Masuknya kapal-kapal besar akan meningkatkan volume perdagangan barang dua arah (impor-ekspor) secara signifikan dan menghemat waktu supply & delivery, sebab setiap kapal besar dapat mengangkut kargo dalam jumlah besar yang tak bisa dipenuhi oleh kapal-kapal kecil.
Baca Juga : PKS Sindir Gerindra yang Minta Anies Baswedan Mundur sebagai Gubernur DKI Jakarta
Secara teknis, jauh lebih convenient untuk meng-handle satu kapal besar dengan muatan puluhan ribu ton ketimbang mengurusi banyak kapal kecil dengan volume angkutan kecil tetapi menyita waktu antri masuk-keluar pelabuhan (fixed berth window), serta waktu bongkar-muat (dwelling time) yang berminggu-minggu, sehingga biayanya mahal dan tidak efisien.
Di sisi lain, kapal-kapal besar tak bisa masuk ke pelabuhan kecil di laut dangkal sehingga terpaksa berbelok mencari pelabuhan yang memadai di negara-negara tetangga. Sudah lama Singapura dan Malaysia mengeruk banyak keuntungan dari ketidakmampuan kita membenahi pelabuhan untuk menjadi poros persinggahan kapal-kapal besar mancanegara.
Baca Juga : Pepen Nazaruddin Diduga Ikut Terseret Kasus Korupsi Bansos
Tidak tersedianya pelabuhan besar berskala internasional itu juga menjadi penyebab menumpuknya arus barang di jalur darat sehingga komoditas kita sulit bisa bersaing dengan komoditas impor yang masuk dalam jumlah besar melalui jalur laut dengan sistem penyimpanan (cold storage) yang andal.
Inilah sebabnya maka, jeruk dari Medan, misalnya, kalah bersaing di pasar dalam negeri dengan jeruk Mandarin dari daratan Tiongkok. Inilah pula sebabnya mengapa pasar swalayan di kota-kota besar kita penuh dengan produk-produk agribisnis impor yang lebih laku ketimbang produk sejenis dari dalam negeri sendiri. Bahkan kelapa muda, singkong, dan garam pun sekarang diimpor.
Baca Juga : Terpuruk Akibat Pandemi, Jokowi Sebut 2021 Momentum Indonesia untuk Bangkit
Menggalakkan pembangunan moda transportasi darat ketika Presiden Jokowi sudah menggulirkan rencana pengembangan sektor kemaritiman adalah arah yang keliru. Masa depan kita ada di laut, dan harus dibangun sejak sekarang.
Urgensi kita saat ini bukannya menggalakkan transportasi darat yang justru tidak akan meningkatkan daya saing produk-produk dalam negeri, melainkan menggalakkan transportasi maritim dan melakukan reorientasi strategi transportasi darat agar mendukung transportasi maritim.
Baca Juga : Ini Sebaran 9.994 Kasus Covid-19 di Indonesia 25 Januari, DKI dan Jabar di Atas 2 Ribu
Pembangunan jalan raya jangan lagi didasari pertimbangan konektivitas geografis semata, melainkan pertimbangan ekonomis dan daya saing. Artinya, jalan-jalan baru yang dibangun di pulau-pulau besar hendaknya direorientasikan untuk menghubungkan sentra-sentra produksi dengan pelabuhan, agar dapat memperbesar arus barang melalui laut, menekan biaya angkutan, mempercepat waktu delivery, serta menciptakan multiplier effects bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Selain, itu, mengingat perlunya melakukan peningkatan kapasitas serta efisiensi transportasi laut dan kinerja kepelabuhanan, maka perlu dibangun paling sedikit lima pelabuhan internasional lagi yang setara dengan New Tanjung Priok di Kalibaru, Jakarta Utara. Inilah pelabuhan tercanggih di Indonesia yang diharapkan akan dapat menyaingi bandar Singapura.
Menurut Richard Joost Lino, Direktur Utama PT Pelindo II —yang juga dikenal dengan nama Indonesia Port Corporation (IPC)— biaya pembangunan New Tanjung Priok sebesar Rp50 triliun tidak sepeserpun berasal dari anggaran negara, melainkan berasal dari konsorsium enam bank asing dengan Deutsche Bank sebagai arranger. Terminal I dan II pelabuhan ini sudah mulai beroperasi dan akan menambah kapasitas sebanyak 3 juta ton lagi.
Mengingat kemampuan keuangan negara yang terbatas, maka pendekatan pembangunan kemaritiman tidak bisa didasari pada kelatahan menciptakan proyek-proyek baru. Membeli kapal-kapal kecil dalam jumlah besar atau membangun banyak pelabuhan kecil yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara —seperti yang tengah direncanakan instansi-instansi terkait— tidak akan membantu meningkatkan daya saing produk-produk dalam negeri, atau pun mengurangi biaya logistik yang tinggi.
Tahun 2011 biaya logistik Indonesia tercatat 24,6% dari GDP. Dari angka itu, 8,7% merupakan inventory cost yang total nilainya adalah US$100 miliar per tahun. Inventory cost terjadi karena kegagalan sistem transportasi domesik kita untuk men-deliver barang tepat waktu. Akibatnya, pengelola jaringan distribusi terpaksa menanggung ongkos yang berlebihan kemudian membebankannya kepada konsumen.
Tahun 2013-2014 biaya logistik Indonesia justru meningkat melebihi 27% dari GDP; artinya kita belum berhasil merumuskan road map yang jelas serta belum mampu mengintegrasikan transportasi darat dengan konsep poros maritim seperti yang dicanangkan Presiden Jokowi.
Justru orientasi untuk membeli banyak kapal kecil serta membangun banyak pelabuhan baru, tanpa membenahi dan mendayagunakan fasilitas yang sudah ada, dikhawatirkan dapat menciptakan peluang-peluang monopoli serta penyalahgunaan anggaran. Sebab lazimnya, semakin banyak jumlah proyek yang digulirkan tanpa strategi jangka panjang dan pengawasan ketat dapat memicu terjadinya penyelewengan.
Itu berarti bahwa sebelum berpikir untuk membangun 27 pelabuhan baru sesuai rencana pemerintah, yang akan menyedot Rp75 triliun dari APBN, sebaiknya dievaluasi dulu secara menyeluruh apakah kualitas pelabuhan (domestic terminals) yang ada masih bisa ditingkatkan.
Mungkin pengalaman Pelindo II bisa kita jadikan acuan untuk melakukan efisiensi. Di Pontianak, misalnya, BUMN ini justru tidak membangun pelabuhan baru, melainkan meng-upgrade kualitas dermaga yang sudah ada.
Hasilnya, menurut Richard Joost Lino, sudah terjadi perbaikan yang signifikan. Kalau tiga tahun lalu kapal-kapal yang ke Pontianak harus menunggu dua minggu untuk bongkar-muat dengan freight sampai Rp7 juta, setelah dibenahi, kini sudah lebih produktif dan efisien.
Inovasi kebijakan yang terjadi di sana adalah meng-inject teknologi dan manajemen baru dengan SDM yang lebih berkualitas. Akibatnya, produktivitas bongkar-muat yang tadinya hanya 7 peti kemas per jam kini meningkat menjadi 14 peti kemas per jam. Kapal-kapal tak ada lagi yang harus menunggu dua minggu, sementara freight bisa ditekan dari Rp7 juta menjadi Rp2,5 juta.
Masalahnya, banyak pelabuhan di Indonesia sebenarnya belum sampai ke level itu. Tantangan sekarang adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan kinerja terminal domestik lainnya sejalan dengan rencana pembangunan poros maritim dunia. Inilah sebabnya penulis berpendapat bahwa tidak semestinya terjadi kelatahan untuk membeli kapal baru atau membangun dermaga-dermaga kecil yang orientasinya hanya agar ada proyek baru yang digulirkan.
Dari sisi bongkar-muat, sebetulnya kinerja Jakarta International Container Terminal (JICT) sudah semakin baik. Produktivitasnya sudah mencapai 2.300 kontainer per tahun. Bandingkan dengan Hong Kong yang produksinya 2.600 peti kemas per tahun.
Tapi, mengantisipasi ketatnya persaingan dalam penerapan Visi ASEAN Maritime Transport 2015 dimana 14 dari 47 pelabuhan utama di Asia Tenggara berada di Indonesia, maka cukup beralasan bagi Pelindo II untuk membangun pelabuhan laut dalam di Sorong (Papua) dan Kalimantan Barat, yang akan selesai ada akhir 2017. Perusahan negara ini juga kabarnya akan membangun pelabuhan bertaraf internasional di Sumatera Selatan yang akan rampung pada 2018; selain akan mengembangkan pelabuhan Bojonegoro dan Cirebon sebagai poros persinggahan utama.
Di samping itu, kabar gembira bagi masyarakat di Jabodetabek adalah akan ada inland waterway yang menghubungkan sentra produksi di kawasan industri Cikarang dan kota Jakarta. Pembangunan inland waterway ini akan dimulai September 2015 dan dioperasikan mulai tahun depan. Dengan jalur perairan darat ini maka volume angkutan barang akan dapat dialihkan melalui kapal sehingga mengurangi kemacetan di jalan raya.
Kita membutuhkan lebih banyak lagi terobosan seperti ini agar semakin banyak volume transportasi darat dapat dialihkan ke jalur laut. Kita juga membutuhkan peningkatan standar layanan dan daya tarik semua pelabuhan di Indonesia sebagai poros persinggahan kapal mancanegara. Poros maritim dunia yang didambakan Presiden Jokowi perlu dimulai dari sini. (*)
PITAN DASLANI
(Direktur Managing The Nation Institute)