Semenjak setahun terakhir, setidaknya telah ada sekitar 10 KK yang kembali pulang. Mereka, merambah kembali lahan yang telah jadi hutan untuk selanjutnya bercocok tanam. Tanam tua yang mereka tinggalkan puluhan tahun lalu sudah menunggu sebagai modal awal untuk menghidupkan kampung mati. Meski belum terstruktur, sebagai sebuah kampung, keberadaan mereka yang pulang “kampung” setelah gagal meraih sukses di Sindang dan sejumlah tempat lainnya patut kembali diperhatikan pemerintah. Mereka hidup dalam dalam segala keterbatasan dan kekurangan, yang mereka punya adalah sebuah semangat untuk menata hidup di kampung halaman.
Baca Juga : Kawasan 1000 Rumah Gadang Dilema antara Mimpi dan Kenyataan
Indra Satri (45) adalah salah satu Kepala Keluarga yang mencoba untuk menata hidup di Kampung Bukit Gandum. Ia dan istrinya Suhartati beserta anak-anaknya tinggal di sebuah pondok di pinggang Bukit Gandum. Keduanya merasakan betapa berat memulai kehidupan di kampung dengan fasilitas serba terbatas. Tidak ada sekolah, tidak ada bidan desa dan tidak ada sarana hiburan. Hidup mereka benar-benar diserahkan pada tuhan dan belai kasih alam.
Menurutnya, ia harus berjalan kaki empat jam untuk bisa sampai ke pusat nagari Muara Air. Setiap hari Rabu ia turun ke pusat nagari untuk memenuhi berbagai keperluan hidup. Perjalanan panjang dan sangat berat sesungguhnya, apalagi saat turun ia harus memanggul puluhan kilo kulit manis atau hasil perkebunan dan pertanian lainnya. Selama di perjalanan ia bergantian mengangkut hasil pertanian.
Baca Juga : Registrasi Perkara Konstitusi
Di Pasar Muara Air, touke dan pedagang pengepul lainnya sudah menunggu orang - orang seperti Indra Satri. Indra Satri tidak akan pernah menawarkan berapa hasil pertaniannya akan dijual. “Saya serahkan saja kepada para touke di pasar. Bila harga tinggi menurutnya, ya tinggilah saya jual, bila rendah yang rendah,” katanya.
Tidak punya posisi tawar membuat Indra Satri tidak dapat meraup keuntungan dari apa yang telah diusahakannya di Bukit Gandum. Namun bagi Indra Satri, hasil ladang dan kebunnya itu dapat membeli beras, cabai, gula dan kopi, setelah itu ia akan kembali pulang dengan barang bawaan disandang dengan kantong terbuat dari karung.
Baca Juga : Pembiasaan Karakter Pembelajaran Online Masa Pandemi Covid-19
Untuk bisa pulang, Indra Satri dan istrinya kembali menjejal medan berat. Jika untuk turun gunung ia menghabiskan waktu empat jam, maka untuk kembali pulang paling tidak ia menghabiskan waktu sekitar 6 jam. Berat dan melelahkan.
Dengan terbukanya akses Bayang - Alahan Panjang ia berharap, pemerintah bersegera menuntaskan jalan. Bila jalan ini tuntas, tidak hanya Indra Satri, seluruh warga Bukit Gandum yang ada di luar akan kembali pulang untuk menghidupkan kampung.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq Bagai Santan Berbalas Tuba
Terkait dengan itu Bupati Pessel Nasrul Abit menyebutkan, ruas jalan Alahan Panjang-Pasar Baru yang melewati kawasan hutan konservasi ini mulai dikerjakan tahun 2011 lalu memanfaatkan dana APBD Sumbar 2011. Pekerjaan jalan ini mulai pada bagian jalan yang tidak termasuk kawasan hutan. Sebab rekomendasi izin pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan jalan alternatif Alahan Panjang-Pasar Baru itu baru diperoleh setahun kemudian.
Pembangunan jalur alternatif yang sangat didambakan masyarakat kedua daerah ini, diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp100 miliar yang dialokasikan pada tahun jamak. Pada 2011, APBD Sumbar mengalokasikan dana sebesar Rp5,1 miliar untuk pekerjaan pembukaan trase jalan dan pembentukan grade (kelandaian ideal jalan) sepanjang 6 km. Kontrak kerjanya dijadwalkan selesai awal 2012.
Pada jalur ini nantinya juga akan dipasang rambu-rambu khusus yang mengingatkan masyarakat, diantaranya dilarang adanya pemukiman penduduk di sekitar kawasan hutan lindung, aktifitas perdagangan seperti warung atau rumah makan, dan ketentuan khusus lainnya.
Disebutkannya, tidak ada larangan bagi warga untuk tinggal di kampung tersebut sepanjang tidak mengganggu hutan yang masuk kawasan hutan lindung.
Di ruas yang sedang dibangun itu, potensi besar yang menunggu adalah segitiga pariwisata Sumbar, yakni Bukittinggi, Danau Kembar, dan Pesisir Selatan dengan Titianakar, Air Terjun Bayang Sani, terus Kawasan Mandeh Tarusan. Pesisir Selatan akan terlepas dari kunkungan jalan tunggal Lintas Barat yang menjemukan. Terlepas dari soal pariwisata, maka jalur ini adalah jalur penting bagi bergeraknya perekonomian, suplai barang dari luar dan ke Pesisir Selatan akan lebih mudah dan berbiaya murah. “Sebuah mimpi besar itu telah didepan mata,” kata Nasrul Abit. (Habis*)
Laporan: HARIDMAN KAMBANG