Semangat para calon untuk maju menjadi calon Gubernur/Bupati/Walikota, tak berefek kepada semangatnya menjaga “pohon-pohon” yang ada ditepi jalan agar tak menjadi bagian dari “pengrusakan lingkungan”, akibat ambisi “kuasa” bisa bertengger di singgsana jabatan, terkadang melupakan hal remah-temeh, padahal hal itulah yang mengambarkan “karakter” sebenarnya para calon tersebut. Berbuat baik terhadap lingkungan saja, misalnya, pohon, para calon kepala daerah belum lagi menjabat sudah berpikir untuk merusa, apalagi terpilih nanti menjadi kepala daerah.
Baca Juga : Ketua DPD RI Minta Imigrasi Deportasi Warga India yang Eksodus ke Indonesia
Maraknya baliho
Sebenarnya, apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2015, persoalan kampanye terbuka dan menampilkan alat peraga sebelum prosedur yang seharusnya adalah pelanggaran terhadap proses Pilkada. Pasalnya, prosedur calon kepala daerah untuk melakukan kampanye, menempelkan baliho dan sejenisnya tahap ini, harus mengikuti ketetapan dari Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelengara Pilkada. lebih jelasnya kita bisa mempedomani PKPU No. 2 Tahun 2015, PKPU No. 5 Tahun 2015, aturan yang membahas soal ini.
Baca Juga : Kenapa 117 WN India Bisa Masuk ke Indonesia? Ini Penjelasan Imigrasi Soetta
Tetapi saya tidak melihat dari sisi itu, meskipun dari segi aturan Pilkada para calon kepala daerah sudah melanggar aturan, saya ingin membaca fenomena ini dari sudut pandang lingungan. Banyaknya pohon-pohon tak berdosa dilubangi oleh paku-paku banner dan baliho calon kepala daerah, menunjukan bahwa “sikap responsif” calon dirasa kurang terhadap lingkungan.
Dengan merujuk Undang-Undang Nomor. 32 th 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, langkah para calon kepala daerah, ataupun tim suksesnya memasang baliho dan banner dipohon-pohon, jelas ini tindakan yang salah yang tak boleh kita tiru, apalagi ini dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Sepanjang jalan yang ada di Sumatera barat, baliho, banner dan spanduk dengan berbagai ukuran ditempel oleh calon/tim sukses kepala daerah. Berbagai gaya, foto dan motto mengadirkan “ruang publik:” yang tidak nyaman bagi masyarakat. Meskipun Pilkada sudah semakin dekat, masyarakat juga ingin berantusias ingin mengenal para calon, tetapi jika keindahan “kota”, jalan terhalangi akibat baliho, spanduk dan banner calon kepada daerah, sebagai masyarakat kita harus bepikir akan keseriusan para calon terhadap kenyaman dan keindahan lingkungan Provinsi/Kabupaten/Kota, apabila ia terplih nanti.
Baca Juga : Pengendalian Perubahan Iklim, Presiden Jokowi Ajak Dunia Lakukan Aksi Nyata
Misalanya saja, taman kota adalah seni kota yang harus dibiarkan indah, bersih dan rapi agar pemandangan sepanjang jalan kota terlihat asri. Dengan banyaknya baliho-baliho pemandangan di sepanjang jalan taman kota menjadi terganggu. Pohon-pohon besar adalah pohon pelindung yang harus dijaga agar tidak rusak, tetapi “napsu kekuasan” yang tak berdampak pada kepedulian terhadap lingkungan menyebabkan calon kepala daerah terkesan abai dengan perkara ini.
Jumlah baliho yang ada di Sumbar, misalnya, Kota Padang terlihat berlebihan dan menganggu masyarakat yang ingin menikmati keindaham Kota Padang. Alat peraga kampanye yang di buat semenarik mungkin agar memunculkan ketertarikan dari masyarakat. Namun, cara mengenalkan sosok bakal kepala daerah tidaklah dengan baliho yang menarik saja. Tetapi, dalam memilih calon kepala daerah masyarakat lebih cenderung melihat “kapasitas dan rekam jejak” seorang calon, bukan sekadar kenal dekat dan mengetahui bentuk orangnya, tetapi bagaimana kualitas seorang calon yang akan dinilai oleh masyarakat. Untuk mendapatkan penilaian dari masyarakat seorang calon kepala daerah harus mampu berkomunikasi dengan baik, bukan hanya mengandalkan baliho. Dari komunikasi calon kepala daerah dengan masyarakat yang intesnsip akan menghasilkan penilaian serta kepercayaan masyarakat terhadap calon yang akan mereka pilih.
Baca Juga : Sri Mulyani Sebut Pemakaian Konsumsi Listrik Tumbuh 3,3 Persen
Karena itu, masyarakat mengetahui pemimpin yang dipilih bukan untuk main-main, tapi untuk memimpin serta menjamin kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, calon kepala daerah harus mampu melakukan komunikasi politik dengan baik, bukan hanya komunikasi visi-misi, tetapi mengkomunikasi terhadap tim suksesnya bagaimana menjaga lingkungan saat kita mengimipikan sebuah daerah masa depan yang sehat lingkungan, serta menimbulkan “partisipasi masyarakat untuk ber”goto-royong” membangun daerah.
Peran Panwaslu dan Pemda
Banyaknya calon yang mengaku-ngaku sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota yang akan bertarung di Pilkada serentak, 9 Desember 2015. Selain para calon ini belum defenitif sebagai calon kepala daerah, tetapi dengan membuat polusi “ruang publik” dengan baliho, spanduk dan banner yang tak menyehatkan mata adalah bagian dari pelanggaran dari kemerdekaan masyarakat umum untuk menikmati keindahan lingkungan. Pasalnya, para calon yang ada masih disubukkan dengan “sengketa” calon yang akan bertarung ataupun mencari dukungan kesana-kemari, tetapi kejelasan untuk menjadi calon kepala daerah, ibaratnya berjauhan antara “panggangan” dengan “api”.
Seharusnya, Pemda dan Panswaslu setempat tak membiarkan persoalan ini terus merajalela di sekitar masyarakat. Apabila memang hal itu adalah alat peraga kampanye yang menyatakan eksistensi diri untuk menjadi calon kepala daerah, serta merusak lingkungan dengan memberi paku alat peraga kampanyenya di pohon-pohon. Pemerintah daerah hendaknya bersikap tegas untuk melakukan penertipan, terutama Panwaslu sebagai sebagai pegawas jalannya Pilkada ini, agar tak ada pelanggaran administratif, atau hal-hal yang meresahkan masyarakat.
Jadi, Pilkada serentak yang akan kita ramaikan 9 Desember 2015 nanti, bukan hanya pertarungan “kekuasan”dan “eksistensi diri”—hendaknya ada proses pembelajaran, seberapa kuatkah kita memaknai Pilkada dengan ramah lingungan sehingga Pilkada tak hanya berebut kursi, tetapi juga menjaga diri dan hati untuk terus peduli. ***
ROLA ARISKA
(Peneliti Kebijakan Publik UKM PHP Universitas Andalas, Padang)