Lama-lama, ternyata setelah berkomunikasi dengan salah seorang wali nagari yang saya anggap sangat visioner di kanagarian “Salareh Aie” Palembayan Kabupaten Agam, Uda Insinyur Iron Maria Edi, kekhawatiran itu terjadi juga. Faktanya kalkulasi fiskal untuk satu kanagarian adalah kalkulasi fiskal untuk satu desa. Setelah saya coba utarakan pandangan saya, beliaupun akhirnya mengutarakan harapannya (pinta jo pinto) bahwa jika dimungkinkan, dia berharap, padanan desa dalam perundang-undangan pemerintahan desa selayaknya adalah jorong, bukan nagari, sehingga bobot anggaran nagari tidak tertinggal jauh dibanding desa-desa di provinsi lain. Pasalnya, rata-rata pemerintahan nagari memang terdiri dari beberapa jorong yang notabene dulunya adalah pemerintahan desa sebagaimana dikenal dalam perundang-undangan sebelumnya.
Baca Juga : Menko Airlangga: Vaksin Adalah Game Changer Pulihkan Ekonomi Nasional
Untuk tahun pertama memang terasa biasa saja, banyak nagari yang merasa sangat terbantu dengan visi pembangunan yang berbasiskan pedesaan dari rezim yang baru. Ini tentu sangat bisa dimaklumi. Pemerintahan nagari sudah selayaknya merasa demikian karena ada penambahan sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk percepatan pembangunan nagari. Namun jika kita tilik kedepan alias kita proyeksikan lima atau sepuluh tahun kedepan misalnya, maka akan terasa bahwa nagari akan tertinggal jauh dari desa-desa di provinsi lain karena “daya gedor” kebijakan pembangunan nagari tidak segarang desa di provinsi lain. Nagari mempunyai “governed zone” atau yuridiksi yang jauh lebih luas dari desa, bahkan bisa beberapa kali lipat dari yuridiksi desa, sehingga dengan memiliki nominal anggaran yang sama, nagari akan kedodoran ketimbang desa. Dana yang seharusnya cuma untuk meng-cover satu jorong (eks desa) harus diperuntukan untuk satu nagari yang terdiri dari beberapa desa (jorong).
Perbandingan teknisnya begini, ketika satu desa diluar Sumbar sudah menggunakan anggaran lima miliar untuk lima proyek dalam lima tahun, maka didalam nagari cuma mampu membangun lima proyek untuk lima jorong dengan proyek dan nominal yang sama. Jika satu kanagarian ternyata terdiri dari 13 desa seperti kanagarian Manggopoh di Kabupaten Agam misalnya, maka secara matematis dalam lima tahun anggaran, kanagarian Manggopoh cuma bisa membangun lima jorong, sementara 8 jorong lagi harus menunggu 8 tahun kedepan. Disisi lain, lima proyek dalam lima tahun untuk satu desa tadi adalah lima proyek yang direalisasikan dalam satu kawasan yang sama, yakni yuridiksi desa yang sama.
Baca Juga : Terungkap, Begini Sosok Pelaku Penyebar Fitnah Mayor TNI Tewas Divaksin Sinovac
Dengan cara pandang seperti ini, maka begitu jelas terlihat bahwa beberapa tahun kedepan kanagarian akan jauh tertinggal dari desa-desa diluar Sumbar karena mereka memiliki kekuatan dan daya gedor anggaran yang berlipat-lipat dibanding pemerintahan nagari. Dalam dunia finansial, hal ini kita sebut dengan “leverage” atau daya ungkit. Jadi desa mempunyai daya ungkit pembangunan yang jauh lebih besar ketimbang nagari, walau jumlah anggarannya sama, karena faktor keluasan yuridiksi yang jauh berbeda.
Kondisi ini akhirnya membangun kesan bahwa seolah-olah hadirnya pemerintahan desa jauh lebih menguntungkan dibanding pemerintahan nagari, padahal jika kita tilik secara mendalam, pemerintahan nagari tidak bisa kita letakan dalam area kategoris yang sama dengan pemerintahan desa, baik secara kultural, historis, maupun secara administratif, walau secara normatif cendrung disamakan dengan sistem pemerintahan desa otonom. Nah, disparitas interpretatif ini harus segera diatasi. Harus ada revisi perda nagari yang menjembatani perbedaan interpretasi ditingkat nasional dengan ditingkat provinsial. Perda ini harus memberi klasifikasi, defenisi, dan posisi yang jelas atas pemerintahan nagari dan jorong, sehingga ada jembatan normatif yang menghubungkan interpretasi pemerintahan desa dengan pemerintahan jorong, bukan dengan nagari.
Baca Juga : Jawab Kritik ke Jokowi soal Banjir Kalsel, Moeldoko: Bencana Tidak Bisa Dikendalikan
Secara historispun, perbedaan ini sangat jelas terlihat bahwa desa-desa yang kita kenal pada era pemerintahan lalu telah ditransformasikan ke level pemerintahan jorong, bukan nagari, sehingga klasifikasi dan redefenisi ini bisa mereposisi daya tawar pemerintahan nagari terhadap undang-undang desa yang baru.
Ini tentu bukan pekerjaan mudah, bukan sekedar urusan revisi perda nagari dengan mengganti defenisi-defenisi atau merestrukturisasi posisi nagari dan jorong. Karena faktanya pada tahun pertama realisasi UU Desa, yakni tahun ini, telah terjadi pengklasifikasian desa yang ekuivalen dengan nagari. Fakta yang sudah terlanjur berlangsung ini akan terus berlangusung jika tak ada terobosan kreatif. Butuh usaha yang maksimal dari seluruh stake holder (pemda provinsi, kabupaten, dan forum wali nagari) untuk meyakinkan kembali pemerintahan pusat karena selain terkait dengan kontektualisasi UU Desa di Sumbar, usaha ini juga akan berimplikasi pada penambahan alokasi anggaran desa untuk Sumatera Barat.
Baca Juga : Satgas Covid-19 Beberkan Faktor Penyebab Kenaikan Kasus Corona di Indonesia
Kesulitan pertama tentu terkait dengan posisi hukum perda yang jauh dibawah undang-undang. Jadi intinya harus ditekankan kembali bahwa revisi perda nagari bukan untuk membantah undang-undang desa, tapi memberi acuan teknis terhadap padanan pemerintahan desa di dalam undang-undang tersebut. Tepatnya, revisi perda nagari adalah untuk menjembantani pasal-pasal yang ada dalam undang-undang desa soal “bentuk-bentuk pemerintahan otonom lainya selain desa”. Perda harus menjembatani pasal ini, memberi penekanan (aksentuasi) bahwa yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pemerintah otonom lainnya yang selevel dengan desa secara normatif memang sama dengan nagari, tapi secara sosiologis, politis, dan yuridiksi administratif tidaklah sama. Sehingga perhitungan alokasi dana nagari tidak bisa disamakan dengan perhitungan alokasi untuk satu desa. Pemda harus bisa memberi fakta historis bahwa satu nagari dibentuk dari beberapa desa. Selain itu, pemda juga harus bisa meyakinkan pemerintahan pusat soal potensi ketidakadilan pengalokasian anggaran dibalik penyamarataan desa dengan nagari karena nagari yang secara historis terbentuk dari beberapa desa ternyata cuma dialokasikan anggaran setara dengan desa, ini tentu sangat tidak adil.
Terlepas apapun hasilnya nanti, usaha ini sungguh sangat urgen untuk segera diperjuangkan oleh otoritas lokal. Ini terkait dengan keadilan dan percepatan pembangunan daerah. Pastinya, tak ada satupun masyarakat Sumbar, termasuk wali nagari, bupati, dan gubernur, yang ingin melihat nagari-nagarinya jauh tertinggal dari desa-desa diluar Sumbar beberapa tahun ke depan. Semoga disparitas interpretasi dan kondisi “fiscal assimetric” ini bisa segera disikapi dan disiasati dengan bijaksana oleh pemerintah daerah dan pusat. Karena mau tak mau, ini tidak hanya soal percepatan pembangunan pedesaan dan pengurangan ketimpangan antara desa dengan kota, tapi juga soal keadilan. Nagari layak diperlakukan adil, karena nagari adalah juga bagian dari sistem pemerintahan nasional. (*)
RONNY P. SASMITA
(Pemerhati Ekonomi Politik)