16 tahun Manyur tabah merawat cucu kesayangannya, meski dia harus ngesot ke sana – ke mari untuk memenuhi keperluan Andi. Rupanya keduanya tidak dapat program bantuansosial/kesehatan semisal BLSM, BLT, Jamkesmas/ Jamkesda, JPS dan raskin. Terkadang makan terkadang tidak. Selain itu sebagai warga negara seisi rumah tidak memiliki dokumen seperti KTP, KK dan lain-lain.
Baca Juga : Kawasan 1000 Rumah Gadang Dilema antara Mimpi dan Kenyataan
Ini sungguh luar biasa, dengan posisi domisili di pusat peradaban Nagari Kambang dua orang ini luput dari “sapaan” program sosial. Tulang punggung keduanya adalah Imas ibu Andi yang jadi buruh tani tidak tetap. Ayah Andi sudah lama meninggal dunia.
Haluan pada hari Minggu (15/2) bersama Abdul teman sebaya Andi menapaki jalan-jalan sempit di Koto Pulai. Lebih kurang 20 meter, setelah melewati gang sempit itu, akhirnya sampai di sebuah rumah semi permanen.
Baca Juga : Registrasi Perkara Konstitusi
Memasuki rumah itu alat penciuman langsung disergap bau lembab dan pesing. Di ruang tamu rumah itu kami disambut kursi plastik reot warna hijau. Kemudian sebuah tempat tidur di pojok ruangan seorang wanita tua bernama Manyur sedang mengaduk sesuatu dalam gelas. Tempat tidur itu beralas kain dengan warna entah merah, entah cokelat, entah abu-abu, entahlah.
Di antara minimnya cahaya terlihat sosok laki-laki ringkih duduk dengan tangan kanan terikat rantai besi ke sebuah tiang. Dua ruas tulang tertutup kulit yang biasa disebut kaki itu, terlihat pucat dan kaku. Wajah dengan tatapan kosong melengkapi disabilitas pemilik wajah pucat non ekspresif itu.
Baca Juga : Pembiasaan Karakter Pembelajaran Online Masa Pandemi Covid-19
“Namonyo Andi Nasrul, cucu ambo. Umua Andi 32 tahun. Inyo alah sakik sajak umua limo baleh tahun,” kata Manyur yang juga ringkih terbata-bata.
Di antara kegelapan itu, tiba-tiba Andi menggerakan tangan tulang berkulit yang nyaris kaku itu. Dengan sisa energinya, Andi ayunkan telunjuk ke arah Haluan dan sahabatnya. Mulut yang sulit terkatup itu mengeluarkan suara. Entah apa yang diucapkan Andi. “Ooo, Andi manunjuak kawan inyo,” kata neneknya.
Baca Juga : Prabowo dan Habib Rizieq Bagai Santan Berbalas Tuba
Jelas terlihat Andi sangat bahagia jika orang lain memahami cara komunikasinya yang aneh itu.
Bau pesing dan debu kian kuat, karena cahaya masuk tidak memadai. Setelah saklar dipencet, terlihat sekeliling pemandangan yang sangat menyesakkan dada. Tempat duduk Andi selembar tikar plastik dan di atasnya ada bantal yang sudah berubah bentuk. Semuanya kusam. Entah berapa tahun tidak dicuci.
Nenek Manyur kemudian turun dari tempat tidur, ia ngesot menuju Andi dengan sebuah gelas di tangan. Gelas itu diterima Andi dan meminumnya sekali tenggak.
Wartawan Haluan mengulurkan tangan. Terasa jari-jari kakunya mencoba menggenggam jari kami untuk diupayakan diciumnya. “Andi ini ada makanan ringan, boleh dimakan langsung,” kata Haluan menahan rasa hiba. “Dan kalau besok-besok butuh kebutuhan lain, ini titipan hamba Allah,” kata wartawan Haluan.
Andi beringsut mendekat kami. Air yang menetesi tangannya barusan membuat dia memperhatikan wajah kami satu persatu dengan cermat. Tak lama kemudian dia buka mulut lebar seperti menangis tapi tanpa suara.
Ya Allah, menangis pun dia tak sanggup lagi. Dia histeris. Digoncangnya rantai di tangan. Kami terpana dan berupaya menenangkannya. Siapapun yang punya hati pasti tak kuat menyaksikan peristiwa yang menguras emosi itu. “Nak, mohon bantu kami mendapatkan hak Andi. Kami tak mampu bersuara keluar karena kami orang kecil,” kata Nenek Andi kepada kami sembari menitikkan air mata. **
Laporan:
HARIDMAN KAMBANG