“Cadangan devisa ada di sekitar US$ 111 miliar, keliatan ada penurunan. Dalam banyak hal ada di kewajiban-kewajiban pemerintah yang jatuh tempo yang dibayar. Juga dari BI untuk melakukan stabilisasi nilai rupiah,” jelasnya di Gedung Djuanda, komplek Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (10/4).
Baca Juga : Joe Biden Beri Kepastian Amankan Saudi
Depresiasi nilai tukar yang terjadi pada periode Desember 2014-Maret 2015 mencapai 6%. Menurut Agus, tekanan terhadap rupiah memang cukup berat sebagai dampak dari rencana kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed.
“Tekanan yang tinggi pada rupiah, itu adalah (pasar) pada bertanya-tanya tentang bagaimana keputusan di AS. Kemudian juga sehubungan dengan akan dimulainya quantitative easing di Eropa,” jelasnya.
Baca Juga : Panas, 1.000 Massa Pro Junta Militer Turun ke Jalan di Myanmar
Untuk saat ini, lanjut Agus, The Fed memang masih menunda kenaikan suku bunga. Ini menyebabkan investor kembali meminati aset-aset di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampaknya, nilai tukar rupiah bergerak menguat.
“Kesannya adalah tidak mau menaikkan bunga di AS secara terburu-buru. Kondisi jauh lebih stabil karena tekanan dari perkembangan di AS dan Eropa tidak seperti yang diperkirakan. Kita melihat bahwa nilai rupiah pada minggu ini jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya,” papar mantan Menteri Keuangan tersebut. (h/dtf)
Baca Juga : Astaga! Ada Tanda-tanda Fase Baru Mutasi Covid-19