“Bila dalam keadaan terpaksa, kami mempertimbangkan untuk menggunakan hak konstitusi yang diberikan UUD 1945 dan UU,” tegas Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo yang membacakan Pernyataan Bersama Fraksi KMP,” di Gedung DPR, Jum’at (13/3). Hadir dalam penyampaian pernyataan sikap itu Ketua Fraksi Golkar di DPR Ade Komarudin; Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Sekretaris Fraksi Gerindra Fary Djemy Francis; dan Fraksi PPP versi Djan Faridz, Dimyati Natakusumah.
Mereka mengingatkan Menkum dan HAM Laoly bahwa negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan.Seharusnya menurut mereka, Laoly bertindak hati-hati, tidak melawan hukum dan menabrak undang-undang.
“Apa yang dilakukan Menkumham terhadap Golkar dan PPP, jelas tindakan melawan hukum dan sarat dengan kepentingan politik. Kami yakin, keputusan itu tidak melalui persetujuan presiden. Bahkan berdasarkan informasi yang kami terima, Presiden Jokowi tidak mengetahui tindakan Laoly yang memihak kepada salah satu kubu,” kata Bambang.
Bambang menegaskan, Menkumham telah memanipulasi keputusan Mahkamah Partai Golkar yang tidak memenangkan salah satu kubu, baik kubu Ancol (Agung Laksono maupun kubu Bali (Aburizal Bakrie/Ical). “Pak Muladi sebagai Ketua Mahkamah Partai Golkar sendiri telah menyatakan keheranannya karena isi keputusan yang yang dikutip Laoly salah besar dan manipulatif,” kata Bambang.
Begitu juga langkah Laoly yang melakukan banding atas putusan PTUN yang membatalkan SK Menkumham terhadap kepengurusan PPP kubu Romy. “Ini tindakan tercela seorang menteri hukum yang tidak patuh hukum, bahkan melakukan perlawanan terhadap hukum,” ujarnya.
Mereka menduga ada pihak yang mencoba mengambil keuntungan politik, mengail di air keruh jika Golkar dan PPP terus berkonflik. “Agenda kelompok ini jelas ancaman bagi tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini. Tindakan ‘begal politik Laoly terhadap Golkar dan PPP hanyalah pintu masuk bagi agenda politik lain yang bisa mengancam kepentingan nasional,” tegas Bambang Soesatyo.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi heran dengan Menkum HAM Yasonna Laoly yang mengakui Golkar pimpinan Agung Laksono. Padahal, Mahkamah Partai tak pernah memenangkan salah satu kubu di Golkar.
“Saya anggota Mahkamah Partai agak bingung baca itu. Karena, MPG tidak pernah putuskan siapa yang menang,” kata Muladi di Hotel Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Muladi menyampaikan, dirinya dan Nattabaya berpendapat bahwa penyelesaian konflik di Golkar harus melewati jalur pengadilan. Sedangkan Djasri Maarin dan Andi Matalatta menilai kubu Agung harus menyusun pengurus dengan mengakomodir kubu Ical yang dinilai layak.
“Kami (Mahkamah Partai) belum tentukan siapa yang sah,” tegas Muladi.
Menurut Muladi, Menkum HAM menafsirkan keputusan Mahkamah Partai hanya dengan melihat kepentingan politik. “Secara yuridis kami belum tentukan yang benar. Tapi, nampaknya Menkum HAM itu milih yang mungkin cocok itu. Ya itu urusan dia,” tutur Muladi.
Sementara itu, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) berpandangan Menkumham Yasonna Laoly tidak langsung menguatkan legitimasi keabsahan kepengurusan Agung Laksono.Ada tiga hal penjelasan menteri kepada Golkar, pertama menginstruksikan kepada Agung Laksono untuk segera membentuk kepengurusan partai. Kedua, memilih kader partai sesuai dengan AD/ ART. Ketiga, segera mendaftarkan kepengurusan partai yang sudah ditulis di atas akta notaris, untuk kemudian langsung diserahkan kepada Menkumham.
“Surat penjelasan ini secara tidak langsung menguatkan legitimasi keabsahan kepengurusan kubu Agung Laksano oleh Menkumham. Jelas keputusan ini amat disayangkan karena terkesan ada politik adu domba dari Yasonna Laoly, sehingga meruncingkan konflik di internal Golkar,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat KAMMI, Andriyana.
Seharusnya, lanjut Andriyana, Menkumham menjaga netralitas pemerintah dan menjadi pihak penengah, bukan malah sebaliknya. Dalam kasus ini, secara keorganisasian Mahkamah Partailah yang berwenang memberikan putusan.
“Tugas Menkumham ialah menindaklanjuti putusan yang dikeluarkan Mahkamah Partai,” tambahnya.
Andriyana menuding langkah Menkumham itu bermakna adanya desakan pihak tertentu agar partai Golkar masuk ke dalam koalisi pemerintah. Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI Barri Pratama menambahkan, bahwa tidak ada diktum dalam putusan Mahkamah Partai Golkar yang menyatakan mengabulkan dan menerima kepengurusan salah satu pihak yang berselisih.
“Quod non apabila ada putusan Mahkamah partai tersebut batal demi hukum karena bertentangan pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2009 jo. Pasal 11 ayat 1 UU Nomor 49 tahun 2009,” ujar Barri.
Perlu dilihat lebih lanjut ihwal perselisihan ini, lanjutnya, bahwa belum ada penyelesaian final dari internal partai. “Diktum “tidak tercapai kesepakatan” tidak perlu ditafsirkan kembali. Karena dengan tidak tercapainya penyelesaian perselisihan, maka mutatis mutandis berlaku ketentuan pasal 33 ayat 1 UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik bahwa penyelesaian perselisihan diselesaikan melalui pengadilan negeri,” terang Barri. (h/sam/rel)