Berselang beberapa waktu masalah ini hilang dalam “ruang publik” kita, masalah baru datang dengan Menteri Kominfo, membredel media Islam, yang tergolong dalam “status” radikal, sesuai dengan laporan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme(BNPT). BNPT menganggab bahwa situs media Islam yang diberdel tersebut adalah media yang terkesan menganggu keamanan negara, dan itu alasan BNPT dan Menteri Kominfo membredel situs Islam ini.
Baca Juga : BPOM Tetap tak Restui Vaksin Nusantara, Ternyata Ini Penyebabnya
Perang Ideologi
Langkah yang dilakukan pemerintah membredel media Islam yang dianggab radikal ini, bukanlah solusi dalam menyelesaikan konflik ruang publik yang seharusnya bisa diselesaikan secara baik-baik, tetapi masalah ini bukan menyelesaikan masalah tetapi memperucing bahwa pertemuaan dua Ideologi yang pernah bersiteru pada masa Orde Lama kembali bertemu dalam “gelanggang publik Indonesia” Islam versus sekuler.
Baca Juga : Pekerja Harap Bersabar, Sisa BLT Subsidi Gaji 2020 Masih Tahap Pendataan
Pada masa Orde Lama pertentangan antara Ideologi Islam dengan Sekuler adalah titik peruncing pergesekan yang membuat Presiden Soekarno berada titik yang mengawatirkan, secara kekuatan politik saat itu, PKI dan Masyumi adalah kekuatan politik yang menggambarkan gerakan Ideologi Sekuler dengan Islam, dalam masa dan kekuaan politik Partai ini sama-sama kuat dalam peta politik Indonesia pada awal kemerdekaan sampai tahun 1966, ditumbangkan oleh rezim yang mengisi posisi pada masa Orde Baru(orba).
Alasan-alasan pergesekan Ideologi inillah gerakan Presiden Soekarno membuat gagasan Nasional Agama Komunis (Nasakom) sebagai refesentatif pertemuaan idelogi-idologi yang saling bersebrangan baik itu adanya pemahaman tentang Agama, Nasionalisme dan Komunisme. Posisi Presiden Soekarno saat itu, sebagai orang yang diidolakan banyak masyarakat dalam dan luar negeri. Dari berbagai banyak kaum pergerakan Indonesia tidak punya pilihan untuk tetap mendukung Soekarno sebagai Presiden, meskipun ia berada pada sisi “diperebutkan”simpatinya sebagai Presiden oleh berbagai banyak sekte Ideologi yang akan berebut posisi pada pemerintahan Soekano.
Baca Juga : Ini 7 Fakta di Balik Rencana Reshuflle Kabinet, Posisi Menteri Investasi akan Jadi Rebutan Partai Politik
Ruang Publik
Pergesekan Ideologi yang ada saat ini, memang sulit dikata tetapi memang ke-nyataan bahwa masalah ini masih berada dalam bekas-bekas luka Pilpres 9 Juli 2014. Prabowo-Hatta, secara basis masa dukungan lebih didukung oleh kalangan Islam ideologis. Sedangan Jokowi-Kalla didukung oleh kalangan Islam moderat. Perbedaan-perbedaan pertemuaan massa pendukung menjadikan kemenangan Jokowi-Kalla pada Pilpres, tak membuat luka-luka kekalangan pada Pilpres tak juga kunjung sembuh dan bisa diperbaiki.
Baca Juga : Hilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai Makul Wajib, Ketua MPR: PP 57/2021 Cacat Hukum
Presiden Jokowi, meskipun naik dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagai titisan Soekarno yang diminta mengembang beban Ideologis Soekarno untuk terlibat dalam politik, dengan mencalonkan diri menjadi Presiden pada 9 Juli 2015, berpasangan dengan Jusuf Kalla. Beban yang diberikan PDIP kepada Jokowi memang berat, sebagai petugas partai(bahasa yang sering disebutkan oleh petinggi PDIP), Jokowi bukanlah tipikal pemimpin pemersatu berbagai kalangan.
Dalam konteks PDIP, Jokowi belum bisa menjadi orang yang kuat dalam meredam dan mempersatukan banyak Ideologi yang ada pada PDIP, yang pada masa Orba dalam fusi dari berbagai partai yang beraliran sosialis dan nasionalis. Megawati masih menjadi tokoh pemersatu di tubuh PDIP, dalam merangkul dan menyatukan banyak kalangan di PDIP.
Secara kekuatan politik di luar PDIP, Jokowi masih bisa dianggab sebagai wujud rekarnasi dari Soekarno. Langkah-langkah politik yang digambarkan pada diri Jokowi, ia masih tetap menjadi idola partai penguasa maupun oposisi, meskipun kritik masih bertebaran karena persoalan luka lama yang belum sembuh diantara kalangan oposisi dan penguasa.
Hujanan kritik pada masa pemerintahan Jokowi beberapa bulan ini, kritik terhadap pemerintahanya masih tergolong tinggi. Meskipun dalam kritik ini, bukanlah persoalan rivalitas Prabowo dengan Jokowi. Perdebatan itu muncul lebih mengedepanan perang cyber diantara pendukung akan kebijakan Jokowi dan oposisi masyarakat yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla. Bahkan yang sangat mengecewakan adalah bahwa ruang publik, menjadi perdebatan Ideologi Islam dengan sukuler yang tak lagi merasionalkan.
Jika kita merujuk pendapat Habermas ruang publik adalah sebagai berkumpulnya orang- orang untuk berdiskusi berdasarkan rasionalitas. Kenyataan yang kita lihat akhir-akhir ini, ruang publik menjadi pergesekan nilai-nilai kebencian yang terus dipupuk, yang seharusnya informasi yang ada diruang publik adalah hal-hal yang masuk akal bukan, simbol-simbol kebencian yang terus disemai. Tanda palut arit PKI) ataupun media-meda terorisme. Dalam hal ini Presiden Jokowi harus bisa meniru Presiden Soekarno, pemersatu dari berbagai macam Ideologi. Untuk menjadi tokoh pemersatu Presiden Jokowi sudah memiliki popularitas, tetapi hal yang perlu ditambah adalah kekuatan politik Presiden Jokowi untuk bisa masuk ke dalam elemen politik Ideologi yang sedang besebrangan sekuler dengan Islam. Langkah itulah yang sedang kita tunggu!. (*)
ARIFKI
(Analis Politik dan Pemerintahan UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas)