Sedang Surau Talang mengasuh anak sa(k)sianya dalam ilmu badi’-maa’ny, dan bayan serta balaghah (seni berdebat dan bertabligh); sementara Surau Salayo, bergerak dalam ilmu nubat atau nubuwwat, yakni ilmu yang mendalami hal–ihwal ke-Nabian; serta surau Tuanku Mudiak Tampang, di Rao, mengorientasikan anak didiknya menjadi ahli thariqat juga mantiq dan maa’ny. Harap mafhum! Setelah merampungkan proses belajar mengajar (PBM) bersistem mudzkarah (berdebat/duduk melingkar), objek didik pun berhak menyandang predikat Imam, Khatib, Maulana/Mu’allim (malin), dan atau Pandito. Dan, untuk meraup prestasi thayyib jiddan (sangat memuaskan), peserta didik mesti melalui majlis k(h)atam halus bersama guru tuo!
Baca Juga : Gegara Pandemi, Rizky Nazar Tak Bisa Tarawih Bareng Keluarga
Budaya/pendidikan Surau berlanjut hingga tahun 1890-an sampai 1990-an. Misalnya Surau Tanjung Sungayang, didirikan Syekh H M Thaib Umar pada 1897; Surau Parabek Bukittinggi, ditiang-pancangi Syekh Haji Ibrahim Musa Parabek pada 1908; Surau Jembatan Besi Padang Panjang, dikibarkan Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (Haka/ayah Hamka), pada 1914; dan banyak lagi yang lain.
Dari budaya/pola pendidikan surau, bersistem halaqah wa al-mudzakarah (duduk melingkar), dimodifikasi menjadi sistem klasikal. Yaitu budaya/sistem belajar dengan memakai bangku, meja dan papan tulis dan itulah yang disebut Madrasah. Sejarah pun mencatat sistem pendidikan yang menggeliat di daerah ini menyeruak ke komunitas lain.
Baca Juga : Kecewa, dr Tirta Sebut Konten dr Kevin Samuel juga Mesum
Yang termasuk barisan awal mengibarkan bendera madrasah adalah Madrasah Adabiah (Adabiah School) di Padang, berdiri berkat tangan dingin Dr Syekh Abdullah Ahmad pada 1909. Pada 1914/1915 berubah nama menjadi Holland Inlandse School (HIS). Selain menggeluti bidang studi umum, HIS juga tercatat lembaga pendidikan pertama di Minangkabau yang mensinergikan aspek kognitif dengan dimensi afektif (affection) berupa bidang studi pendidikan agama dalam kurikulumnya.
Institusi pendidikan Islam di atas, mengimplementasikan kurikulum 70 persen bidang studi agama dan 30 persen mata ajar umum. Dan, itu pula sebab-musababnya Minangkabau tercatat sebagai gudangnya ulama dan Zhu’ama’ (tokoh Islam) yang diperhitungkan di seantero Tanah Air. Namun, pada 1975 pemerintah menggelindingkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Secara substansial, SKB tersebut berisi agar abituren madrasah swasta bisa bersaing dengan SLTA lain memperebutkan bangku di peguruan tinggi umum. Konkretisasinya? Bidang Studi agama ditarah baji dari 70 persen menjadi 30 persen. Sedang mata pelajaran umum digenjot menjadi 70 persen. Lebih jauh dari itu, sejumlah madrasah swasta diplat-merahkan menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Hasilnya? Memang tidak sedikit alumni MAN yang menyauk ilmu di perguruan tinggi umum favorit di Tanah Air. Sebut saja UI, UGM, ITB, IPB, Unpad dan lainnya.
Baca Juga : Dicerca Netizen, Yuni Shara Justru Beri Jawaban Terimakasih
Menelan Air Ludah Sendiri
Akan tetapi sekitar 1980-an seolah menyelinap sepinjit penyesalan di hati pengambil kebijakan SKB Tiga Menteri tadi. Indikasinya? Pada sejumlan MAN di Tanah Air dimodifikasi menjadi MAPK alias Madrasah Aliyah Program Khusus katakanlah seperti yang terdapat di Koto Baru Padang Panjang. MAPK tetap bertumpu pada 30 persen bidang studi agama dan 70 persen mata pelajaran umum. Namun, objek didik setengah dipaksa melalap pendidikan agama berupa ekstra kurikuler termasuk mendalami kitab kuning. Apa pula tujuan esensial yang ingin dijuluk MAPK? Ingin melahirkan ulama intelektual dan intelektual ulama!
Baca Juga : Gegara Nikahan Atta-Aurel Bukan Sih? Thariq Halilintar Kini Positif COVID-19
Namun dari pantauan acak, alumni MAPK tetap saja memilih perguruan tinggi favorit itu tadi. Akibat yang menjadi fenomena menggalaukan, Indonesia secara umum dan Minangkabau pada khususnya tetap saja mengidap penyakit: kelangkaan ulama. Indikasinya? Guna mencari seorang khatib, mubaligh, ustadz saja alangkah sulitnya, nyaris sesulit memilah penjahit dalam onggokan sampah. Kondisi sosial objektif semacam ini terasa benar di kampung-kampung. Sebut saja di dusun/jorong, taratak dan nagari. Akibat lebih merisaukan, yang bernama masjid, surau, musalla dan langgar hampir bagai dialahan garudo (lengang/sepi jamaah).
Melantai Sebelum Roboh dan Memintasi Sebelum Hanyut
Sesuai visi dan misi yang disandang ketika membidani madrasah swasta tempo doeloe yaitu untuk melahirkan ulama kharismatik dan substansialistik (hakimun wa al-faqihun), maka sejatinyalah madrasah swasta/pondok pesantren, terutama di daerah ini menelusur, mengaktualisasi dan menaplikasikan kembali kurikulum salafiah yang diteruka pemuka Minangkabau doeloe. Yaitu 70 persen bidang studi agama dan 30 persen mata ajar umum. Dalam bahasa yang gampang dimengerti, stakeholder ke-pendidikan sejatinyalah: berupaya gigih, melantai sebelum roboh dan memintasi sebelum hanyut dihondoh tsunami kapitalistik, pragmatistik yang semakin membuat kening bergerinyit.
Segenggam obsesi ini terasa kian menyentak nyaris menyergap sampai ke ubun-ubun. Sebab, bukankah rintisan sekali lagi Minangkabau secara kultural dan Sumatera Barat secara provincial sebagaimana disinggung di muka menjalar dan diakomodir oleh derah lain. Sebut saja Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Lebih mencukam dari itu, bukankah pula seperti disinggung tadi, negeri ini tengah mengalami krisis ulama. Terutama sejak ulama cenderung meninggalkan umat meloncat indah ke habitus low politics. Semoga! *
MARJOHAN
(Pemerhati Sosial-Budaya)