Saat popularitas mobil Esemka meledak, banyak pejabat pemerintahan memberikan dukungan terhadap mobil karya siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tersebut. Saat ini apa kabar dengan mobil Esemka? Pertanyaan yang saat ini banyak bergulir di antara keinginan Jokowi untuk membuat mobil nasional. Di saat masyarakat sedang dibingungkan dengan polemik yang terus bergulir di antara KPK dan Polri, Jokowi bertandang ke Malaysia untuk menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara CEO PT. Adiperkasa Citra Lestari AM Hendropriyono yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara, dan mantan penasihat tim transisi Jokowi-Jusuf Kalla yang kala itu berniat mengembangkan mobil nasional di Indonesia dengan CEO Proton Holdings Bhd Datuk Abdul Harith Abdullah.
Baca Juga : Pemerintah Izinkan Seluruh Rumah Sakit Layani Pasien Covid-19, Ini Syaratnya
Salah satu keuntungan yang akan diperoleh Indonesia dari penandatanganan nota kesepahaman ini adalah dapat membuka lapangan kerja yang luas bagi rakyat Indonesia dalam bidang industri otomotif. Namun, apakah benar tujuan tersebut yang ingin dicapai atau ada niat lain dibalik itu semua? Jangan sampai alasan rakyat yang selalu digadang-gadangkan dan menjadi alasan disetiap pengambilan keputusan bukannya menguntungkan bagi rakyat, tapi malah akan merugikan rakyat sendiri dan menguntungkan pihak-pihak terkait saja.
Sama dengan banyak kejadian yang sudah-sudah, seperti kasus lumpur lapindo yang belum berkesudahan, korupsi, kolusi dan nepotisme disegala bidang. Rakyat dikedepankan, namun hasilnya bukannya mensejahterakan rakyat tapi hanya mempertebal pundi-pundi mereka yang berkuasa.
Baca Juga : Yanuar Prihatin: Hasil Pileg 2019 Sudah Usang, Tak Bisa Dijadikan PT Pilpres 2024
Saat ini menjadi sebuah tanda tanya besar bagi masyarakat. Di tengah lawatan Jokowi ke negara tetangga tersebut, muncul nama Hendropriyono, Adiperkasa Citra Lestari, dan Proton. Apakah ini ada hubungannya dengan diplomasi antara Indonesia dengan Malaysia? Jika iya, mengapa harus Hendropriyono dan perusahaan yang digawanginya muncul bersamaan dengan lawatan tersebut. Hal ini akan menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat, apakah ada “bagi-bagi rezeki” kepada teman sejawat di tengah kunjungannya.
Walaupun isu yang berkembang saat ini telah ditanggapi oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin, bahwa penandatanganan tersebut murni business to business tanpa adanya kepentingan pemerintah di dalamnya, kecurigaan masyarakat mutlak tidak akan dapat dihindarkan. Saat ini nota kesepahaman kerja sama tersebut telah ditandatangani, mau tidak mau posisi Indonesia akan tetap berada di bawah Malaysia karena Indonesia yang melakukan alih teknologi dan pengetahuan. Padahal pada kenyataannya, industri otomotif Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan sejajar, dengan banyaknya ekspor peralatan otomotif Indonesia ke Malaysia. Sangat disayangkan sekali jika MoU ini dilakukan dengan negara yang tekhnologi otomotifnya bisa dikatakan masih sejajar dengan Indonesia. Bukannya meremehkan kualitas Malaysia, tapi mengapa tidak dilakukan dengan perusahaan otomotif besar di Asia seperti Jepang yang kualitas riset dan pengembangannya jauh lebih baik dibanding Malaysia.
Baca Juga : Ini Sebaran 13.695 Kasus Covid-19 di Indonesia per 28 Januari, Jabar Terbanyak dengan 4.532 Positif Baru
Ada baiknya saat ini pemerintah bersama swasta lebih memperhatikan potensi yang ada di dalam negeri. Jangan sampai rakyat kecewa bertubi-tubi atas apa yang mereka saksikan di negeri ini dengan menyaksikan kemilau janji manis saat proses pemilu berlangsung, namun lama kelamaan kemilau tersebut semakin pudar seiring dengan berjalannya roda pemerintahan yang dikelilingi oleh kepentingan kelompok. Semoga!
Baca Juga : Rekor 476 Meninggal, Positif Covid-19 di Indonesia 28 Januari Tambah 13.695 Kasus
WULAN OKTARIANI
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Andalas)