Karena itulah kiranya agak sulit untuk memetakan dimana kedua kubu ini akan menemukan irisannya. Bahkan putusan PTTUN mutakhirpun tak mempan untuk membuat salah satu kubu mengalah secara sportif. Paska putusan PTTUN pertama, kubu AL langsung mengambil langkah banding dan meneruskan perseteruan di ranah hukum sampai titik darah terakhir. Begitu pula dengan putusan PTTUN baru-baru ini, kubu ARB juga sudah pasang kuda-kuda untuk kasasi.
Baca Juga : Isu Reshuffle Menguat, Abdul Mu'ti Tak Mau Berandai-andai
Namun, pilkada serentak yang direncanakan akan berlangsung bulan Desember 2015 seolah menghentikan perseteruan ini untuk sejenak. Tanpa berniat berhenti bertarung di ranah hukum, kedua belah pihak sepakat untuk berjabat tangan diranah yang lain. Ada kesamaan persepsi soal masa depan kader-kader Golkar di daerah yang selama ini terombang ambing akibat perang yang tak berkesudahan di DPP Golkar.
Jika tak ada inisiatif dari kedua pihak, maka aset-aset politik di daerah ini akan berlayar bersama biduk-biduk lain dan dipastikan akan sangat merugikan kedua kubu. Siapapun yang akhirnya menjadi pemenang akan tetap mengalami kerugian besar jika Golkar gagal turut serta dalam pilkada serentak, meskipun ARB sempat sesumbar bahwa pilkada bukanlah hal yang penting bagi Golkar.
Baca Juga : Polemik Ceramah Tengku Zulkarnain soal Surga dan Warna Kulit
Secara kasat mata, dari sisi yang lain JK nampaknya mulai benar-benar “leading back” dan sejauh ini terlihat cukup berhasil menjadi titik temu untuk kedua kubu, meskipun awalnya JK cenderung, bahkan dicurigai, ada di salah satu sisi, yakni sisi Agung Laksono. Setelah putusan PTTUN yang mengabulkan gugatan ARB atas SK Menkumham, JK secara mengejutkan didatangi oleh ARB. Kemudian isu islah mulai bergulir karena jadwal pilkada serentak kian mendekat. Sementara itu, KPU membutuhkan kepengurusan pusat yang sah (berkekuatan hukum tetap) untuk menandatangani dan mengesahkan pencalonan kader-kader daerah yang sedang mengincar posisi-posisi strategis di daerah.
JK yang awalnya hanya mesra dengan kubu AL mulai membuka pintu untuk ARB. Kemesraan mulai terbangun secara pelan-pelan menyusul absennya titik temu dari kedua kubu yang berseteru. JK otomatis menjadi titik pengimbang yang sangat strategis. Entah disengaja atau cuma kebetulan, perimbangan kekuatan antara ARB dan AL membuat JK kembali mendapatkan kartu truf untuk memainkan skenario “cinta segitiga” yang mutual symbiotic, meskipun kesannya sangat darurat dan terpaksa.
Baca Juga : Nadiem Makarim Salah Satu Menteri yang Dilirik Saat Reshuffle Kabinet Jokowi?
Tak bisa dipungkiri, ekspektasi JK terhadap Golkar sangatlah besar dan karena itu pula JK selalu dikait-kaitkan dengan kubu AL. Tanpa partai yang benar-benar secara riil bisa mem-back up JK di istana, maka JK diperkirakan akan menjadi simbol semata menyusul perluasan kekuasan kepala rumah tangga istana, Luhut Binsar Panjaitan.
Bagaimanapun, dengan konstelasi politik istana yang tidak homogen, JK sejatinya membutuhkan kekuatan politik yang benar-benar didukung oleh kekuatan sipil yang riil, terorganisasi, dan bisa bersuara vokal di parlemen. Jika Golkar bisa diraih, besar kemungkinan KMP pun bisa didekati, maka JK bisa dengan segera menunjukan ketegasan politiknya kepada pihak-pihak yang diperkirakan akan melibas kepentingannya di istana.
Baca Juga : Mantap Nih! Pensiunan PNS Bisa Saja Kantongi Rp 1 M
Perkembangan dan dinamika konflik antara ARB dan AL membuat Golkar seperti “ada dan tiada” bagi JK. Maka mau tak mau harus ada terobosan baru yang akan mendekatkan Golkar secara organisasional ke halaman rumah JK sebagai simbol pertunjukan politik bahwa Golkar akhirnya bisa membuat JK menjadi tokoh yang perlu diperhitungkan, baik untuk Jokowi secara pribadi, maupun kekuatan-kekuatan lain yang eksis di istana.
Skenario cinta segitiga ini mau tidak mau harus diterima pula oleh kedua kubu, terutama bagi ARB. Beberapa waktu sebelum islah terbatas digelar, JK terus menekankan perlunya pemerintah untuk segera menuntaskan dana kompensasi korban lumpur Lapindo. Ini adalah pertanda kuat bahwa JK sedang menarik ARB ke dalam skenario cinta segitiga dimana proses take and give bisa dilangsungkan. Lumpur Lapindo adalah kartu mati ARB yang berhasil dinegosiasikan dengan rezim SBY dan nampaknya akan kembali menjadi alat negosiasi ampuh yang akan membawa ARB ke dalam pusaran cinta segitiga ini.
Selain faktor kepentingan “cari selamat”, di sisi lain nampaknya ARB juga agak pesimis bahwa konflik akan berakhir cepat. Diperkirakan akan terjadi proses pertarungan yang tak berkesudahan, lumayan panjang , dan melelahkan. Proses seperti ini tentu akan sangat merugikan ARB yang berdiri di luar lingkaran kekuasaan, baik secara politik maupun secara ekonomi. Setidaknya dengan masuk kedalam skenario cinta segitiga, selain selamat dari “bill tagihan Lapindo”, ARB juga bisa sedikit bernafas karena kader-kadernya di daerah bisa terus berjuang.
Dan yang lebih penting, dengan ikut melibatkan JK secara strategis, itu berarti bahwa relasi konfliktual dengan AL tidak bersifat zeru sum game karena diperkirakan kepentingan kedua kubu bisa sama-sama diakomodasi. Posisi JK yang sangat membutuhkan kendaraan politik terbaca dengan jelas oleh ARB dan AL. Risikonya, jika JK tidak berjuang habis-habisan untuk bertindak adil kepada kedua belah pihak, maka JK sendirilah yang akan terancam. Perpecahan akan terus berlanjut dan JK akan kembali terlemahkan secara politik.
Disinilah letak kerentanan islah terbatas ini. Mau tidak mau, selain “take a lead”, JK juga sedang “take a risk.” Pasalnya, islah yang menghasilkan empat poin kesepakatan ini sifatnya sangatlah teknis dan diperkirakan tidak akan mampu melahirkan rekonsialiasi yang lebih substantif di antara para pihak yang berkonflik. Keretakan bisa terjadi kapan saja jika salah satu pihak memaksakan kehendak dan menggilas pihak lain. Penyerangan kantor DPP Golkar oleh oknum-oknum tak dikenal beberapa waktu lalu adalah salah satu bukti bahwa islah ini bisa dengan mudah dibakar kembali menjadi konflik, meskipun pelakunya bisa saja bukan berasal dari salah satu kubu. Jika kerentanan itu terus dibiarkan, maka JK kembali terancam. Pendeknya, kelihaian JK dalam memainkan managemen cinta segitiga akan benar-benar menjadi faktor penentu arah strategis dari islah yang telah disepakati. ***
RONNY P. SASMITA
(Pemerhati Ekonomi Politik)