Badai kencang menerpa internal PPP menyusul terjadinya perpecahan arah politik para politisi PPP antara bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH/koalisi Jokowi-JK) atau dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB/koalisi Prabowo-Hatta). Ketua Umum PPP saat itu, Surya Dharma Ali (SDA) sudah dari awal memilih berada di KIB. Penolakan atas sikap SDA itu menimbulkan riak hebat di internal PPP.
Baca Juga : Pakar Hukum: Penuntasan Kasus Tewasnya 6 Laskar FPI Harus Jadi Prioritas 100 Hari Kerja Listyo Sigit
Riak di PPP makin kencang setelah Ketua Umum PPP SDA ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama, di mana saat itu SDA menjabat sebagai Ketua Umum PPP. Begitu SDA ditetapkan sebagai tersangka, internal PPP langsung buncah. Maka muncul agenda Mukhtamar PPP di Surabaya yang pada akhirnya memilih Romi sebagai ketua umum.
Namun SDA belum mau lengser dan menganggap Mukhtamar PPP di Surabaya tidak sesuai dengan AD/ART PPP. Berikutnya barisan SDA juga melaksanakan Mukhtamar PPP di Jakarta yang memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM menetapkan kubu PPP Romahurmuziy yang sah.
Baca Juga : Pascagempa M 7,0 di Talaud Sulut, 2 Kecamatan Laporkan Kerusakan
Berikutnya kubu Djan Farizd menggugat keputusan Kemenkum HAM ke pengadilan, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di parpol. Gugatan kubu Djan Faridz dimenangkan oleh pengadilan, sehingga dengan begitu SK kepengurusan PPP yang dipegang Romahurmuziy gugur dengan sendiri. Namun demikian, kubu Romahurmuziy tidak terima begitu saja dan mengajukan banding. Sampai sekarang belum ada satu pun kepengurusan DPP PPP yang sah.
Sedangkan kegaduhan di internal Partai Golkar juga tidak kalah hebat. Aburizal Bakrie yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2014-2019 di Munas Golkar Bali, kini terancam kepengurusannya, menyusul pemerintah melalui Kemenkum HAM telah menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2014-2019. Agung sebelumnya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas Partai Golkar yang dilaksanakan di Ancol. Kemenkum HAM menerbitkan keputusan berdasarkan hasil keputusan Mahkamah Partai Golkar. Tapi, kegaduhan belum tuntas, karena kubu Ical juga memproses berbagai dugaan pemalsuan yang terjadi di kubu Agung saat diselenggarakannya Munas Golkar di Ancol.
Baca Juga : Pemerintah Perpanjang PPKM, Anggota DPR Minta Prokes Serius Diterapkan
Kisruh di internal kedua partai, merupakan dinamika politik yang diduga kuat juga ikut didisain oleh pemerintah. Jika kedua parpol tidak bisa menyelesaikan konflik itu secepatnya, maka keikutsertaan dan peran mereka dalam agenda Pilkada di ratusan daerah di Indonesia akan sia-sia. Selanjutnya perolehan suara kedua parpol berlambang pohon beringin dan ka’bah bisa terancam di Pemilu 2019.
Tentu saja kisruh di internal kedua parpol itu juga menyedot perhatian dan konsentrasi para anggota DPR RI/DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kota/Kabupaten. Meski pikiran dan perhatian mereka sekian persen tersedot oleh kisruh internal parpol yang belum pasti kapan akan berujung, namun kita berharap kisruh itu jangan menyebabkan agenda tugas-tugas kerakyatan terabaikan.
Baca Juga : Jokowi Yakin Vaksinasi di Indonesia Rampung Kurang dari Setahun
Pada bagian lain, pemerintah sebaiknya berada posisi menyelesaikan dengan solusi yang terbaik. Bukan malah memihak kepada salah satu kubu yang berseberangan. Sejauh ini, sikap yang diambil pemerintah melalui Kemenkum HAM menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Keputusan itu lebih mengedepankan faktor kepentingan politik pemerintah yang berkuasa untuk menjaga keseimbangan di pemerintahan, kepentingan agenda Pilkada dan juga Pemilu 2019. **