Tapi kicauan kawan saya ini masih saya anggap wajar karena beliau adalah aktivis dan peneliti ekonomi kerakyatan di Mubyarto Institute Yogyakarta. Jadi sangat bisa saya pahami mengapa beliau sangat aware terhadap tokoh sekaliber Hatta, toh Almarhum Prof. Mubyartopun, tokoh yang menjadi sentral intelektual bagi kantor dimana kawan saya ini bekerja ini, memang ada dalam jalur pemikiran ekonomi yang sama dengan Bung Hatta, bahkan menjadi tokoh intelektual ekonomi kerakyatan yang banyak membawa-bawa Hatta kedalam tulisan-tulisannya semasa hidup.
Baca Juga : Menkes Ungkap Penyebab India Diterjang Tsunami Covid-19
Terkadang tanpa sadar, baik secara intelektual maupun secara emosional, kita cendrung bersikap sama dengan rezim-rezim yang telah meminggirkan Bung Hatta semenjak beliau mundur dari posisi wakil presiden tahun 1956. Kita cendrung menunggu moment, menunggu event, atau menunggu situasi yang mengharuskan kita mengenang beliau, barulah kita memosisikan beliau sebagai figure yang penting. Jika situasi itu tidak datang, event dan momentnya tidak diselenggarakan, kita kembali menyelipkannya jauh disudut terdalam memori.
Tapi entahlah, boleh jadi memang situasi negeri ini sudah begitu pelik sampai-sampai kita sudah tidak punya waktu untuk mengheningkan cipta dan napak tilas tentang seluk-beluk tokoh-tokoh yang telah melahirkan negeri ini dengan sangat susah payah.
Baca Juga : Ini Sosok Jozeph Paul Zhang, Penista Islam
Kondisi kenegaraan atau situasi kepolitikan (polity) negeri ini, secara substansial, sejatinya masih sama saja dengan situasi dimana Bung Hatta merasa kecewa dan mengundurkan diri dari panggung istana. Partai politik yang meraja lela, departemen-departemen yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan partai yang menguasainya, atau ancaman despotisme yang terselip dibalik jubah demokrasi terpimpin waktu itu, ini adalah beberapa point-point pokok yang membuat Hatta begitu kecewa dan memutuskan menjadi rakyat biasa. Dan sampai hari ini, masalah-masalah itu masih menjadi urusan pelik negeri ini.
Masalah-masalah yang sangat mengecewakan Bung Hatta ini baru empat tahun setelah beliau mengundurkan diri jadi wapres diketahui publik. Melalui tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat (besutan Buya Hamka) yang berjudul “Demokrasi Kita”, akhirnya publik mendapat sedikit petunjuk mengapa Hatta secara sepihak memutuskan berhenti menjadi Wakil Presiden.
Baca Juga : Ketua DPD RI Minta Pemerintah Tegur TikTok, Ada Apa?
Setelah beliau mundur dan memutuskan menjadi rakyat biasa, hidupnya masih saja dikelilingi oleh aksi-aksi paranoid Soekarno waktu itu. Rumahnya dimata-matai, setiap duta besar yang bersilaturahmi ke rumah Hatta langsung dipanggil ke Istana dan diprovokasi agar tidak lagi mendatangi Hatta di kemudian hari, atau Hatta yang dicekal untuk menjadi pembicara di acara-acara Internasional, adalah aksi-aksi rezim yang terus mencoba mengurangi makna pentingnya Hatta bagi Indonesia.
Namun demikian, Hatta tak pernah berubah, beliau tetap konsisten memberikan kritikan kepada pemerintah sama seperti beliau membombardir rezim kolonial dengan tulisan-tulisannya yang sangat tajam, jika langkah-langkah pemerintah mencederai rasa keadilan publik. Disisi lain, Hatta pun tak pernah merasa bermusuhan dengan Soekarno, bahkan beberapa waktu sebelum Soekarno wafat, Hatta masih meluangkan waktu untuk menjenguk.
Baca Juga : Akhiri Polemik Vaksin Nusantara, Kemenristek Perlu Segera Ambil Sikap
Sebagai generasi yang menempa bangunan intelektual jauh hari setelah Kiprah dan wafatnya Bung Hatta ( tahun 2000an), saya masih terpesona dan terkagum-kagum dengan proklamator berdarah Minangkabau ini. Sampai detik ini, buah pemikirannya masih sangat konstektual untuk negeri ini, meskipun cendrung diabaikan.
Sebelum tahun 2001, saat saya masih SMA, saya cuma memahami Bung Hatta selayaknya anak sekolah mengenal beliau, yakni sebagai salah satu proklamator yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, cuma sebatas itu.
Pada tahun 2001, masa-masa semester pertama saya di fakultas sosial politik Universitas Padjadjaran, tanpa sengaja saya melihat sebuah buku karya John Ingleson di salah satu rak buku perpustakaan Fisip Unpad. Buku yang memotret perjalanan ide nasionalisme Indonesia ini pada awalnya adalah thesis John Ingleson, namun dari buku inilah pertama kali saya sadar bahwa secara ideasional, peran Bung Hatta ternyata sangat besar dalam meletakan dasar ideasional nasionalisme Indonesia. Bahkan bangunan intelektual Bung Karno tentang nasionalisme Indonesia tak lepas dari bantuan tak langsung tulisan-tulisan Hatta yang secara berkala beliau kirim dari Belanda ke surat kabar – surat kabar pribumi waktu itu.
Melalui buku tersebut, saya memulai menjawab rasa penasaran saya terhadap Hatta yang kemudian berlanjut pada puluhan buku lainya setelah itu, termasuk disertasi John Ingleson yang juga masih kental memotret peran-peran Bung Hatta. John Ingleson, yang saat ini sudah bergelar Emeritus Profesor di University Western Sidney, memaparkan perjalanan ideasional nasionalisme Indonesia secara sangat kronologis sehingga peran-peran penyebaran ide nasionalisme (non kooperasi) Hatta begitu nyata terasa. Pasalnya, beliau memotret dari sudut pandang ilmu sejarah, sehingga secara historis, terasa lebih menggigit ketimbang misalnya buku fenomenal karya George McTurnan Kahin, Herbert Feith, atau karya Benedict Anderson.
Tapi terkadang ada benarnya adigium sindiran yang mengatakan bahwa memori kolektif dan memori historis kita sangat pendek, mudah melupakan masa lalu dan berkoar-koar ingin membangun masa depan tanpa landasan sejarah yang jelas. Dan saya benar-benar merasa sedikit tersindir ketika Peter Carey meluncurkan karya terbarunya tentang biografi Pangeran Diponegoro di akhir tahun 2014. Dalam epilognya (kata pengantar), beliau secara gamblang membuka fakta bahwa hampir 90 persen lebih sejarah ketokohan maupun biografi figur-figur sentral dalam sejarah Indonesia ditulis oleh ilmuwan luar negeri (Indonesianist). Kata pengantar itu saya baca baru beberapa minggu lalu saat saya dihadiahi karya Peter Carey oleh seorang kawan dari UGM.
Kata pengantar inilah yang menjadi salah satu alasan saya untuk memantau media-media, terutama di Sumbar, selama seminggu sejak tanggal 14 Maret 2015 lalu. Dan ternyata memang benar, kita cendrung kurang tertarik dengan sejarah kita sendiri ketimbang orang asing yang rela bersusah payah menggali sumber-sumber primer untuk menerbitkan banyak hal tentang Indonesia. Dan boleh jadi, generasi setelah kita, sudah tidak muncul lagi nama orang sekaliber Hatta ini di dalam gerak intelektualitas anak negeri. Semoga saja tidak. (*)
RONNY P. SASMITA
(Pemerhati Ekonomi Politik)