Selama ini, UN memang dianggap momok bagi banyak pihak, khususnya guru dan siswa. Guru dan siswa sama-sama mengalami ketertekanan fisik dan psikis saat menyambut UN. Pasalnya, UN saat itu dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan siswa dari jenjang pendidikannya. Walhasil, tak sedikit guru dan siswa mengalami stress dan malah berbuat tindakan di luar akal sehat dan moral, seperti berdoa di makam “orang pintar” dan membeli bocoran soal UN.
Baca Juga : Kritik Wacana Poros Partai Islam, Zulkifli Hasan: Ini Bertentangan dengan Rekonsiliasi Nasional
UN Bukan Penentu Kelulusan
Kedua, terkait poin di atas, UN 2015 tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Mengutip pernyataan Mendikbud Anies Baswedan, kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan oleh pihak sekolah. Pihak sekolah, lanjutnya, dapat menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan ulangan kelas. Dengan demikian, bobot nilai UN menjadi salah satu faktor, bukan satu-satunya faktor lulus-tidaknya siswa dari sekolah/madrasah.
Baca Juga : Jokowi: Industri Otomotif Harus Segera Diakselerasi
Berbeda halnya dengan UN 2014 yang masih menjadikan bobot nilai UN sebagai satu-satunya faktor lulus-tidaknya siswa dari sekolah/madrasah. UN 2015 lebih diarahkan sebagai alat pengembangan potensi siswa sehingga menjadi bagian dari proses pembelajaran di sekolah/madrasah. Melalui UN 2015, para siswa diharapkan dapat betul-betul jujur dan mengembangkan potensi diri masing-masing, khususnya yang terkait dengan mata pelajaran-mata pelajaran dalam UN.
Ketiga, pelaksanaan UN 2015 berbasis komputer atau secara daring (online). Selama ini, sejak 2004 hingga 2014 penyelenggaraan UN selalu berbasis kertas. Siswa menjawab soal melalui kertas, kemudian kertas tadi dipindai oleh komputer dan selanjutnya hasil UN diperoleh. Pelaksanaan UN berbasis kertas memiliki banyak risiko, di antaranya, jumlah lembar soal dan jawaban kurang, kertas sobek, tidak terlihat/buram, dan sebagainya.
Baca Juga : Masyarakat Antusias Disuntik Vaksin Nusantara, Saleh Daulay: Tak Ada Muatan Politik
Berdasarkan hal itu, maka pihak Kemendikbud berinisiatif untuk melaksanakan UN 2015 berbasis komputer. Namun, pelaksanaan UN berbasis komputer bukan tanpa halangan. Di antaranya, tidak semua sekolah/madrasah memiliki perangkat komputer memadai, selain juga belum meratanya budaya internet di kalangan guru dan siswa. Jadi, hal-hal risiko itu sepatutnya menjadi perhatian bagi pihak Kemendikbud selaku penyelenggara UN.
Hemat saya, pihak Kemendikbud perlu bergerak cepat untuk mempersiapkan UN berbasis komputer. Apabila ada sekolah/madrasah tidak memiliki perangkat komputer secara memadai, maka para siswanya digabungkan dengan siswa sekolah lainnya. Di tahun-tahun mendatang, program pengadaan komputer patut dipikirkan apabila pelaksanaan UN di tahun-tahun mendatang pula berbasis komputer seperti halnya UN 2015.
Baca Juga : Kasus Covid-19 di Indonesia Merangkak Naik: Tambah 6.177 Positif Baru, DKI Jakarta Terbanyak
Namun, yang patut dicatat ialah adanya pengawasan ketat dari pihak Kemendikbud terkait program tersebut. Jangan sampai program pengadaan komputer di sekolah/madrasah menjadi ladang korupsi bagi oknum pihak-pihak terkait seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan. Untuk hal ini, saya berharap agar Mendikbud Anies Baswedan dapat lebih ekstra memberikan perhatian, selain dibantu oleh sejumlah lembaga seperti halnya KPK.
Harus Jujur
Keempat, pelaksanaan UN 2015 sedapat mungkin berlangsung secara jujur. Para siswa, guru, orang tua siswa, serta pengawas dan pemantau UN sepatutnya berlaku jujur, baik dalam UN berbasis kertas maupun komputer. Becermin dari pelaksanaan UN sebelumnya, kita selalu mendengar berita adanya aksi oknum siswa mencontek di kelas, dan anehnya, pengawas UN yang notabene guru pun tidak tahu (atau tidak mau tahu?).
Selain itu, ada pula fakta (nyata!) pihak sekolah melakukan penggantian nilai rapor siswa kelas X dan XI di jenjang SMA/SMK/MA. Modusnya ialah para orang tua siswa diundang ke sekolah untuk menandatangani ulang lembar rapor anaknya di kelas X dan XI. Adapun mata pelajaran yang nilainya diganti ialah mata pelajaran-mata pelajaran yang di-UN-kan. Anehnya pula, para orang tua siswa tidak bersikap protes, ikut saja bagai kerbau dicucuk hidungnya.
Kelima, pelaksanaan UN 2015 melibatkan jumlah peserta mencapai 7,3 juta siswa, dan menggunakan anggaran negara sebesar Rp 560 miliar. Besarnya jumlah peserta UN dan anggaran UN harus diimbangi dengan pelaksanaannya yang sedapat mungkin jujur dan profesional. Becermin dari UN 2013, dua tahun lalu, pelaksanaan UN bisa dikatakan amburadul. Sebagian daerah melaksanakan pada hari tertentu, dan sebagian daerah melaksanakan pada hari lain.
Begitu amburadulnya UN 2013, sampai-sampai sebuah media daring (online) nasional memelesetkan UN menjadi “Ujian Nuh”. Mendikbud saat itu, Mohammad Nuh, betul-betul runyam dibuatnya. Untuk itu, agar UN 2015 berjalan dengan jujur dan profesional, maka segala aspeknya perlu diperhatikan secara detail. Terlebih lagi, UN 2015 berbasis komputer yang jelas-jelas berbeda dengan UN sebelumnya yang berbasis kertas.
Akhir kata, saya berharap agar pelaksanaan UN 2015 dapat berjalan lancar, sukses, dan menjadi pelopor dalam hal kejujuran dan melek teknologi (komputer). Kejujuran merupakan hal utama yang perlu diperhatikan oleh seluruh pihak, tak terkecuali siswa selaku peserta UN. Apapun hasil dari UN 2015, jika diperoleh dengan cara-cara yang jujur, maka hal itu lebih baik daripada diperoleh dengan cara-cara yang tidak jujur, apalagi terhormat. Selamat Ujian Nasional 2015! ***
SUDARYANTO, M.PD
(Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta)