Rp20 miliar itu.
Sayangnya, tak lama setelah peresmian Jembatan Siti Nurbaya ini justru digerogoti pedagang di sisi trotoar, terutama pedagang jagung bakar. Hanya saja, pascagempa 2009, kawasan ini menjadi sedikit sepi. “Ya, sejak itu pengunjung banyak berkurang. Mungkin mereka khawatir,”kata Yanti, seorang pedagang di lokasi itu.
Selain faktor kondisi di jembatan tersebut, pengunjung juga mendapat lokasi baru untuk berwisata, yakni kawasan Pantai Purus dengan jembatan dua jalurnya juga sudah rampung. Kondisi serupa juga terjadi, dimana jembatan tersebut justru dijejali PKL terlebih dahulu.
Kasat Pol PP Padang Andre Algamar (saat itu) menyebutkan, untuk mengantisipasi merebaknya PKL di kawasan itu , Pol PP menempatkan personil di lokasi untuk melakukan pengawasan.
Dari pengamatan Haluan, pengawasan ini layaknya seperti kucing-kucingan. Ketika petugas beranjak dari lokasi, padagang mulai menggeser dagangannya ke arah jembatan, kendati tak lagi mendominasi kawasan itu kembali. Padahal biaya juga tak sedikit. Tahun 2011, APBD terkuras Rp4,9 miliar dan tahun 2012 anggaran di APBD untuk perampungan jembatan ini menjadi Rp8,7 miliar.
Kondisi ini pernah membuat Dinas Prasjal Tarkim Sumbar geram dan menyurati Pemko Padang untuk menertibkan PKL (Haluan 13 Maret 2013).
Saat pengembangan di sekitar jembatan tersebut Pemko membangun kawasan wisata Muaro Lasak, Purus. Namun, semenjak ramai dikunjungi, banyak bangunan semi permanen yang berdiri. Padahal itu sudah dilarang dan Pemko sendiri terkesan tidak kuasa menghadapi ketidakteraturan itu
Pantauan Haluan Selasa (13/1), pada sore hari kawasan Muaro Lasak dipenuhi pengunjung. Bangunan yang sudah berdiri semi permanen berjejer dari Taman Muaro Lasak hingga hampir belakang Hotel Pangeran.
Bangunan tersebut sudah seperti café yang menyediakan berbagai macam menu, seperti mie rebus, kerupuk kuah, nasi goreng, mie goreng beraneka ragam jus, malah ada yang menyediakan nasi ampera. Jika dihitung bangunan semi permanen tersebut sudah berjumlah hampir 10 unit, dengan dilengkapi kursi pantai yang terbuat dari plastik. Sedangkan lapak –lapak Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) yang berjejer mulai dari jembatan Muaro Lasak hingga hotel Pangeran sudah hampir 30 unit.
Menurut Buk Tini, yang salah seorang pemilik café di Taman Muaro Lasak menyebutkan, dia sudah berada di kawasan tersebut hampir 5 bulan dan tidak ada penertiban dari Satpol PP maupun teguran dari dinas terkait. Namun, dia sebagai pedagang berharap tidak ada larangan untuk berjaulan di Taman Muaro Lasak itu.
“Sudah lima bulan saya di sini, tidak ada teguran ataupun surat yang datang. Saya berharap janganlah kami digusur sebab di sini mata pencaharian kami,” jelas Tini.
Omset yang dia raih di Taman Muaro Lasak itu juga tidak sedikit, sehari saja dia bisa meraup keuntungan hinga Rp500 ribu. Awalnya Tini hanya ikut-ikutan berdagang ketika melihat teman-temannya banyak meraih keuntungan di kawasan tersebut. Makanya dia berniat membuka lapak di sana.
Menurut Camat Padang Barat, Arfian dia sudah melakukan koordinasi dengan Satpol PP dan Dinas Pariwisata untuk menangani bangunan yang sudah berdiri di Taman Muaro Lasak itu. Bangunan tersebut dinyatakan illegal alias berdiri tidak ada izin. (h/wan/ows/mat)