Kalau mengedepankan untung dan laba usaha, menurut pria yang sempat berkuliah di Universitas Al Azhar Mesir tersebut, jauh lebih menguntungkan berinvestasi di tanah Jawa.
Baca Juga : Jakarta Masuk dalam Daftar Kota Termahal Dunia, Ini Penyebabnya
Sebab, usaha di tanah Jawa dapat didukung upah pekerja yang jauh lebih murah di bandingkan dengan upah pekerja di pulau Sumatera. Perbandingannya pun, bisa hingga empat kali lipat.
Usaha kreatif pengolahan bambu ini belum lama digelutinya, terhitung sejak Februari 2015 lalu di bawah bendera PT. Bio Nature Internastional. Sebelumnya, perusahaannya itu berkonsentrasi mengembangkan obat-obat herbal.
Baca Juga : Kabar Baik! Jaringan di Wilayah Sumatera akan Ditingkatkan Selama Ramadan
“Kalau orientasinya hanya untung, jauh lebih baik berinvestasi di tanah Jawa. Selain bahan baku yang melimpah, upah pekerja pun sangat jauh lebih rendah dari pada di Sumatera ini,” ungkap Romi Alghifari kepada Haluan.
Produk yang dihasilkannya, mulai dari tusuk sate, tusuk gigi, dan lidi sangkar burung dikerjakannya pada salah satu bekas workshop milik PT. Bukit Asam – Unit Penambangan Ombilin. Romi menyewa tempat itu sebagai tempat usaha.
Baca Juga : Maksimalkan Pengalaman Aktivitas Digital di Momen Ramadan dan Idulfitri 1442 Hijriah
Dengan investasi awal sebesar Rp600 juta dan melibatkan belasan pekerja, kini pabrik pengolahan bambu itu mulai menghasilkan produk olahannya, dengan bahan baku yang berasal dari seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Barat.
Saat ini, ungkap pria yang akrab disapa Buya itu, perusahaannya masih mengandalkan satu set mesin pengolah bambu. Meski satu set, pekerja yang dilibatkan sudah terbilang banyak. Setidaknya 22 pekerja tetap terserap untuk mengoperasikan satu set mesin tersebut.
Baca Juga : Resep Kolak Pisang Tanpa Santan, Cocok untuk Berbuka Puasa
Seiring dengan mendapatkan bahan baku terbaik, Buya mengatakan perusahaannya sedang menambah mesin, yang tentunya akan menambah jumlah pekerja.
Ayah Omar Farouq Alghifari itu melihat, selama ini masyarakat masih melihat bambu sebagai gulma yang mengganggu dan tidak memiliki nilai ekonomis sedikit pun. Kalau pun dimanfaatkan, belum dilakukan maksimal.
Padahal, lanjutnya, bambu filosifinya tidak ada yang terbuang. Bahkan, akarnya pun bisa dimanfaatkan untuk produk kerajinan. Sedangkan serbuk hasil gergajinya dapat dimanfaatkan untuk komposit ataupun briket.
Anggapan bambu sebagai gulma atau tanaman pengganggu itu, dapat dilihat dari keinginan masyarakat untuk memberikan bambu yang mereka miliki secara cuma-cuma.
Namun, sebagai anak Nagari Kubang Kota Sawahlunto, Buya tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Setiap batang bambu yang akan diolah, musti memiliki nilai rupiah tersendiri.
Secara bertahap, menurut Buya pihaknya mencoba memanfaatkan setiap jengkal maupun butir serbuk yang dihasilkan dari bambu, untuk produk kreatif yang bernilai ekonomi.
Apalagi bapak satu anak kelahiran 25 Maret 1979 itu melihat, bisnis kreatif olahan bambu, minim kompetitor. Peluang pasarnya pun sangat besar. Sebab, beragam produk kuliner dan jajanan membutuhkan produk olahan dari bambu tersebut.
Kompetitor yang ada saat ini, lanjutnya, hanyalah produk asal Cina yang tidak alami, sehingga tidak bagus untuk kesehatan. Sedangkan PT. Bio Nature International, mengedepankan kealamian.
“Kita tidak mengolah bambu dengan bahan pengawet ataupun bahan kimia. Sebab, produk yang kita hasilkan akan bersentuhan langsung dengan organ tubuh manusia,” terangnya. (h/***)
Laporan:
FADILLA JUSMAN