Bagi Indonesia bulan ini sangat berarti dalam catatan sejarah panjang berdirinya bangsa yang besar ini. Bagi Bukittinggi, bulan ini juga punya arti khusus , dimana bulan ini adalah bulan kelahiran Bung Hatta di kota ini, dan bulan proklamasi selama 70 tahun sudah diperingati. Walaupun setelah 17 Agustus 1945, kata Merdekabak sebuah shelter penantian ke perjuangan-perjuangan berikutnya. Bukittinggi juga menjadi pondasi sejarah perjuangan Mahagenting bagi keberlangsungan Republik ini saat Operasi Gagak diluncurkan Belanda pada desember 1948. Sebelum dan sesudah itu, perjuangan yang pernah ada di kota ini tidak hanya militer, namun juga perjuangan politis dari kaum terdidik maupun ulama dizaman itu untuk tidak berpikir Minangkabau atau Bukittinggi, tapi Indonesia.
Baca Juga : Elektabilitas Capres Oposisi, Gatot & Rocky Gerung Tertinggi
Pikiran-pikiran jernih yang bisa mengontrol hasrat politis.Setidaknya itu yang teladan yang dicontohkan Buya Hamka.Sebagai ulama, pemikir dan sekaligus politisi terbaik yang pernah dimiliki Bangsa ini. Beliau bisa membuat bilik terpisah antara perkara politis dikurung dalam penjara tanpa peradilan, dengan bilik perkawanan karena alasan kuat, karena masih melafazkan kalimat syahadatyang samadengan Soekarno.
Saat ini, pikiran-pikiran merdeka dan jernih itu yang perlu kita jaga dalam menghadapi situasi “mendadak politik” saat ini, hingga beberapa bulan kedepan. Lima pasang bakal calon pemimpin Bukittinggi secara alami akan menciptakan beberapa tim sukses. Cara dan metode yang digunakan para suksesor tentu berbeda, tergantung tingkat pendidikan, pandangan mereka terhadap harta dan tahta, serta seberapa dekat hatinya dengan san Pencipta.Bahkan untuk satu calon, ada beberapa tim sukses yang saling berkompetisi mendapatkan perhatian sang calon. Di era fragmatis yang menyedihkan saat ini, adalah sangat wajar, karena kompetisi antar tim sukses dalam satu calon biasanya tidak lebih dari perebutan jasa cetak spanduk, jasa pasang umbul-umbul, jasa pengumpulan ktp dukungan warga, atau yang paling dekat adalah proposal acara 17an. Dari sisi bahasan tim pemenangan saja, masyarakat harusnya sudah mulai membuka mata pikir melihat gejolak dan hasrat politik yang berlimpah limpah yang ternyata tak hanya dari sang calon. Sebagai sang juri, praktis fenomena ini akan berdampak pada masyarakat, dimana akhirnya masyarakat yang menjadi tujuan berlapis dari keadaan ini.
Baca Juga : THR Pekerja Wajib Dibayar H-7 Lebaran
Kemerdekaan berpikir bebas untuk mengenal para pasangan calon mesti dijaga dan selalu terbuka.Agar warga bisa menilai dengan cerdas, mana calon yang cukup, lumayan, atau terbaik diantara yang ada. Sejauh ini kita melihat iktikad baik masyarakat masih menggunakan pikiran sehat dan positif pada kelima calon. Hal ini terbukti hampir seluruh calon yang mendaftar ke KPU diantar oleh ratusan masyarakat dibelakangnya, walaupun bisa jadi mereka belum tau motivasi calon yang diantarnya tersebut.Ada yang mendaftar karena merasa tidak kalah cerdas dari yang sudah mendaftar sebelumnya.Ada yang mendaftar mempertaruhkan gengsi di panggung politik saja, dan ada juga yang terang-terang mengatakan “baru mengetahui kalau diutus partai” (jualan yang mencoba seperti tidak terlihat seperti sedang berdagang).Lucu memang karena sindrom selebritas juga melekat pada politisi. Terleapas dari itu, sekali lagi masyarakat masih memperlihatkan antusias yang positif.
Kedepan mungkin perlu ruang diskusi publik antar para calon.Agar para kandidat dapat saling menyampaikan buah pikir dan gagasan konkrit.Diskusi terbuka membantu masyarakat melihat gelagat, gesture, dan cara pandang calon pemimpinnya. Bagi sang calon, tentu ini juga akan menjadi sebuah ladang amal untuk dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat, dipuji maupun dikritik gagasannya. Berbicara tentang gagasan atau buah pikir, Buya Hamka pernah menjelaskan dalam sebuah tulisan : “Islam dan mengerti ilmu kepemimpinan serta sehat, selain itu seorang pemimpin jugalah orang yang mau terus menerus “memeras kincia-kincia akal dan budi” agar membawa kemajuan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Baca Juga : Tertarik Beasiswa LPDP, Ini Syarat dan Cara Pendaftarannya
Banyak cara lain yang dapat dilakukan agar masyarakat dan calon pemimpin mereka dapat berinteraksi positif untuk saling mengenal. Baik melalui media sosial, aksi kerja konkrit dan berbagai metode positif yang pastinya sudah disiapkan para suksesor.Tentu tidak untuk sekedar membagikan flyer profile, baju kampanye gambar foto calon, atau menyelipkan amplop berisi rupiah disebuah pengajian. Hal ini tentu mempersempit ruang pikir masyarakat, karena tentu masyarkat yang pendek pikir dan realistisnya muncul hanya sesaat, akan merasa calon yang paling banyak memberi rupiah adalah calon yang baik, care, dan tahu masalah utama setiap orang yaitu uang. Kita berharap semoga semua yang dilakukanadalah upaya yang mengarah pada kemerdekaan berpikir.Jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, wajar saja masyarakat berpikiran menganggap semua politisi tidak lebih dari sekedar opera topeng monyet yang bersedia dipermalukan di depan umum. Tentu hal ini sangat tidak adil kan bagi para calon.
Selama beberapa bulan kedepan masyarakat bisa menilai kelima calon tersebut yang secara “alamiah” dari”amaliah” para calon. Masyarkat juga harusnya pro aktif melihat gerakan para calon.Sayang sekali jika masyarakat hanya dan mau saja dicekoki dengan pengkultusan satu calon dengan segudang programnya, serta merendahkan calon lain dengan segudang kelemahannya. Keterbukaan pikiran masyarakat untuk jangan (terlalu) percaya pada media kampanye sangat berpengaruh pada hasil penafsiran masyaratkat itu sendiri. Budaya menelan mentah-mentah informasi, sugesti atau doktrin dari para suksesor akan membuat pikiran kita semakin sempit. Kadang – kadang hal ini malah memudahkan jalan manambah catatan dosa karena gibah dan fitnah. Kompetisi tidak sehat dengan kemampuan silat lidah yang disalah gunakan akan berkontribusi merusak mental masyarakat.
Baca Juga : Aa Umbara Tersangka, Hengky Kurniawan Ditunjuk Jadi Plt Bupati
Menghadapi Budaya latah “mendadak politik” akan menjamur beberapa bulan kedepan. Dimana semua orang di warung-warung mendadak mengerti dan paham soalan politik. Akun facebook dan twitter akan sibuk saling unjuk gigi kebolehan calon yang mereka kagumi. Walaupun menjadi lucu ketika akun sang calon setiap hari menerbitkan quote, foto kampanye, dan secercah tulisan gagasan mereka. Tapi jika ditanyai tentang suatu hal dalam bentuk pancingan diskusi, tak satupun yang merespon, kecuali ada satu atau dua orang suksesor yang mencoba menjawab seakan paling tau bagaimana pikiran calon yang dijagokannya. Bahkan tidak jarang, pikiran si suksesor itu seakan jauh lebih cerdas dari sang calon yang diusung. Dinegara berkembang, hal ini biasa terjadi pada calon-calon boneka yang nantinya juga akan disetir pikiran dan kepentingan segelintir tim suksesnya tersebut.
Kita berharap jangan sampai karena hasrat-hasrat politik tuan-tuan yang (mendadak) mengerti politik ini sampai membuat amai-amai yang jualan cabai dan rempah di pasar bawah saling tidak bertegur sapa karena doktin yang tak sehat. Jangan sampai siswa kelas 2 atau kelas 3 SMA sebagai pemilih pemula sibuk mengetik pesan-pesan kebencian ditwitter. Jangan sampai para pegawai negeri sipil yang hobi minum kopi di lapau saat jam kerja (alasan kerja tak harus dibalik meja) tidak mau lagi meneguk seteguk kopi teman sejawatnya hanya karena pilihan politik yang berbeda.
Bukittinggi sedari dulunya sudah menjadi kota yang terhormat. Terhormat karena alamnya yang tak habis untuk dipuji. Terhormat karena orang-orang besar yang dilahirkan kota ini. Terhormat karena pemi-kiran-pemikiran cendikiawan yang tengah berada di kota ini dari dulu hingga sekarang. Mari kita jaga itu, Merdeka…! ***
MUHAMMAD ARIEF
(Sutradara Film, Mahasiswa Magister Film Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta,
Dan Bagian dari rakyat Bukittinggi)