Belum ada satupun kekutan formal di Pesisir Selatan yang bisa memaksa pemain perdagangan sawit untuk memberikan harga yang pantas bagi petani. Pernyataan para pedagang ketika itu sudah laksana CEO perusaan besar pula yakni kebutuhan jelang lebaran besar di perusahaan maka untuk menutupinya dengan menurunkan harga TBS. Seolah -olah petani tidak punya kebutuhan saat lebaran.
Baca Juga : Politik dan Etika Berkelindan dalam Pengisian Jabatan Wawako Padang
Petani hanya dihadapkan pada dua pilihan saat musim panen tiba di bupan Ramadhan ini yakni memanen sawit kemudian menjual dengan harga murah ke touke/pedagang atau membiarkan sawit jadi berondol dan membusuk di rumpun sawit. Daripada tertelungkup dan karam biarlah miring, kira-kira itulah yang ada dalam fikiran para petani.
Ditambah lagi, mumnya petani buta dan tuli akan harga standar TBS. Berapa yang ditawarkan touke ya itulah yang harus diikuti.Sehingga harga tandan buah segar sawit (TBS) di Pesisir Selatan tidak pernah sesuai harapan petani. Rabu (24/6) harga sawit di luar perkebunan inti rakyat rata-rata dipatok toke seharga Rp600 hingga Rp650 perkilogramnya. Sementara harga yang diharapkan petani Rp1900 perkilogramnya.
Baca Juga : Jangan Terlalu Bersedih Jika Kamu Dihinakan
Ijal (57) warga Kambang Utara Kecamatan Lengayang menyebutkan, harga TBS belum sepadan dengan biaya pengolahan lahan dan tuntutan kebutuhan harian. Harga ideal sawit adalah Rp1900 per kilogram sementara yang terjadi malah sebaliknya. Dengan harga pada kisaran Rp600 - Rp700 sebetulnya petani harus menutup biaya-biaya Rp1700, namun karena petani tidak punya pilihan terpaksa menjual harga sawit seperti saat ini.
Dia berandai-andau bila harga sawit Rp1900 perkilogram dia bisa membayar upah buruh untuk memanen dan perawatan. ”Sekarang, karena harga sawit tidak menguntungkan, terpaksa dikerjakan sendiri dan anaknya. Dikerjakan sendiripun masih belum menggembirakan. Biaya pupuk saja setiap batang memerlukan dana Rp800, belum lagi pembersihan lahan dan biaya angkut,” katanya.
Baca Juga : Mengapa Isu Presiden 3 Periode Kembali Berhembus?
Hingga kini petani di Pesisir Selatan tidak mengetahui harga sawit yang berlaku secara umum. Bisa dikatakan, petani sawit didaerah tersebut buta harga. Petani disini menyerahkan begitu saja harga sawit pada toke atau pedagang pengumpul.
Berdalih biaya angkut tinggi, harga tandan buah sawit segar (TBS) saban waktu selalu tergantung pada keinginan tauke. Pada waktu waktu tertentu bahkan harga ditekan tauke pada harga tidak wajar.
Baca Juga : Perang Inovasi dalam Era Disrupsi
Dia mengatakan, pihak tauke sawit memiliki alasan sendiri bila harga diturunkannya. Misalnya salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya angkut ke pabrik dan tingginya biaya jelang Lebaran. Atau beralasan TBS menumpuk di gudang penyimpanan selama berhari-hari. Begitupula kondisinya dipabrik, kendaraan pengangkut antre berjan-jam.
“Alasan selanjutnya adalah produksi sawit milik perusahaan dan masyarakat bulan ini melimpah. Di pabrik truk pengangkut sawit antri untuk dapat membongkar buah. Namun akibat terpaksa sawitnya tersebut dijual dengan harga rendah, jika tidak maka buah akan jatuh dan membusuk,” kata Sepriadi petani sawit Sutera.
Lalu petani sawit di Pesisir Selatan umumnya sudah terjerat oleh fasilitas yang diberikan touke kepada petani. Disaat harga sawit rendah touke biasanya memberikan pinjaman untuk biaya harian dan bahkan untuk perawatan kebun dan beli pupuk.
Nawir (61) petani sawit di daerah tersebut mengatakan. Ia telah menjalin hubungan dengan touke semnjak sepuluh tahun lalu. Touke memberikan bantuan kepadanya disaat petani alami kesulitan.
“Saya dibantu pupuk bila tidak ada dana pembeli pupuk. Kemudian bila beras tidak ada touke juga siap memberikan pinjaman kepada kami. Jadi kami sangat tertolong,” katanya.
Akibat hubungan seperti itu menurut Nawir ia tidak punya pilihan lain untuk menjual TBS bila masa panen tiba. Berapapun harga yang ditetapkan touke ia tidak bisa mengelak. “Meski dengan menjual sawit seharga Rp650 kami tidak mungkin melupakan jasa touke disaat kami dalam keadaan sulit,” katanya.
Selanjutnya terkait dengan harga sawit Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit menyebutkan, pemerintah memang sulit mengendalikan harga sawit. Jalan keluarnya sebetulnya adalah petani sawit harus bergabung dengan koperasi. Di sejumlah kecamatan sudah ada koperasi petani sawit, dengan bergabung di koperasi petani sawit akan memiliki kekuatan dihadapan perusahaan.
Sementara itu dari sisi teknis harga sawit yang cenderung rendah ditengarai juga pengaruh mutu bibit yang rendah. Kualitas TBS yang hasil kebun petani Pessel umumnya tergolong pada kelas batu dan banci.
Terkait dengan bibit sawit yang ditanam warga di Pessel Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan,Hortikultura Peternakan dan Perkebunan Pessel Afrizon Nazar menyebutkan, sulit memang memantau asal-usul bibit sawit yang ditanam petani daerah itu. (*)
Laporan:
HARIDMAN KAMBANG