Tak hanya itu, selain karunia tanah subur, negeri ini juga memiliki iklim atau cuaca mendukung utamanya dalam bidang pertanian. Melihat potensi dan posisi ini, banyak kalangan mengatakan bahwa cukup concern dalam meningkatkan bidang pertanian saja Indonesia akan sejahtera. Hal ini cukup logis. Pasalnya, sektor pertanian merupakan aspek terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menuntut untuk selalu dipenuhi.
Baca Juga : 10 Maskapai Teraman di Dunia 2021, Tak Ada dari Indonesia
Masalah Klasik
Namun, sayang seribu kali sayang, nampaknya Indonesia akan segera meninggalkan julukan sebagai negeri agraris. Bagaimana tidak, saat ini bidang pertanian mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini bukan berlebihan karena fakta dan data telah membenarkan bahwa sektor pertanian yang menjadi tolok ukur munculnya julukan negara agraris, kini telah dalam fase kritis. Sungguh memilukan dan memprihatinkan memang.
Baca Juga : Lebih dari 132 Ribu Tenaga Kesehatan Sudah Divaksinasi Covid-19
Setidaknya terdapat beberapa persoalan klasik yang harus segera dicarikan solusi. Pertama, penghasilan rendah. Tak dapat dibantah lagi bahwa sejauh ini, profesi petani tidak begitu menjanjikan. Kerjanya di bawah terik mata hari tetapi imbalan tak seberapa. Inilah kondisi petani kita saat ini. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab orang yang berpendidikan tinggi atau lulusan sarjana pertanian enggan bergelut dalam bidang ini. Selain asumsi masyarakat bahwa menjadi petani itu pekerjaan kampungan, gaji petani juga tidak terlalu tinggi. Alhasil, banyak dari mereka (sarjana pertanian) beralih ke sektor lain, industri misalkan.
Hal senada diungkapkan oleh BPS yang mengatakan bahwa, penghasilan yang murah di sektor pertanian dituding sebagai salah satu alasan utama para pekerja tani memilih pindah profesi. Namun, jika dicermati, ketidaktertarikan orang bekerja di sektor pertanian saat ini sesungguhnya merupakan akumulasi dari banyak problem yang menjangkiti sektor tersebut selama bertahun-tahun.
Baca Juga : BNPB Minta Pendataan Rumah Rusak Pascagempa Sulbar Segera Diselesaikan
Kedua, minimnya keberpihakan pemerintah. Masalah klasik yang dihadapi para petani yang hingga detik ini belum sepenuhnya terselesaikan adalah kekurangan modal, pupuk, bibit, fasilitas dan masih banyak lainnya. Dalam kaitannya ini, sudah seharusnya pemerintah mulai memperbarui teknologi di bidang ini. Hal ini dimaksudkan supaya produktivitas pertanian meningkat. Contoh kecil adalah mesin penggiling padi. Di era modern ini sudah ditemukan mesin penggiling padi yang terbukti cepat dan menghasilkan kualitas beras tinggi. Sebab, mesin ini mampu meminimalisir kadar pecah padi.
Infrastuktur juga tak mau ketinggalan. Sampai hari ini, keadaan irigasi yang tak optimal masih dialami di berbagai daerah. Sekali lagi, kondisi tersebut akan berimplikasi terhadap produktivitas dan kualitas hasil panen. Untuk itu, diperlukan juga organisasi pertanian. Organisasi ini selain melakukan berbagai penyuluhan juga bisa menjadi control di bidang pertanian.
Baca Juga : Mensesneg Terima Surat Persetujuan DPR terhadap Nama Calon Kapolri dan Anggota Dewas LPI
Ironi Negeri Agraris
Dalam lima tahun terakhir, volume bahan pangan yang dimpor meningkat 60,03 persen dari 12,36 juta ton menjadi 19,78 juta ton. Bahan pangan yang diimpor tersebut meliputi; beras, gandun dan tepung gandum, gula, kedelai, jagung, susu, buah, sayur, sapi, dan daging sapi, kentang, minyak goring, cabe, bhkan garam. Akibatnya, menghabiskan banyak devisa. BPS mencatat, selama satu decade sejak tahun 2003 nilai impor aneka bahan pangan itu naik empat kali lipat dari 3,34 milliar menjadi USS 14,90 (Suara Karya, 11/2/15).
Ironi samakin tajam. Bukan hanya lahannya yang tersedot, sektor pertanian juga mulai ditinggalkan pelakunya dalam jumlah yang mengejutkan. Menurut Badan Pusat Statistik dalam Sensus Pertanian 2013, hanya dalam satu dekade, ada sekitar 5,04 juta rumah tangga yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian. Sementara jumlah rumah tangga pertanian tinggal 26,13 juta dari sebelumnya 31,17 juta pada 2003. Itu artinya, per tahun, laju pertumbuahannya mengalami penurunan sekitar 1,75%. Apalagi Jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang tahun ini diperkirakan 250 juta, maka jumlah keluarga petani itu tak sampai 11%.
Fakta diatas memang mengejutkan, jika hal ini masih berlanjut, bukan tidak mungkin julukan negara agraris akan segera copot dengan sendirinya. Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja dari sektor-sektor lain seperti Industri, tekstil, kontruksi, perdagangan, transportasi, barang dan jasa justru semakin diminati. Artinya, sektor pertanian sudah tidak menarik dibandingkan dengan sektor lain. Jika sudah demikian, bagaimana negara ini bisa menghasilkan ketahanan pangan?
Selama ini, pertanian seolah dituntut mencari kekuatan sendiri tanpa modal dan perhatian yang cukup dari pemerintah. Padahal, dalam konteks ini, campur tangan pemerintah sangat diperlukan, bahkan didalam amanat konstitusi menyebutkan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi atau memberikan jaminan terhadap para petani. Seperti inilah sedikit contoh problematika pertanian kita. Pertanyaannya, jika yang terjadi demikian, apakah pemerintah pantas menggebu-gebu mengkampanyekan bahwa Indonesia mau menghasilkan ketahanan pangan?
Perlu diketahui bahwa seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara akan lumpuh total ketika sektor pertanian tak diperhatikan. Sebab, semua ini menyangkut persoalan “perut”. Seperti yang telah banyak terjadi bahwa banyak orang melakukan tindakan konyol karena demi memenuhi kebutuhan perutnya. Oleh sebab itu, sektor pertanian harus benar-benar “dihidupkan”. Memang tidak gampang. Akan tetapi, ikhtiar dan sinergitas semua elemen terutama komitmen pemerintah dalam menciptakan swasembada pangan merupakan sebuah keniscayaan demi terwujudnya cita-cita bersama. Selain itu, membuka lahan baru merupakan agenda yang menuntut untuk segera dilakukan. Langkah ini juga harus diimbangi dengan larangan pengalihan lahan menjadi perumahan, perindustrian dan sejenisnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)
MUHAMMAD NAJIB
(Ketua Kajian Ilmu Agama, Negara, dan Budaya (KANeBa) UIN Walisongo Semarang)