Persoalan obat yang tidak ditanggung BPJS di antaranya dialami oleh Al Aswan (52), warga Sawahan Dalam Nomor 25 A, Kota Padang. Dia tidak tahu lagi ke mana akan meminta bantuan untuk mengobati penyakitnya. Sebab, rumah sakit tempatnya berobat tidak merekomendasikan dirinya untuk mendapakan obat yang ditanggung oleh BPJS.
Baca Juga : Polemik Ceramah Tengku Zulkarnain soal Surga dan Warna Kulit
Al Aswan yang duda itu divonis oleh Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada 25 Mei 2015 mengidap kanker Renolcell Carsinoma. Vonis tersebut dikeluarkan setelah mendapatkan surat rujukan dari RSUP M Djamil Padang yang sebelumnya memvonis Al Aswan terkena penyakit yang mengarah ke Carsinoma. Vonis tersebut dikeluarkan RSUP M Djamil pada 10 Maret 2015.
Kemudian, pada 14 April 2015, pihak RSUP M Djamil memberikan resep obat kepada Al Aswan, untuk menyembuhkan penyakitnya.
Baca Juga : Nadiem Makarim Salah Satu Menteri yang Dilirik Saat Reshuffle Kabinet Jokowi?
Nama obat dalam resep tersebut adalah Nexavar 200 gram yang mengandung soraferid 200 mili gram. Obat tersebut harus dikonsumsi Al Aswan 2 butir sehari. Dalam sebulan Al Aswan mesti mengonsumsi sebanyak 60 butir. Sementara harga obatnya Rp800 ribu perbutir atau Rp48 juta sebanyak 60 butir untuk dikonsumsi selama satu bulan (30 hari).
Al Aswan bersedih. Dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli obat dengan harga semahal itu? Sementara dia sendiri berstatus sebagai pengangguran. Tidak beristri dan tinggal sendiri. Dia terdaftar sebagai pasien BPJS Grade A. Ia mengaku taat membayar tagihan BPJS Rp60 ribu per bulan. Ia juga terdaftar sebagai pasien M Djamil dan pasien Rumah Sakit Kanker Dharmais. Dia mempertanyakan untuk apa menjadi pasien BPJS dan taat membayar tagihan BPJS setiap bulan, namun tak ditanggung BPJS saat sakit. Kabid Pemasaran Kanwil BPJS Sumbar, Eva mengatakan, semua obat ditanggung oleh BPJS.
Baca Juga : Mantap Nih! Pensiunan PNS Bisa Saja Kantongi Rp 1 M
Mengingat banyaknya persoalan yang terkait dengan kualitas layanan BPJS, maka sebaiknya pemerintah serius memperbaiki layanan tersebut. BPJS selaku pelaksana JKN mesti bersungguh-sungguh menjalankannya amanah yang diberikan Negara. Jika memang BPJS defisit, maka sebaiknya dilakukan kajian yang mendalam atas besaran jumlah iuran dan pengelompokan pasien berdasarkan usia dan lainnya. Anggaran pendukung dari pemerintah juga mesti dihitung dan dipertimbangkan kembali. Jika kurang, pemerintah mesti menyuntik dana tambahan. Apalagi besaran dana kesehatan dari total APBN hingga saat ini baru hanya sekitar 5 persen saja, padahal untuk sector pendidikan di APBN sebesar 20 persen. **