Saat Administrasi Informasi Amerika mengumumkan bahwa pasokan minyak kawasan itu pelan-pelan agak mulai berkurang, justru saat itu pula OPEC malah mengumumkan kenaikan produksi dan pasokan dari beberapa negara anggotanya. Sejurus dengan itu, konflik yang bergejolak antara pemberotak Houthi dan Arab di Yaman juga memberi sinyal ancaman atas dua pertiga jalur perdagangan dunia dari Laut El Mandeb dan Teluk Eden menuju Terusan Suez.
Baca Juga : Disebut Bak Musa Datangi Firaun, Amien Rais Ungkit Hukum Neraka ke Jokowi
Berseberangan dengan itu, negosiasi nuklir Iran juga memunculkan kekhawatiran penambahan pasokan minyak dunia jika embargo ekonomi Iran dihentikan yang akan berimbas pada keluarnya berjuta-juta barel cadangan minyak Iran ke pasar global. Sehingga akhirnya, pembalikan harga tertahan di level yang agak sedikit moderat (antara $60-70 per barel). Namun demikian, harga tetap melewati ambang batas harga patokan minyak yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya ($60).
Dari sisi dalam negeri, Rupiah terlihat kian kewalahan menghadapi tekanan global dan menurunnya vitalitas fundamental ekonomi nasional. Rupiah kembali ke titik kritis di atas Rp 13.000 per dollar yang membuat harga BBM domestik ada dalam jalur komplikasi. Disatu sisi, harga minyak dunia sudah mulai melewati batas patokan harga yang dipakai pemerintah. Sementara itu di sisi lain, pelemahan rupiah juga membuat beban import semakin besar karena penambahan selisih mata uang yang harus ditanggung. Inilah beberapa dasar mengapa saya harus memilih, walau dengan sangat terpaksa, untuk memahami kenaikan harga BBM dalam negeri yang entah untuk kebererapa kalinya itu, saya sudah tidak ingat lagi.
Baca Juga : Catat! Pelanggar Larangan Mudik Bakal Diminta Putar Balik atau Ditilang
Namun hanya dalam hitungan jam setelah berita kenaikan harga BBM non subsidi muncul, saya membaca berita lain yang cukup menggelikan. Kenaikan harga BBM dibatalkan. Sayapun langsung kehabisan cara untuk menemukan “”kesan” yang tepat, apakah cukup dengan mengatakan “biasa saja” atau “luar biasa” atau apa?
Pikiran saya melayang ke beberapa patah kata Jokowi yang menggelitik dunia beberapa waktu lalu, “I don’t read what I sign”, begitu bunyi sebuah kalimat singkat yang ternyata menjadi judul headline berita di harian Wall Street Journal beberapa waktu lalu. Pertanyaan saya, apakah ketidaktelitian (terburu-buru) telah menjadi “habbit” atau mungkin “hobby” dari pemerintah saat ini atau memang ada kesengajaan untuk menguji respon publik seperti melemparkan batu ke dalam air yang kedalamannya belum diketahui? Apakah faktor pergeseran Petral ke ISC juga menjadi sebab ketidakkonsistenan pemerintah dalam memenatapkan harga? Ataukah ada faktor-faktor lain yang gagal ditangkap pemerintah (Pertamina) sebelum mengeluarkan kebijakan? Dan Masih banyak pertanyaan lainya.
Baca Juga : JK-Surya Paloh Bisa Berkolaborasi untuk Anies Baswedan di Pilpres 2024
Sebagian kalangan yang berseberangan dengan pemerintah tentu memakan dengan lahap isu inkonsistensi penetapan harga BBM ini. Berbagai tudingan skeptis, antagonis, pesimis, bahkan sinis mulai bertebaran di berbagai media. Ada yang berpendapat bahwa pembatalan kenaikan BBM hanya sebagai reaksi politis. Artinya, pembatalan hanyalah berupa penundaan untuk melewati batas waktu 20 Mei alias untuk menghindari penambahan amunisi bagi mahasiswa saat perhelatan reformasi nanti. Setelah itu, harga diprediksi akan tetap dinaikan mengingat kondisi harga global yang telah melewati ambang batas yang ditetapkan dan rupiah yang kian terperosok dalam.
Di tengah kebingungan yang tak beralasan tersebut, salah satu kawan di dalam satu grup diskusi online (Whatsapp) yang saya ikuti mulai memberikan penilaian pasrah atas tarik-ulur kebijakan harga BBM ini. “Terkait penetapan harga BBM domestik, pemerintah memang terlihat seperti sopir bajaj, hanya dia dan tuhan yang tau kapan harus berbelok dan kapan harus berhenti”, begitu kata kawan saya yang sedang menyelesaikan studi strata tiganya di Jerman itu.
Baca Juga : Reshuffle Kabinet Jokowi, Nadiem Makarim Layak Diganti?
Sontak beberapa kawan lain juga ikut menimpali sembari melemparkan canda tawa tak berkesudahan. Seperti biasa, sayapun selalu ikut memberikan sepatah dua patah kata untuk meramaikan situasi, terutama dengan pancingan-pancingan pasrah sebagai tanda ketidakpahaman atas kebijakan-kebijakan pemerintah. “Jika hanya dia dan tuhan yang benar-benar paham soal ini, maka mari kita berdoa semoga kedepannya lahir kebijakan harga BBM yang berketuhanan”, ucap saya sambil cekikikan. Namun tanpa saya sangka ternyata hampir semua anggota grup malah silih berganti menimpali dengan kata “Amien”, walaupun embel-embel tambahannya selalu memakai emoticon tertawa (terbahak).
Jadi bagi sayapun akhirnya tak ada cara lain untuk memberikan kesan pada dinamika harga BBM domestik ini selain ikut tertawa. Karena setelah saya pikir-pikir, ternyata tertawa adalah juga salah satu aktivitas yang belum terkontaminasi oleh kekuasaan negara dan tak terpengaruh oleh ketidakpastian yang dipertontonkan pemerintah.***
RONNY P. SASMITA
(Pemerhati Ekonomi Politik)