Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai, terlalu percaya dirinya pemerintah bisa dilihat dari target penerimaan pajak yang dinaikkan demi membiayai sebagian kebutuhan pembangunan infrastruktur yang akan menggerakkan pertumbuhan.
Baca Juga : Daftarkan Logo Partai atas Nama SBY, Ketua DPC PD Dharmasraya: Cegah Penyalahgunaan oleh Pihak Lain
“Seperti kebijakan pajak, itu terlalu optimistis. Kebijakan yang diambil dalam hal pajak harusnya lebih relaistis. Kan lucu, di tengah kondisi seperti ini target pajak dinaikkan jadi 38 persen,” kata Aviliani ketika dihubungi, Jumat (14/8).
Namun tak hanya mengkritik, Aviliani juga menyebutkan sejumlah langkah yang dapat diambil pemerintah demi mencapai target di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
Baca Juga : DPC Partai Demokrat Dharmasraya Sampaikan Surat Pengaduan dan Perlindungan Hukum ke Polres Setempat
“Devisa mungkin bukan dikontrol ya, tapi setidaknya pemerintah mengetahui keluar-masuknya uang. Kemudian pemerintah juga harus mewaspadai besarnya angka PHK dengan adanya impor barang (akibat kesepakatan masyarakat ekonomi Asean),” kata Aviliani yang dilansir cnn indonesia.
Tingginya angka impor menurutnya mengancam penurunan angka produksi dalam negeri. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah sebaiknya memberikan insentif fiskal maupun non fiskal kepada pelaku industri.
Baca Juga : Terjun ke Politik, Athari Gauthi Ardi: Ingin Kampung Seperti Jakarta
“Bukan malah menaikkan pajak. Selain itu ke depan pemerintah juga harus bisa menjaga stabilitas harga pangan, namun caranya bukan hanya dengan melakukan operasi pasar,” tegasnya.
Angka 5,5 persen tersebut, sebut Joko dalam pidato tersebut, merupakan kisaran terendah dari hasil pembahasan Kementerian Keuangan dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 22 Juli 2015 lalu. Ketika itu, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memperkirakan tahun depan ekonomi Indonesia bisa tumbuh maksimal 6 persen dan tumbuh paling sedikit 5,5 persen.
Baca Juga : Ada Gerakan Mau Kudeta Cak Imin dari Kursi Ketum PKB, Benarkah?
“Dengan memperhitungkan seluruh dinamika perekonomian global dan domestik serta prospek perekonomian nasional, pertumbuhan ekonomi 2016 ditargetkan 5,5 persen,” ujar Jokowi saat menyampaikan keterangan pemerintah atas RAPBN 2016 di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (14/8).
Mantan Walikota Solo meyakini kondisi ekonomi dunia akan membaik tahun depan, sehingga diharapkan permintaan global atas produk Indonesia bisa meningkatkan kinerja ekspor Indonesia. Selain itu, bekal utama yang menurut Jokowi dapat mendorong pembentukan modal tetap bruto dan konsumsi nasional adalah program pembangunan infrastruktur yang sudah mulai meningkatkan konektivitas nasional.
“Pemerintah juga akan terus melakukan realokasi belanja ke sektor-sektor produktif sehingga diharapkan mampu menggerakkan perekonomian nasional, menjaga daya beli masyarakat, dan mengendalikan laju inflasi,” katanya.
Asumsi makro kedua yang diusulkan pemerintah adalah laju inflasi yang diperkirakan mencapai 4,7 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan asumsi inflasi tahun ini di angka 5 persen. Menurutnya, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perkembangan harga komoditas pangan dan energi dunia, pergerakan nilai tukar rupiah, serta perubahan iklim.
“Untuk itu, Pemerintah akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan menggerakkan pemerintah daerah dalam rangka pengendalian inflasi nasional. Pemerintah juga akan menjaga harga bahan pangan dan energi di pasar domestik dengan menyediakan alokasi anggaran dan dana cadangan,” ujarnya.
Rupiah Melemah
Kemudian, Jokowi menyinggung mengenai nilai tukar rupiah terhadap dolar yang tahun depan diperkirakan berada di angka Rp 13.400 per dolar. Melemah lebih dalam dibandingkan asumsi nilai tukar tahun ini di angka Rp 12.500 per dolar.
“Ekonomi Amerika Serikat akan mengalami perbaikan, kemudian ekonomi Uni Eropa dan Jepang pulih. Sementara ekonomi China melambat yang membuat yuan terdepresiasi. Hal seperti itu yang akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah tahun mendatang,” tegasnya.
Terkait upaya pemerintah menarik investasi tahun depan, Jokowi menyebut angka rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebesar 5,5 persen diharapkan tetap menarik bagi investor. Karena dengan memasang usulan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata suku bunga SPN tiga bulan tahun ini 6,2 persen, pemerintah coba meyakini investor bahwa profil risiko investasi di Indonesia lebih rendah.
Kemudian tahun depan asumsi rata-rata harga minyak mentah Indonesia diperkirakan US$ 60 per barel. Asumsi ini mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi, seperti pasokan dan faktor geopolitik. Sementara lifting minyak ditargetkan 830 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi 1,115 juta barel setara minyak per hari.
“Asumsi dasar ekonomi makro yang ditetapkan tersebut diharapkan dapat mencerminkan kondisi perekonomian yang lebih realistis sehingga akan mendorong tingkat kepercayaan pasar yang lebih tinggi,” kata Jokowi. (h/net/mat)