Ketiga:
Baca Juga : Dedi Mulyadi Kritisi Kebijakan Pemerintah Soal Alih Fungsi Lahan
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
Itulah bunyi ikrar yang diucapkan para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Ikrar yang dikenal dengan Sumpah Pemuda ini merupakan satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga : DPD RI Serahkan Bantuan Buat Korban Bencana Banjir Bandang NTT
Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia, dengan ‘satu tanah air’, ‘satu bangsa’ dan ‘satu bahasa’ yaitu bahasa Indonesia.
Ya, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang digunakan di negara ini sejak tahun 1945 saat Indonesia meraih kemerdekaan dari Belanda. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara juga dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
Baca Juga : Ini Cara Cek Pajak Kendaraan Tanpa Perlu Datang ke Samsat
Kini bahasa Indonesia digunakan di seluruh Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, walaupun lebih banyak digunakan di kawasan bandar dan pusat-pusat kota, tanpa menafikkan masih adanya pemakaian bahasa daerah masing-masing oleh beragam suku bangsa yang ada di tanah air, seperti bahasa Minang, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura dan lainnya, sebagai bahasa pengantar antara sesama suku. Dengan poin utama, bahasa Indonesia tetap sebagai bahasa yang utama.
Sejarah mencatat, bahasa Indonesia adalah bahasa yang dikembangkan dari salah satu logat suku asli yang ada di Indonesia, yaitu suku Melayu, suku yang bermukim di sepanjang pantai timur Sumatera, tepatnya di Kepulauan Riau. Meski suku Melayu juga terdapat di sebagian Kalimantan, namun banyak sumber menyatakan bahwa asal usul bahasa Indonesia itu adalah dari bahasa Melayu di Kepulauan Riau.
Baca Juga : Larangan Mudik 6-17 Mei 2021, Semua Moda Transportasi Stop Beroperasi
Bahkan Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1938, menyatakan, yang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ yaitu bahasa Melayu yang pokoknya berasal dari ‘Melayu Riau’, yang kemudian mengalami perkembangan, sudah ditambah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat seluruh Indonesia.
Bahasa Melayu, terutama Melayu Riau memang sejak dulu kala telah digunakan sebagai lingua franca atau bahasa perantara di kepulauan Indonesia. Bahasa ini mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7 dan berlangsung selama berabad-abad untuk bahasa perdagangan, terutama saat berjayanya kerajaan Sriwijaya dan Melaka.
Bukti-bukti yang menyatakan itu adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bukit Barat) dan Karang Birahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf pranagari berbahasa Melayu kuno.
Bahasa Melayu semakin kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara karena bahasa Melayu digunakan sebagai penghubung antar suku, antar pulau, antar pedagang, dan antar kerajaan. Tak hanya berkat aktivitas perdagangan, bahasa Melayu juga menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam.
Karena semula digunakan untuk aktivitas perdagangan, bentuk bahasa sehari-hari ini dulu dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis bahasa ini sangat lentur, sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya kala itu, yaitu kaum pedagang, yang tidak hanya datang dari seluruh nusantara, tapi juga dari luar negeri, seperti China dan India.
Karena ‘kelenturan’nya itu pulalah, politikus, sastrawan, dan ahli sejarah Muhammad Yamin, dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta tahun 1928 mengusulkan, bahasa Melayu Riau dijadikan bahasa nasional dan bahasa yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Memang, kala itu bahasa Jawa juga termasuk nominasi yang diusulkan menjadi bahasa nasional, namun bahasa Melayu Riaulah akhirnya yang lebih berjaya. Menurut sejumlah literatur, bahasa Melayu Riau memenangkan ‘kompetisi’ sebagai bahasa persatuan Republik Indonesia disebabkan beberapa hal.
Pertama, bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan bahasa Melayu. Dalam bahasa Jawa, ada ‘pengastaan’ bahasa. Ada bahasa halus, biasa, dan kasar, yang digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila kurang memahami budaya Jawa, maka kesalahan berbahasa bisa menimbulkan kesan negatif.
Kedua, dipilihnya bahasa Melayu Riau —dan bukan bahasa Melayu Pontianak, atau Melayu Banjarmasin, atau Melayu Samarinda, ataupun Melayu Kutai— dengan pertimbangan bahasa Melayu Riau paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Ketiga, bahasa Melayu tidak hanya digunakan di Indonesia. Negara-negara lain, terutama negara-negara jiran (tetangga) kita, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei, juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Diharapkan semangat nasionalisme dan persaudaraan di antara negara-negara berjiran di sekitar wilayah Asia Tenggara itupun semakin kuat.
Karena keutamaan dan keistimewaan bahasa Melayu itu pulalah organisasi Budi Utomo, yaitu organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA pada 20 Mei 1908, yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi yang bersifat kejawaan, justru menggunakan bahasa Melayu dalam kebanyakan publikasinya supaya terjangkau pula oleh suku-suku lainnya di Indonesia.
Maka tak salah jika bahasa Melayu Riau yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia ini disebut sebagai bahasa pemersatu, yang pada kongres lahirnya Sumpah Pemuda dinyatakan sebagai bahasa bangsa. Patut kiranya suku Melayu Riau berkhidmat, bahwa bahasa sukunya ikut mengiringi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Jadi Bahasa ‘Dunia’
Seiring perkembangan waktu, bahasa Melayu Riau yang telah menjadi bahasa Indonesia itu kini diharapkan pula akan menjadi bahasa resmi di dunia, khususnya di kawasan Asia tenggara.
Menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 nanti, bahasa Indonesia diyakini sangat berpeluang menjadi bahasa resmi ASEAN, seperti halnya bahasa Inggris menjadi bahasa resmi Uni Eropa.
Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Muhadjir Effendy, dalam seminar internasional Politik Bahasa Indonesia yang digelar November 2014 lalu, MEA akan sulit terlaksana dengan baik jika tidak ada kesepakatan tentang bahasa bersama yang akan digunakan.
Bahasa Indonesia dinilai paling berpeluang dijadikan bahasa ‘bersama’ tersebut karena dari sekitar 626 juta jiwa penduduk ASEAN saat ini, sebanyak 150 juta jiwa di antaranya adalah masyarakat Indonesia. Dengan demikian, Indonesia menjadi komunitas terbesar dibandingkan negara-negara lainnya. Otomatis, penutur bahasa Melayu yang jadi cikal bakal bahasa Indonesia pun menjadi yang terbanyak.
Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan berjumlah lebih 300 juta (bersama penutur Bahasa Indonesia) dan merupakan bahasa keempat dalam turutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia setelah bahasa Mandarin, bahasa Inggris dan bahasa Hindi/bahasa Urdu.
Selain itu dilaporkan, sebanyak 70,000 orang mampu bertutur dalam bahasa Melayu di Sri Lanka, bahkan di China terdapat radio berbahasa Melayu. Bahasa Melayu juga diajarkan di universiti-universiti di United Kingdom, Amerika Syarikat, Australia, Belanda, China, Jerman, New Zealand dan beberapa tempat yang lain.
Peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa ‘MEA’ juga disampaikan Pakar bahasa dari Universitas Indonesia Totok Suhardijanto PhD, di acara Prakonvensi Bahasa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2015 yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau di Batam, Desember 2014 lalu.
Tentunya sungguh membanggakan, jika suatu saat hal ini terwujud. Bahasa Melayu Riau yang semula hanya bahasa ‘pasar’, kemudian berkembang menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia, dan kelak semoga bisa menjadi bahasa pengantar di tingkat regional dan mungkin pula internasional. Semoga! ***
NOVA ANGGRAINI
(Redaktur Harian Haluan)