Khusus di Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya dan Solok Selatan, sebagian petani karet di sana mencari tambahan pendapatan dengan bekerja di tambang emas liar. Bahkan sebagian di antaranya ada yang untuk sementara waktu benar-benar beralih ke kegiatan tambang emas liar. Dengan harga karet Rp4.000 per kg, petani betul-betul kelimpungan. Sebab harga tersebut tidak sebanding dengan biaya penyadapan, biaya angkut dan biaya-biaya lainnya yang rutin dikeluarkan oleh petani setiap hari.
Baca Juga : Harapan DPR Soal Reshuffle Kabinet Jilid II: Jokowi Pilih Sosok Inovatif dan Berani
Kondisi petani karet semakin sulit dan terjepit, ketika mereka dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang melemah, plus momen Bulan Ramadan, lebaran, tahun ajaran baru sekolah. Apalagi bagi petani yang hanya memiliki kebun karet 2 hektar ke bawah. Jika satu hektar menghasilkan 400 kg per bulan, maka penghasilan petani tersebut hanya Rp3,2 juta per bulan.
Sebagian petani karet kini kesulitan untuk memenuhi biaya anak-anaknya yang sedang kuliah di perguruan tinggi, baik di Sumbar maupun daerah lain di tanah air. Tidak tertutup kemungkinan sebagian anak petani karet kini karena tak mampu membayar uang kuliah terpaksa mengambil masa cuti atau istirahat kuliah. Kepala Dinas Perkebunan Sumbar, Fajaruddin mengatakan anjloknya harga karet hingga mencapai Rp4.000 per kg akibat melemahnya permintaan pasar dunia. Dampaknya sangat dirasakan petani karet. Betapa tidak, dari 3,1 juta ton produksi karet Sumbar per tahunnya, hampir 85 persen untuk kebutuhan diekspor.
Baca Juga : Pesan Menkes Budi: Vaksinasi Jangan Bikin Kita Lengah dan Tak Waspada
Anjloknya harga karet bukan karena produksi karet melimpah, tetapi karena pengaruh rendahnya permintaan pasar. Hanya 15 persen produksi karet Sumbar yang terserap oleh perusahaan dalam negeri. Itu pun 65 persen untuk diolah menjadi ban kendaraan roda dua dan empat. Dengan jumlah ekspor yang lebih banyak daripada dimanfaatkan di dalam negeri membuat harga karet sangat bergantung dengan harga pasar global.
Menurut Fajar, ada baiknya agar kondisi ini tidak berulang, pemerintah lebih mengoptimalkan pengolahan karet di dalam negeri daripada ekspor. Dengan demikian harga jual karet juga akan lebih terjaga atau stabil dan petani bisa lebih diuntungkan. Sedangkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumbar, Mudrika juga mengatakan lemahnya permintaan terhadap karet Sumbar di pasar global disebabkan masuknya karet sintetis olahan Cina yang berimbas kepada harga karet lokal. Kondisi sulit yang dihadapi petani karet ini, pada waktu berbeda juga dirasakan oleh petani komoditi lainnya, seperti petani kelapa sawit, gambir dan lain sebagainya. Karena itu, pemerintah ke depan mesti lebih serius lagi mengupayakan agar komoditi hasil pertanian kita tidak lagi diekspor dalam bentuk bahan mentah. Melainkan sudah dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi.
Baca Juga : Perawat Dianiaya Jason, RS Siloam Palembang Banjir Dukungan
Konsekwensinya pemerintah mesti mendorong agar perusahaan-perusahaan hilir mulai banyak berdiri di tanah air. Manfaat yang diperoleh tentu lebih banyak. Seperti penyerapan tenaga kerja lokal, harga komoditi hasil pertanian pada tingkat petani juga meningkat dan bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Karena itu pemerintah mesti bertindak cepat dengan menelurkan regulasi-regulasi ke arah tersebut. **