Ada beberapa bentuk kekerasan yang dapat terjadi dan mengancam kehidupan anak, yaitu kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual (Mansyur Hidayat, 2015).
Baca Juga : Elektabilitas Capres Oposisi, Gatot & Rocky Gerung Tertinggi
Menakar (akar) kekerasan
Menelusuri akar kekerasan yang terjadi dalam perilaku manusia, dapatlah kita petakan berdasarkan struktur jiwa dalam teori psikoanalisanya Sigmund Freud (1983). Menurut Freud, pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos).
Baca Juga : THR Pekerja Wajib Dibayar H-7 Lebaran
Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman praktiknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.
Pada bagian lain, energi superego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.
Baca Juga : Tertarik Beasiswa LPDP, Ini Syarat dan Cara Pendaftarannya
Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain).
Thomas Hobbes menggambarkan bahwa, manusia adalah makhluk yang memiliki tendensi dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir pendek. Dalam istilahnya Hobbes disebut dengan “homo homini lupus”, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain. Serigala-serigala itu bahkan membayangi keselamatan jiwa anak “dalam selimut”. Orang tua, keluarga dekat, baby sitter juga pembantu rumah tangga dapat menjadi ancaman bagi kehidupan anak. Maraknya tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam masyarakat modern membuktikan sudut pandang ini.
Baca Juga : Aa Umbara Tersangka, Hengky Kurniawan Ditunjuk Jadi Plt Bupati
Tanggungjawab perlindungan anak
Perlindungan terhadap anak adalah tanggungjawab setiap elemen bangsa yang masih menginsafi bahwasanya anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perindungan dari kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Undang-undang menempatkan negara dan pemerintah sebagai pengawas penyelenggaraan perlindungan anak (Lihat pasal 23 ayat (1) UU Perlindungan Anak).
Pengasuhan, perwalian, dan pengangkatan anak mesti diawasi betul oleh negara agar terjaminnya hak-hak dasar anak. Hak-hak dasar itu melingkupi bidang agama, kesehatan, pendidikan, maupun sosial.
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Perlu diinsafi bersama, sebagaimana Noam Chomsky menasihatkan dalam Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (2006), setidaknya ada dua karakter utama atau dua kategori yang membuat negara tertentu dapat disebut sebagai negara gagal. Salah satunya adalah negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warga negara dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Itulah negara yang tidak dapat melindungi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsanya. ***
ALEK KARCI KURNIAWAN
(Peneliti Muda Konstitusi (PUSaKO) — FH Unand,
Pengamat Hukum UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas, Padang)