Sesuai road map pembangunan “tol laut” dimaksud, akan dibangun jalur besar yang menghubungkan pelabuhan Belawan dan Kuala Tanjung di Sumatera Utara ke Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Makassar, dan Bitung. Nantinya akan ada satu pelabuhan internasional lagi yang, menurut berbagai sumber, akan dibangun di Sorong oleh PT Pelindo II (Indonesia Port Corporation).
Baca Juga : Usai Badai Seroja, Muncul Danau Baru di Kota Kupang
Jalur besar itu sendiri tidak akan tampak secara kasat mata, sebab semua pelabuhan itu sesungguhnya sudah beroperasi lama dan tak akan ada kejutan besar di bidang infrastruktur kepelabuhanan. Yang terjadi hanyalah pengaturan jadwal kapal serta regulasi kepelabuhanan yang menginginkan kapal-kapal dagang dalam dan luar negeri melalui jalur dimaksud.
Dampak yang akan terjadi hanyalah penurunan biaya angkut (freight cost) dari dan ke pelabuhan-pelabuhan dimaksud, tapi belum akan mengurangi logistical and inventory cost yang terjadi di pelabuhan, sebab hal ini berhubungan dengan kewenangan regulator serta produktivitas operator pelabuhan. Hal itu berarti bahwa pembangunan tol laut barulah menyentuh permukaan dari permasalahan sesungguhnya yang selama ini menjadi penghambat peningkatan produktivitas dan daya saing pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Baca Juga : Lukai Perasaan Umat Islam, Wamenag: Joseph Paul Zhang Bisa Ganggu Kehidupan Beragama
Dalam konteks persaingan regional dan global, konsep tol laut mesti didukung oleh adanya integrasi sistem transportasi nasional sehingga inefisiensi yang selama ini terjadi di sektor perhubungan darat tidak malah menghambat pengoperasian tol laut. Tak akan ada manfaat signifikan dalam pembangunan tol laut apabila produktivitas dan daya saing semua pelabuhan utama di Nusantara ini tidak ditingkatkan untuk menyamai level produktivitas dan daya saing pelabuhan-pelabuhan kompetitor di kawasan Asia.
Padahal jika kita mampu membenahi pelabuhan saja, kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 0,34 persen dan bila bisa menyamai efektivitas dan produktivitas pelabuhan Singapura maka kontribusinya akan sebesar 0,78 persen, menurut penjelasan Dirut Pelindo II, Richard Joost Lino.
Baca Juga : Harapan DPR Soal Reshuffle Kabinet Jilid II: Jokowi Pilih Sosok Inovatif dan Berani
Untuk memenangkan persaingan, yang diperlukan bukan sekadar menyamaratakan harga barang. Kecanggihan infrastruktur, kualitas layanan, dan produktivitas pelabuhan perlu segera ditingkatkan agar mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan besar di Asia.
Seperti dijelaskan oleh R.J. Lino, pelabuhan-pelabuhan utama dalam jalur tol laut perlu berada pada level yang sama dalam hal kecanggihan infrastruktur, produktivitas, dan layanan bertafar internasional yang melibatkan SDM kepelabuhanan yang kapabel agar tidak terjadi ketimpangan di sisi operasional dan layanan kepelabuhanan kita.
Baca Juga : Pesan Menkes Budi: Vaksinasi Jangan Bikin Kita Lengah dan Tak Waspada
Menurut observasi di lapangan, hanya New Tanjung Priok Harbour di Kalibaru, Jakarta Utara, yang dibangun oleh Pelindo II tanpa menggunakan APBN, yang akan siap bersaing. Pelabuhan ini memiliki infrastruktur serta produktivitas yang semakin baik, setelah BUMN yang dipimpin Lino itu menginvestasikan dana hampir dari US$5 untuk membangunnya disertai peningkatan produktivitas, kualitas layanan, dan kualitas SDM-nya.
Inisiatif seperti yang dipelopori oleh Pelindo II inilah yang sangat kita butuhkan untuk meningkatkan daya saing pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia, sebab inisiatif demikian selain tidak membebani APBN, juga dapat meng-energize perekonomian nasional.
Sebab Pelindo II ternyata mampu membangun pelabuhan bertaraf internasional yang disesuaikan dengan antisipasi peningkatan container traffic dunia yang akan semakin meningkat dalam beberapa dasawarsa mendatang.
Trend peningkatan arus barang dunia membuktikan bahwa kapal-kapal dagang yang akan memasuki kawasan Asia Tenggara adalah kapal-kapal besar, bahkan yang berukuran 300.000 DWT, yang memerlukan pelabuhan laut dalam dengan fasilitas yang sama kualitasnya dengan yang ada di negara-negara maju, disertai mekanisme bongkar-muat yang tinggi produktivitasnya dan juga bebas hambatan.
Trend inilah yang belum tampak antisipasinya dalam rencana pembangunan tol laut yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Sebab yang diperlukan bukan hanya jalur bebas hambatan di laut melainkan lebih dari itu adalah sistem transportasi terpadu bebas hambatan atau “tol transportasi terpadu” agar waktu bongkar-muat (dwelling time) serta kepastian kapal tiba dan berangkat bisa lebih terjamin.
Pemerintah perlu secara serius menggulirkan “tol transportasi terpadu” dimaksud agar truk-truk yang mengangkut petikemas tidak memadati jalan raya dan menyebabkan kemacetan di berbagai tempat. Perlu ada jalur khusus petikemas selain jalur transportasi air (inland waterway), sejenis sistem subway di Jakarta, agar selain mengurangi kemacetan jalan raya juga dapat memperpendek waktu transportasi barang ke—dan dari—pelabuhan.
Integrasi sistem transportasi darat dengan laut seperti ini akan sangat membantu menurunkan biaya angkut barang, sekaligus memberikan kepastian tibanya barang di pelabuhan. Integrasi dimaksud juga perlu mencakup pembangunan jalur kereta api khusus yang menghubungkan pusat-pusat industri dan produksi dengan pelabuhan-pelabuhan utama.
Tapi, dalam perspektif Wawasan Nusantara, hal itu belum cukup untuk memperkokoh kesatuan wilayah NKRI, mengatasi kesenjangan, dan memacu pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di negara kepulauan ini. Maka langkah berikut yang perlu dilakukan, bahkan sejak sekarang, adalah membangun pelabuhan-pelabuhan penghubung yang memadai fasilitas dan layanannya di berbagai daerah, khususnya di daerah padat sumberdaya dan padat produksi, termasuk berbagai kabupaten yang mengandalkan jalur transportasi darat.
Masyarakat di banyak daerah land-locked di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua hingga kini tak mampu memasarkan berbagai barang dagangannya ke luar kabupaten karena minimnya instrasruktur transportasi. Akibatnya, penduduk di berbagai kota besar terus membeli produk-produk impor dengan harga tinggi sementara penduduk di berbagai daerah yang kaya sumberdaya alam malah tak mampu menikmati manfaat semestinya dari sumberdaya alam yang dimilikinya.
Pembangunan tol laut yang dicanangkan Jokowi tak bisa hanya dimaksudkan untuk menyamaratakan harga barang. Niat seperti itu terlampau kecil jika dihadapkan pada potensi sumberdaya alam negeri ini yang sangat besar dan perlu dipasarkan ke berbagai negara demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Maka yang dibutuhkan sebetulnya bukan sekadar tol laut untuk menyamaratakan harga melainkan “tol transportasi terpadu” yang dapat menggerakkan perekonomian di berbagai daerah secara lebih cepat dan hemat biaya.
Kementerian Perhubungan, Perdagangan, Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, BUMN, serta berbagai korporasi negara dan swasta perlu dilibatkan secara serius dalam merumuskan sistem “tol transportasi terpadu” dimaksud dan menggulirkan proyek-proyek yang terintegrasi sistemnya (dan bukan yang berdiri sendiri-sendiri).
Dengan demikian maka kita dapat meningkatkan skala, kapasitas, dan daya saing pelabuhan-pelabuhan di Nusantara di tengah persaingan global yang kian ketat. Empat BUMN kepelabuhanan yang menjadi operator pelabuhan utama di Nusantara (Pelindo I, II, III, IV) perlu dipadukan atau digabung ke dalam suatu holding company untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Pengabungan empat Pelindo dimaksud akan menjadikan BUMN kepelabuhanan Indonesia sebagai perusahaan raksasa dunia di bidangnya yang memiliki leverage, kapasitas, dan skala operasi yng besar sehingga mampu bersaing dengan negara-negara maju.
Semua ini membutuhkan perencanaan yang matang serta koordinasi dan konsistensi kebijakan yang tak boleh didikte oleh pergantian kepemimpinan nasional. Kelemahan kita selama ini adalah tidak adanya konsistensi perencanaan yang mengakibatkan tidak adanya konsistensi kebijakan.
Dalam perspektif Wawasan Nusantara, hal seperti itu tak boleh dibiarkan terjadi. Presiden Jokowi berpeluang untuk menciptakan sistem di tingkat hulu yang dapat menjamin konsistensi perencanaan dari tol laut menjadi tol transportasi terpadu agar upaya meningkatkan daya saing negeri ini tidak dimentahkan oleh penggantinya di kemudian hari. (*)
PITAN DASLANI
(Direktur Managing The Nation Institute
dan Maritime Indonesia co)