“Terlalu naif rasanya, kalau para calon tidak memiliki maksud di balik pemberian suvenir. Itu sudah jelas, adanya upaya penggalangan suara pemilih yang diharapkan para calon,” katanya kepada Haluan Senin (27/4).
Baca Juga : Pemko Padang Siap Kawal Pesantren Ramadan dari Covid-19
Asrinaldi menilai, penyebab muncul aturan memperbolehkan calon memberi suvenir pada pemilih ada dua macam. Pertama, atas rasa kepanikan yang dialami anggota DPR selama ini. Sebab ada dugaan mereka itu melakukan hal yang sama dalam mendulang suara pada pileg lalu. Kedua, karena cukup tingginya intervensi partai politik yang mengatur negara ini. Malah para anggota DPR dengan power yang dimilikinya ingin menjadikan negara ini berada di bawah rezim partai.
“Kalau memang betul begitu adanya, jelas ini bertentangan dengan UU bahwa DPR merupakan mitra pemerintah, bukannya penguasa dari pemerintah,” ulasnya.
Baca Juga : Sepekan Puasa, Harga Cabai Rawit Bergerak Turun di Padang
Salah satu bentuk intervensi partai terhadap pemerintah yakni atas lahirnya aturan memperbolehkan calon memberi sovenir pada pemilih. Kata kesepakatan yang disebutkan DPR dalam melahirkan aturan calon boleh beri sovenir itu, jelas kurang mengena. “Saya justru meyakini bahwa kata kesepakatan itu tak lebih dari bentuk lain intervensi DPR pada KPU. Soalnya yang akan bertarung dalam pilkada nanti adalah anggota partai dari masing-masing anggota DPR. Tentunya mereka tidak mau kadernya kalah dalam pertarungan pilkada tersebut.
Menurut Asrinaldi, sikap DPR yang demikian bukannya bentuk sikap demokratis. Dikatakan juga, praktik memperbolehkan calon memberi suvenir itu bukan bentuk pencerdasan demokrasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Sebaliknya langkah ini justru memundurkan rasa demokrasi yang ada di negara ini.
Baca Juga : Penertiban Balap Liar di Padang, Seorang Personel Polisi Ditabrak
“Pengawasan yang dilakukan Panwaslu atas terobosan baru yang dilahir DPR itu, akan sangat sulit dilakukan. Soalnya, Panwaslu akan sulit mendeteksi apakah pemberian suvenir oleh calon itu benar-benar seharga Rp 50 ribu atau tidak. Jadi saya berharap, KPU bisa menolak kata kesepakan yang disebutkan DPR itu. Karena kuat indikasi ke arah money politic,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Negeri Padang Eka Vidia Putra menilai, adanya pemberian yang dilakukan oleh seorang calon kepala daerah kepada masyarakat merupakan suatu budaya. Maksudnya, baik itu calon kepala daerah atau masyarakat biasa, sudah menjadi sebuah kebiasaan di tengah masyarakat untuk meninggalkan buah tangan.
“Tidak hanya itu, berdasarkan survei yang dilakukan, ternyata pemberian yang dilakukan oleh calon kepala daerah ternyata tidak menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk memilihnya. Sebagai pengingat memang iya, tapi tidak menjadi alasan utama untuk memilih,” ucap Eka.
Dengan demikian, baik dari segi aturan dan tinjauan sosiologis tidak ada yang salah dengan pemberian tersebut. Eka juga menilai, dengan adanya batasan yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), telah membatasi pemberian di luar batas kewenangan yang dilakukan oleh calon kepala daerah.
Di sisi lain, Eka mengakui adanya pemberian yang dilakukan ini memang memiliki niat agar dipilih. Bahkan masyarakat juga menyadari hal ini sebagai bentuk bujukan untuk memilih mereka. Namun, karena masyarakat tidak menjadikan ini referensi pokok, pemberian ini tetap menjadi buah tangan.
“Masyarakat tentunya memiliki referensi pokok lainnya dalam memilih. Baik itu dari sisi visi misi yang disampaikan dan lainnya,” ucap Eka.
Eka juga melihat pelegalan pemberian suvenir oleh calon kepala daerah ini tidak akan memberikan pengaruh buruk di tengah masyarakat, sehingga selalu mengharapkan pemberian dari calon. Karena sebuah pemberian dianggap hal yang biasa, layaknya mendapatkan buah tangan dari orang yang pulang dari rantau.
Salah Tafsir
Sementara itu, Komisioner KPU Sumbar, Muftie Syarfie mengatakan, banyak orang yang salah dalam menafsirkan dengan draft peraturan KPU yang telah disepakati KPU dengan Komisi II DPR RI. Dia menegaskan bahwa pemberian calon kepada pemilih itu adalah dalam bantuk barang, bukan dalam bentuk uang. Jadi tidak bisa dikatakan politik uang, karena yang diberikan itu bukan uang.
“Angka Rp50 ribu itu dalam bentuk sovenir. Bisa jadi dalam bentuk mainan kunci, bros, baju, sapu tangan, dan lainnya. Bukan uang,” ulasnya. (h/mg-rin/eni)