Nah Sekarang tentu pembaca bertanya... “Apakah kaitannya dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia hari ini?” Namun Dimulai dari teori itulah menariknya menguraikan kondisi Indonesia hari ini. Pertanyaan sederhana harus diberikan untuk lajutannya; Apakah ketika Indonesia sudah merdeka, Struktur masyarakat majemuk itu masih terlihat?
Baca Juga : Menaker: Pelindungan ABK Perikanan Indonesia Merupakan Hal Mutlak!
Untuk menjawabnya bisa dilihat dari kajian Sejarah Sosial Indonesia. Semenjak awal kemerdekaan hingga hari ini, dan setelah Soekarno berhasil membacakan teks proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia secara de fakto menyatakan sudah merdeka, lalu setelah perjanjian KMB (Konfrensi Meja Bundar) di tanda tangani tahun 1949 maka Indonesia secara De Jure Merdeka. Akan tetapi fakta empiris itu sudah membuat Indonesia secara hakekat sudah merdeka? Jawaban pendeknya adalah “tunggu dulu.”
Setelah disepakati Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950 (UUD-RIS 1950) dan kemudian Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD ’45 yang terkenal di tahun 1959. Indonesia secara “kasat mata” sudah menjadi negara berdaulat dalam globe dunia. Namun sesungguhnya secara hakikat di Indonesia secara terstruktur malah mengalami transformasi ke bentuk penjajahan dalam bentuk lain. Dalam artian Belanda boleh angkat kaki, namun yang namanya penjajahan tetap jalan terus. Masyarakat Indonesia nyatanya masih terjajah.
Baca Juga : Kemenkes Dorong Pengurus Masjid Tetapkan Jadwal Vaksinasi
Coba kita telisik dari periode Orla dan sampai Orba. Meskipun Ke dua periode itu”kental’ sekali untuk mengkramatkan UUD’45 Namun dalam realitasnya ke dua periode itu sesungguhnya masih menjalankan struktur peninggalan pemerintahan kolonial secara terang terangan. Mereka telah tumbuh menjadi tatanan masyarakat majemuk baru di Indonesia, maksudnya masih dengan aroma Furnivall. Para Elit Pribumi, sekelompok Indo dan Timur Asing (sebagian), ketika Indonesia merdeka mendapatkan peran besar untuk memperjuangkan Indonesia secara de fakto dan de jure untuk kemerdekaan Indonesia, berubah berubah menjadi elit baru. Mereka tumbuh dan berkembang dengan nuansa Indonesia, namun sayangnya secara hakikat struktur sosial dibentuk justru kembali ke aroma zaman kolonial. Mereka menggantikan posisi para penghubung yang dulunya dipegang oleh elit pribumi dan sekelompok timur asing. Sementara birokrasi Indonesia tetap juga akhirnya melahirkan aparat dengan mentalitas Ambtenar, yang menggunakan kekuasaan untuk “mengkerdilkan” peran rakyat kecil secara umum. Ambtenar Birokrasi ini sekarang tumbuh menjadi masyarakat yang terlalu sibuk dengan kehormatan semu, dan mereka mengabaikan fungsinya sebagai aparat pelayan masyarakat.
Dalam bidang Ekonomi hampir sama. Karena tuntutan masyarakat liberal yang ingin dikembangkan. Maka mereka berusaha menciptakan “para” pengusaha baru, namun sesungguhnya mereka tidak pernah bisa melakukan satu kali-pun. Karena semenjak zaman Politik Liberal, Orla maupun Orba tidak satu orang pun Negara yang bernama Indonesia ini mampu melahirkan konglomerat sebagai syarat untuk menjadi negara kapitalis. Indonesia hanya mampu melahirkan para komprador. Yaitu para pengusaha yang bisa besar karena usahanya melekat dengan kekuasaan itu sendiri. Dengan kondisi ini mereka sesungguhnya bukanlah seorang pengusaha, namun mereka tidak lebih dari kaki tangan asing yang bertugas untuk memperjual belikan produk produk asing di Indonesia, dan sebaliknya juga mereka bertugas sebagai agent untuk menjual kekayaan bahan alam “mentah”Indonesia ke luar negeri, sementara korbannya adalah masyarakat kecil.
Baca Juga : Audiensi dengan Musisi Indonesia, Menko Airlangga akan Cari Solusi Konstruktif untuk Industri Musik
Dalam masa Liberal tahun 1950-an. Ada beberapa pengusaha hadir di Indonesia tapi itu-pun masyarakat Tionghoa, sementara negara yang masih baru, dan masih “trauma” dengan Tionghoa ini akibat posisinya yang sering membantu kolonial dengan sekuat tenaga mencoba untuk menciptakan pengusaha pribumi, dengan membuka kran untuk masyarakat untuk mau menjadi pengusaha dan akan dibantu oleh pemerintah..Namun sesungguhnya Inilah awal mula KKN mulai muncul.
Ekonomi Benteng begitu istilahnya ternyata memberikan konsesi pada orang orang terdekat dengan penguasa waktu itu, sebut saja Hasyim Ning (adiknya Hatta), Kalla (dekat dengan Hatta) dan Ahmad Bakrie, dan beberapa nama lainnya. Sementara Kaum Tionghoa pun tidak hilang akal mereka-pun memakaikan praktek “Ali- Baba”, suatu usaha yang sepertinya pribumi namun pemiliknya sesungguhnya etnis Tionghoa. Kondisi ini akhirnya suka atau tidak memunculkan komprador (semacam kapitalis semu yang sesungguhnya hanyalah distributor produk produk asing) dalam sistem ekonomi Indonesia. Dan Birokrasi kemudian berfungsi sebagai ambtenar yang menjadi penghubung untuk meloloskan lahirnya koneksi komprador itu. Akibatnya rakyat tidak berubah, mereka tetap miskin, praktek korupsi meraja lela dan ekonomi hancur, sehingga Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit presiden untuk kembali Ke UUD45.
Baca Juga : Menko Airlangga Sebut Tingkat Kesembuhan Covid-19 di Indonesia Semakin Membaik
Inilah sengsara selanjutnya, dengan berbasis semangat sosialisme ala Indonesia, Soekarno sibuk dengan mimpi mimpi Revolusi Rakyat Indonesia. Masyarakat akan di cita citakan akan terbebas dari kemelaratan dan mereka akan merdeka secara hakikat. Alhasil periode ini hanya menghasilkan kembali komprador. Dengan semangat demokrasi terpimpin Soekarno menyederhanakan ideologi politik dengan “jargon” NASAKOM, Nasionalis Agama dan Komunis. Namun struktur masyarakat kembali tidak berubah. Kekuasaan akhirnya dikendalikan oleh ke tiga golongan itu. Sementara masyarakat umum tetap hidup dalam kungkungan dan tidak merdeka, malah zaman ini sampai sampai pada kebebasan bicara-pun di cabut dalam kehidupan masyarakat
Orde Baru, mencoba hadir dengan formasi Modern. dengan memakai semangat kapitalis ala Amerika. Sistem Rostow mereka menyebutkan. Namun kembali mereka harus melahirkan komprador, karena mereka tidak memiliki pengusaha sejati. Dengan memakai kekuatan CSIS kelompok NGO yang sifatnya menjadi pusat pengkajian dan analisis untuk pembangunan Indonesia sebagai pusat pengendali Ideologi, dan menghubungkannya dengan dunia kapitalis di Amerika, Orde Baru membangun bangsa. namun sayangnya juga tidak merubah struktur masyarakat Indonesia. Soeharto dengan kendali dukungan lembaga itu akhirnya membuat semacam kekuatan, dan dikenal dengan poros Cendana, Golkar dan Militer. Model ini juga kembali menciptakan sistem birokrasi dan komprador sebagai penghubung, dan rakyat kecil dalam kondisi sulit. Ekonomi dan pembangunan seperti berjalan dengan baik, namun sesungguhnya rapuh secara prinsip. Sistem berjenjang itu melahirkan kembali praktik KKN secara masif. Akibatnya kembali penikmat “kue’ Pembangunan hanyalah para elit. Dan jangan lupa mereka para ambtenar birokrasi dan Komprador pengusaha. Orde Baru-pun tumbang. Sementara kemerdekaan tetap jauh dari masyarakat “badarai”.
Era Reformasi datang. berbagai amandemen Undang Undang Dasar (UUD ’45) di lakukan; Sayangnya -menurut pengamatan saya- mulai dari Habibie, sampai Jokowi hari ini, keadaan belum berubah, tegasnya sampai setahun pemerintahan pak Jokowi-JK ini. Kondisi negara masih suasana yang sama. Elitnya masih itu juga. Dalam artian secara realitasnya struktur masyarakat Indonesia masih belum berubah. Struktur atas sekarang berada dalam kendali pengusaha mantan komprador Orde Baru dan taipan-taipan Tionghoa yang beruntung di orde baru. Mereka muncul sebagai kekuatan baru, muka lama. Malah keadaan tambah runyam lagi, ketika otonomi diberlakukan ditingkat dua (2) Kabupaten dan Kota, raja raja kecil bermunculan. Komprador lokal pun muncul. Ujung-ujungnya struktur masyarakatnya tetap tidak berubah. Setiap pemerintahan selalu juga melahirkan komprador baru. Dalam masa Reformasi mereka datang dari berbagai partai politik. Setiap pemenang dalam “Pesta” demokrasi ala Indonesia akan mendapatkan jatah untuk melahirkan komprador baru. Sistem sosial Indonesia akhirnya kembali terperangkap pada model majemuk Furnivall. Para Pengusaha komprador dengan penguasa berubah menjadi penghubung dengan dunia Internasional.. Penjajahnya -sekarang- tetap adalah Kaum Kapitalis yang berganti kulit dan mengagungkan sistem Globalisasi. Sementara pemerintahan Indonesia serta para komprador itu tetap menjadi penghubung untuk para investor asing untuk mengeruk keuntungan di negeri “Ibu Pertiwi” ini. Ujungnya rakyat -pun kembali menjadi “mangsa” yang terus menerus dihisap oleh kumpulan penguasa dan komprador itu, dan harta Indonesia sedikit demi sedikit di nikmati oleh Kapitalis “asli” yang ada di luar negeri.
Lalu “akankah pemerintah yang baru sanggup melakukan perubahan?”... Sampai hari ini masih kecil kemungkinan. Meski-pun membuka diri dengan “jargon” Revolusi Mental, akan tetapi mental mereka semua masih belum teruji. Mereka harus bisa lepas dari sikap “menyusu” pada kekuatan asing dan bemukim di luar negeri (nah sanggupkah hal ini dilepaskan?). Untuk sampai hari ini belum terlihat tanda tandanya. Saya kira hari ini rakyat sangat menunggu apa Revolusi yang akan dilakukan pak Jokowi untuk struktur masyarakat Indonesia. Beberapa segi memang mulai “galak” seperti dibidang kelautan fenomena menteri Susi namun yang lain masih belum bergerak cepat. Malah hari ini kita menemukan kenyataan menjelang hari Kemerdekaan ke 70 ini kita disuguhkan oleh mogoknya para pedagang daging sapi, dan pedagang ayam potong akibat harganya terus melambung.
Akhirnya,Yang jelas -untuk sampai hari ini- kemerdekaan di bumi Indonesia belum terwujud sepenuhnya, dan ironinya masyarakat “badarai” itu sendiri juga sepertinya sudah “apatis” untuk keluar dari strukturnya sebagai kaum terjajah, setidaknya sampai pertengahan reformasi hari ini.. Namun syukur syukur kalau ada revolusi mental yang di janjikan adalah betul betul sebuah Revolusi yang mumpuni, mentalitas bangsa yang tidak lagi mengemis ke “mbahnya” ke pusat kapitalis dunia, dan kita mampu merubah struktur bernegara, barulah kita semua terbebas dari penjajahan. Terakhir bagus juga di kutib kembali pendapat bapak Prof Yusril Ihza Mahendra, ahli Hukum Tata Negara dalam suatu wawancara di media yang intinya mengatakan; Inilah negaraku, “Negara Apa Boleh Buat.”..... Dirgahayu Bangsa ku dan Apa Boleh Buat beginilah nasib kami Rakyat miskin Indonesia... Mereka memang belum Merdeka............. Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang ke 70..... ***
HENDRA NALDI
(Ketua Jurusan Sejarah FIS UNP)