Teman saya itu bisa dikatakan orang baru di Padang, meski sudah bertugas kurang lebih satu tahun di kota ini. Sebagai orang baru, dia merasakan keanehan yang mungkin tidak dia temukan di kota lain. Dia tidak biasa melihat pemandangan tenda pesta pernikahan yang begitu lancang mengganggu arus lalu lintas, karena itu dia merasa ada sesuatu yang aneh, atau salah tepatnya. Sementara bagi masyarakat yang berdomisili di Padang atau yang sering pergi ke Padang, mungkin sudah terbiasa melihat tenda pesta pernikahan yang demikian, sehingga tidak merasa aneh lagi dan tidak memiliki keharusan untuk mengritisinya. Apakah masyarakat Padang menerima hal seperti itu sebagai suatu kebenaran, atau sudah terbiasa melihat hal yang salah karena mereka sendiri juga melakukan hal itu, sehingga kalau persoalan itu dikritisi, sama halnya dengan merobek baju di dada, walau mereka sebenarnya merasa terganggu?
Teman saya itu, barangkali sudah melihat tenda pesta pernikahan meluber sampai ke tengah jalan saat dia pertama kali tiba di Padang. Tetapi belum mengungkapkan keanehan itu, sampai dia sering menemukan hal demikian di banyak tempat di kota ini. Sama seperti yang saya rasakan: setelah menetap di Padang sejak tahun 2006, ketika awal kuliah, saya melihat dan merasakan hal itu. Bagaimana terganggunya kelancaran arus lalu lintas, akibat kesenangan sekelompok orang atas nama baralek. Merasakan bagaimana pengguna jalan harus mencari jalan lain yang lebih jauh dan menyulitkan, untuk sampai di tempat tujuan. Merasakan bagaimana jalur dua, hanya dipakai satu jalur ketika tenda pesta pernikahan menutup penuh seruas jalan.
Bertahun-tahun saya merasakan hal itu. Dua tahun yang lalu, saya ingin menulisnya tetapi tidak kunjung ingin memulai, karena takut dinilai orang bahwa yang saya tulis ini hal yang konyol. Ketakutan saya bukan tanpa dasar, sebab saya merasa bahwa hal demikian seolah menjadi lumrah dan bukan sebagai sesuatu yang salah. Saya takut, jika saya menulis hal itu, akan banyak orang yang marah kepada saya, karena mayoritas masyarakat sepertinya melakukan itu.
Membaca status BBM teman saya itu, keinginan untuk mengritisi hal itu muncul kembali, bahwa memang, tenda pesta pernikahan yang “kurang ajar” itu terasa sangat menganggu. Bahwa setelah tulisan ini terbit dan banyak orang marah kepada saya, saya tidak peduli.
Saya tidak mengerti apa yang dipikirkan mereka yang berpesta, lantas semua orang terganggu karenanya. Apakah karena mereka berpesta, maka orang harus memaklumi bahwa mereka sedang bersenang-senang dan boleh menganggu kepentingan umum? Apakah karena mereka berpesta, lantas fasilitas umum boleh dipakai dan orang lain tidak berhak melarangnya? Atau karena mereka tahu Pemerintah Kota Padang dan penegak hukum tidak akan menindak pelanggar kepentingan umum, kemudian mereka nekat melanggarnya? Ironisnya, yang berbuat demikian bukan hanya masyarakat, tetapi juga pejabat.
Memang harus dipahami, bahwa tidak semua orang mampu menyewa gedung pertemuan untuk menggelar resepsi pernikahan, oleh karena itu mereka mendirikan tenda di depan rumah. Tetapi harus diingat juga pelajaran waktu Sekolah Dasar, bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Harus diingat juga kata-kata yang mengatakan “Katuju dek awak, lamak dek urang”, bukan malah melakukan tindakan yang menimbulkan kata-kata “katuju dek awak, urang berang”.
Sepertinya, segala hal yang berhubungan dengan kata “tenda” di Padang ini selalu membikin masalah. Tidak hanya tenda ceper, tenda biru (baca: tempat maksiat), tetapi juga tenda pesta pernikahan. Yang membikin kita heran, Pemerintah Kota Padang tidak bisa menyelesaikan masalah tenda-tenda itu. Lihatlah, tenda ceper, yang ketika mendengar namanya saja membuat orang alergi, berdiri kokoh bahkan bertambah banyak, seolah tumbuh dari dasar pantai. Bagaimana Pemerinta Kota Padang mau menyelesaikan persoalan yang lebih besar jika masalah sepele macam tenda-tenda darurat saja tidak bisa diurai-putuskan. Pemerintah Kota Padang yang punya aparat dan aparat penegak hukum lainnya ternyata lemah terhadap sekelompok orang yang berlindung di balik tenda sebagai perisai.
Masalah orang balarek ini tidak hanya habis sampai pada tenda saja. Namun, hiburannya juga mengganggu orang di sekitar. Organ yang dipakai orang untuk hiburan, sangat menganggu kenyamanan para tetangga saat beristirahat di malam hari. Dentuman musik dari speaker organ hingga lewat tengah malam, bahkan sampai subuh, sungguh mengganggu. Tapi tak seorang pun bisa melarang.
Kembali ke soal fasilitas umum yang digunakan orang untuk kepentingan pribadi. Bicara soal tugas pemerintah membersihkan fasilitas umum dari kepentingan yang mengganggu, memang menimbulkan pesimisme dan kemalasan yang parah dalam otak. Jangankan tenda pesta pernikahan yang tidak muncul setiap hari, pedagang kaki lima yang berjejer di trotoar, mulai simpang lampu lalu lintas Alai sampai SD 03 di dekat itu tidak diperhatikan oleh pemerintah melalui dinas terkait. Jangan ditanya soal penegak hukum. Walau setiap hari mereka melintas di sana, tapi seolah menjadi hal biasa saja. Apakah para penegak hukum di kota ini buta soal larangan memanfaatkan fasilitas umum?
Teman saya itu bisa jadi salah. Karena persoalan demikian tidak hanya terjadi di Padang atau daerah lain di Sumatera Barat, tetapi juga terdapat di kota lain di luar provinsi ini. Namun masalah yang terdapat di sebuah kota tentu menjadi tanggungjawab oleh pemerintah kota dan penegak hukum setempat. (*)
HOLY ADIB
(Wartawan Haluan)