Werry berpandangan, keberpihakan media tersebut kepada salah satu calon presiden, kentara terlihat di media nasional, seperti televisi. Tidak hanya di media nasional, hal serupa juga terjadi di media di Sumatera Barat (Sumbar). Namun, keberpihakan media di Sumbar, tidak sebegitu kentara dibandingkan media nasional.
“Dalam sebuah persoalan, media seharusnya netral dan berpegang teguh terhadap prinsip dasar pers,” ujarnya saat dihubungi Haluan, Jumat (6/2).
Saat ditanya bagaimana pandangannya terhadap peran media di Sumbar di tengah masyarakat terkait peran masyarakat terhadap kontrol sosial dan pendorong pembangunan, Werry menjawab, pemberitaan media di Sumbar kurang akan hal itu. Ia melihat, pemberitaan media di Sumbar banyak pencitraan kepala daerah, seperti halaman kerja sama daerah yang dimuat bergantian setiap hari.
Namun, ia juga memaklumi hal itu, karena persoalan redaksi selalu berbenturan dengan persoalan bisnis dari perusahaan pers itu sendiri. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi hal itu, perusahaan pers di Sumbar harus sejahtera dari segi modal.
Sementara menurut wartawan senior, Fachrul Rasyid, idealisme pers lokal dan nasional semakin menipis. Bukti semakin menipisnya idealisme pers di nasional, misalnya, sebelum pilpres, media ramai-ramai mendewakan Jokowi. Sekarang, 3 bulan lebih setelah dilantik, media ramai-ramai menyerang balik Jokowi. Ia mempertanyakan, dimana idealisme pers dalam hal itu. Hal itu terjadi karena sejak awal media tak berbasis kepada idealisme, yang di dalamnya mengandung nasionalisme.
“Di mana moral pers pada kondisi seperti ini? Sementara masyarakat menjadikan media sumber informasi. Akhirnya masyarakat hilang kepercayaan kepada media,” sebutnya.
Penyebab menipisnya idealisme pers di Indonesia, menurutnya, karena wartawan tak mengetahui aturan-aturan, mulai dari undang-undang sebagai aturan tertinggi, hingga aturan paling bawah seperti peraturan daerah. Padahal, idealisme pers berpijak dari aturan tersebut termasuk norma-norma, dan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat.
“Kontrol pers selalu merujuk kepada aturan-aturan tersebut. Jika wartawan tidak mengetahui aturan tersebut, maka kontrol pers tidak berjalan dengan baik, sebab tidak bisa memberikan penilaian. Penyebab wartawan tidak mengetahui aturan-aturan itu karena wartawan tidak mau belajar untuk mengetahuinya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, idealisme pers berjalan bila pers bekerja berbasis azaz dan proporsional dalam penggarapan berita. Menurutnya, pekerjaan wartawan sebagai ujung tombak pers, bukan pekerjaan murahan, melainkan pekerjaan intelektual. Apabila sumber berita berbohong atau mengatakan omong kosong, lalu omongan tersebut ditulis oleh wartawan dan dimuat oleh media tanpa dicek kebenarannya di lapangan, maka itu berarti wartawan dan media tersebut bekerja sama dengan sumber berita bersangkutan, membohongi masyarakat.
Ketua Bundo Kanduang Sumbar, Puti Rheno Thaib mengatakan, peranan pers dalam banyak masalah yang terjadi di negeri ini akhir-akhir ini sangat penting. Sebab, hanya pers hanya menjadi pedoman masyarakat, tentang persoalan yang terjadi sesungguhnya di balik masalah tersebut. Walau pun informasi yang disampaikan pers tidak mutlak kebenarannya, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.
Menurutnya, jika pers berbeda pandangan terhadap suatu masalah, seperti yang terjadi di televisi yang memberitakan persoalan politik, masyarakat menjadi bingung, berita mana yang benar.
Ia berpandangan, peranan pers dalam kontrol sosial di tengah masyarakat sangat penting. Pers merupakan elemen penting di luar lembaga lain, karena berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Untuk mengatakan itu butuh idealisme. Jika pers diintervensi, maka akibatnya akan sangat fatal, karena tak ada lagi tempat bagi masyarakat untuk mengetahui yang benar. Harapannya untuk pers Sumbar, agar meningkatkan mutu, kredibilitas, dan kembali ke idealisme pers itu sendiri. (h/dib)