Kini era telah berganti, negeri ini berangsur-angsur berbanah ketika hak-hak rakyat sudah mulai diakomodasi. Berbagai sektor dan sistem diperbaiki. Demokrasi dijadikan sistem yang dianggap paling mewakili nilai-nilai yang telah lama dianut oleh bangsa ini. Sejarah kelam itu berangsur-angsur terlupakan seiring euforia bangsa dalam menyongsong konsolidasi demokrasi.
Baca Juga : Yang Lain Menolak, Dedi Mulyadi Malah Mendukung: Saya Siap Disuntik Vaksin Nusantara
Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan ketika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat namun diserahkan kepada DPR. Dengan alasan kedaulatan rakyat banyak pihak yang kemudian menolak peraturan tersebut. Bahkan presiden RI saat ini tercatat sebagai orang yang termasuk menolak peraturan tersebut. Alasannya sudah jelas karena peraturan tersebut dianggap merampas hak rakyat danmerupakan kemunduran demokrasi.
Kali ini, pemerintah kembali membuat masalah baru dengan mengajukan pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP. Meski belum disetujui oleh DPR, tak bisa dipungkiri pengajuan pasal ini telah mengorek luka lama dan melukai hati sebagian rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, pasal ini di kemudian hari hanya akan menjadi senjata bagi pemerintahan untuk mengebiri kebebasan berpendapat rakyatnya sendiri. Seperti yang sudah pernah terjadi, ketakutan berpendapat akan menghantui sebagian besar masyarakat Indonesia.
Baca Juga : Siap Siaga! 9 Provinsi Ini Diprediksi Bakal Diterjang Topan Surigae
Reaksi pemerintah ini dapat dianggap terlalu berlebihan dalam menanggapi berbagai masukan dan kritikan yang datang. Sebagai orang yang menerima amanat dari rakyat sudah menjadi konsekuensi apabila publik merasa berhak untuk menilai dan mengevaluasi kinerja pemerintahan. Justru dengan beragam cara yang dilakukan publik untuk mengkritik dapat dijadikan barometer tersendiri bagi pemerintahan untuk mengevaluasi efektifitas kinerja, apakah sudah sesuai dengan harapan rakyat atau tidak.
Presiden bukan Simbol Negara
Baca Juga : Tenaga Ahli Menkes Kritik Vaksin Nusantara, Ungkap 95 Persen Bahan Bakunya Impor
Dalam sistem negara berbentuk parlementer, raja dan ratu merupakan simbol negara, sedangkan pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri. Untuk itu, pasal penghinaan dibuat untuk melindungi dan menjaga martabat raja dan ratu yang berfungsi sebagai lambang negara.
Indonesia sendiri menganut sistem yang berbeda. Di Indonesia yang menganut sistem presidensial, presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, bukan sebagai lambang atau simbol negara. UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan sudah sangat jelas menyebutkan bahwa yang menjadi lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila, bukan presiden.
Baca Juga : Istrinya Positif Covid-19, Ridwan Kamil Ingatkan Masyarakat Tetap Jaga Kesehatan
Terlebih dengan adanya sistem demokrasi, kedaulatan rakyat menjadi dasar ideologi, pada hakikatnya presiden merupakan seorang rakyat yang kemudian dipercaya untuk mengepalai dan menjalankan roda pemerintahan. Secara esensi jelas sekali bahwa sebenarnya kedudukan rakyat sebetulnya lebih tinggi daripada wakil rakyat ataupun presiden.
Arogansi Pemimpin
Seperti kata Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak untuk “menciduki” dan menindas yang menentang penguasa”. Namun dengan adanya pasal ini telah menunjukkan arogansi kepemimpinan yang berupaya memanfaatkan kekuasaannya untuk membatasi kebebasan orang-orang yang tidak sependapat dengannya. Lihat saja dalam rancangan pasal tersebut, hukuman berat telah siap menanti bagi siapa saja yang sembarangan dalam menyampaikan ekspresi.Meski sudah pernah dihapus oleh MK sebelumnya, pemerintah nyatanya tetap bersikeras untuk menghidupkan kembali pasal ini.
Bagaimanapun rancangan pasal ini tetap mengandung unsur subyektifitas. Akan sulit membedakan mana yang betul-betul penghinaan dengan upaya menunjukkan ekspresi kekecewaan terhadap pemimpin. Oleh karena itu, akan menjadi bahaya karena pasal ini berpotensi akan dijadikan senjata bagi presiden untuk meminimalisir kritikan. Namun yang lebih berbahaya adalah menurunnya tingkat partisipasi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, rakyat dan media akan lebih memilih untuk diam daripada membuat masalah. Pemerintahan akan kembali dibuai oleh kepuasan semu. Jika sudah begini, negeri ini akan dibawa pada memori peristiwa lama ketika akumulasi kekesalan rakyat menjadi bom waktu bagi pemerintahan.
Tak Perlu Berlebihan
Sebetulnya dalam hal ini pemerintah tak perlu berlebihan dalam menanggapi masukan dari masyarakat. Jika memang pemerintah berkerja dengan baik dan menunjukkan hasil dari kinerja yang maksimal tentu masyarakat juga tak akan bereaksi negatif ataupun menghina justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kita ambil contoh seperti yang terjadi pada kepemimpinan beberapa daerah di Indonesia. Tak jarang banyak diantara pemimpin daerah yang menuai pujian dan tanggapan positif dari masyarakat atas kinerjanya yang baik. Bukan tak ada kekurangan, namun celotehan negatif yang muncul ditanggapi dengan menunjukkan kinerja yang maksimal sehingga dapat berbalik menjadi citra yang positif.
Berbagai ekspresi kekecewaan dari masyarakat sebetulnya merupakan bukti kejenuhan akibat kepemimpinan yang tak kunjung membawa perubahan. Boleh dihitung sudah berapa tahun berjalannya reformasi dan berapa kali berganti kepemimpinan, namun berbagai kondisi masih jauh dari harapan. Amanat reformasi yang masih belum sepenuhnya terpenuhi, dan hampir setiap hari rakyat dipertontonkan oleh perilaku tidak bermartabat dari pemimpin negeri. Ketika rakyat sudah letih berkomentar, maka jangan salahkan rakyat jika seandainya berbagai macam ekspresi kekecewaan muncul karena nyatanya pejabat negeri ini yang justru menghinakan martabatnya sendiri.
Sudah saatnya pemimpin negeri ini berbenah, masih banyak pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai dan menuntut kerja keras serta konsentrasi yang maksimal. Anggap saja berbagai tanggapan yang masuk sebagai lecutan dan barometer untuk terus memperbaiki diri. Jawab semua kritikan dengan kerja nyata, maka tak perlu aturan, dengan sendirinya pemimpin akan memenangkan hati rakyatnya. (*)
GALANT VICTORY
(Presiden Mahasiswa UNP)