Hal tersebut dikatakan Fahri menanggapi wacana yang dilontarkan Mendagri Tjahjo Kumolo yang menyatakan pembiayaan partai politik sebesar Rp 1triliun yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) juga mengakui bahwa politik adalah salah satu tempat terjadinya korupsi karena seluruh politisi akan mencari uang untuk kepentingan politik dan dituntut mencari uang untuk partai politiknya.
“Kalau kita tidak mengatur keuangan politik ini maka seluruh politisi itu akan mencari uang untuk kepentingan politik. Mencari uang untuk kepentingan politik itu dekat dengan korupsi. Sekarang kita mau milih yang mana. Sebab kalau mau korupsi itu hilang, diantara tempat korupsi yang harus dibabat habis itu adalah pada politik,” kata Fahri.
Selama ini kata Fahri, selalu disibukkan dengan nangkap orang tapi tidak pernah menuntun politisi mencari uang untuk partainya. Politisi harus dituntun bagaimana cara mencari uang untuk partai. Harus ada jawaban, jangan didiamkan saja. padahal di situ banyak masalah.
“Politisi kita itu membiayai politiknya sendiri. Begitu kampanye dia jual tanah, dia jual rumah. Nanti kalau kalah kasihan dia, rugi katanya, bangkrut, ada yang gila malahan. Nah sekarang ini dipikirkan dong, sebab nanti dia berjuang sendiri. Begitu dia terpilih orang bilang, syukurlah nanti dia bisa kembali modal. Nah darimana dia balik modal, dari nyari uang, dan nyari uang itu disebut korupsi sekarang,” tegas Fahri.
Karena itu kata Fahri, DPR sedang meregulasi sistem pendukung, meregulasi sistem pembiayaan kosntituen, sedang mergulasi sistem pembiayaan aspirasi. “Kenapa? Supaya jangan 560 politisi di DPR mencari uang dengan cara tidak diregulasi. Cara korupsi itu yang mau kita tekan. Regulasi keuangan politik itu adalah syarat pemberantasan korupsi,” ujar Fahri.
Fahri juga menjelaskan, di dunia ada tiga metode pembiayaan politik. Metode pertama seperti di Eropa Barat yang sebagian besar dari biaya politik bahkan ada negara yang 100 persen dibiayai negara.
Metode kedua ada yang ekstrim dibiayai donatur, donasi pasar, seperti di Amerika Serikat. Tidak ada batas membiayai politik, orang mau membiayai berapapun, orang mau menyumbang berapapun tidak ada batas asalkan dilaporkan dalam satu rekening yang diaudit oleh negara.
Pola ketiga ada yang sifatnya gabungan dari keduanya, ada yang menggunakan instrumen negara termasuk pajak cukai dan lain sebagainya dalam rangka meringankan pembiayaan politik.
Wacana Lama
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, wacana partai politik dibiayai negara melalui APBN sebenarnya sudah muncul semenjak pembahasan UU Parpol tahun lalu, yang dilandasi oleh fungsi ideal sebuah partai politik, yaitu fungsi pilar demokrasi, pendidikan kebangsaan, rekruitmen calon pemimpin bangsa dan fungsi agregasi aspirasi masyarakat.
“Untuk menjalankan fungsi ideal tersebut, sebuah partai politik memerlukan dana yang besar, yang dengan kondisi sekarang jelas tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut secara maksimal,” kata politisi PKB ini.
Menurut Lukman Edy, kebijakan partai politik dibiayai negara baru bisa dilaksanakan kalau sudah menyelesaikan konsolidasi demokrasi secara maksimal, yaitu treshold maksimal sudah diterapkan.
“Kalau dengan treshold sekarang sudah dianggap ideal, maka syarat untuk menambah partai politik baru yang ikut pemilu diperberat. Pada intinya pembiayaan untuk partai politik oleh negara jangan sampai memperberat beban negara,” ujar anggota DPR Dapil Riau ini.
Sementara itu senator Sumbar, Nofi Candra mengatakan, usulan bagi partai untuk mendapat suntikan dana Rp1 triliun dari pemerintah, hendaknya tidak langsung dianggap sebagai langkah bagi-bagi duit untuk partai politik. Karena dibalik rencana tersebut banyak sisi positif yang dapat diambil, terutama dari pencegahan korupsi dan peran aktif partai politik ditengah masyarakat. Menurut Nofi, ide tersebut bisa diterima jika pemerintah menyertakan syarat ketat dan aturan yang jelas bagi partai politik.
"Bukan rahasia lagi, sumber keuangan partai politik salah satunya berasal dari iuran atau sumbangan kadernya, yang menduduki jabatan baik di eksekutif maupun legislatif. Tidak mungkin hanya mengandalkan gaji saja untuk membantu partai," ujar Nofi.
Dengan adanya dana itu, jelas Nofi, Parpol sudah bisa membiayai dirinya sendiri, dan kader partai tersebut juga konsentrasi bekerja untuk rakyat, sehingga fikiran untuk korupsi juga akan minim. "Kalau sudah dibiayai negara tentu BPK berhak mengaudit dana mereka. Kita bisa tahu kemana aliran dana mereka, apakah untuk kepentingan rakyat atau tidak" jelas Nofi. (h/sam/ndi)