Tiap pagi, sampai hari ini, selain buku-buku (usang dan baru), saya rutin membaca empat harian yang terbit di Padang (sesuai abjad: Haluan, Padang Ekspres, Pos Metro Padang, Singgalang), satu dari Jakarta (Kompas), satu majalah berita mingguan setiap pekan, dan satu majalah sastra setiap bulan. Di era internet, saya menyigi ruang-ruang budaya banyak koran, termasuk The New York Times. Dulu, saya pernah berlangganan The Jakarta Post, Newsweek, dan membaca The Archipel Journal. Saya membaca Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, pada suatu hari, mulai pukul 10.00 pagi, dan selesai pukul 02.00, dinihari. Tidak sebulan sesudah itu, Bumi Manusia dilarang beredar. Saya membaca, membaca, membaca, menjaring makna. Pernah saya melanggani beberapa surat kabar khusus edisi hari Minggu saja, yang menyediakan halaman budaya atau ruang sastra, terutama yang terbit di Jakarta.
Baca Juga : Innalillahi, Pemilik Radwah Hartini Chairuddin Meninggal Dunia
Syukur, sekarang, kita merdeka, termasuk merdeka untuk membaca. Lebih awal, saya terpesona dan kagum, setiap jumpa Chairul Harun, saya selalu menampak di tangannya ada beberapa eksempelar koran dan buku. Bang Chairul mungkin ogah membawa Echolac atau tas seminar. Tetapi saya berkesimpulan, dia pembaca (buku-buku dan surat kabar) berat. Di Manila, saya pernah diajak Pak Mochtar Lubis bertamu ke rumah seorang Guru Besar untuk mendapatkan goreang talua bulek balado. (Lidah Padang begok saya tidak berterima menu makan manis-manis, bergizi dan berkalori tinggi, bertarat internasional itu.) Semua dinding lantai dasar dan lantai satu rumah besar itu penuh (rak) buku. Saya pun terpana menyaksikan orang asing, di ruang tunggu bandar udara, di waktu istirahat di kampus, selalu membaca, membaca dan membaca buku. Ke mana-mana, dalam tas mereka, ada buku bacaan. (Kini, tentu saja, banyak orang punya telepon genggam, dan dengan gawai, berselancar di dunia maya. Mereka juga membaca?)
Dan saya berusaha benar menjaga hubungan baik, silaturahmi, dengan para senior, sahabat seangkatan, dan yang berusia lebih muda. Untuk menyebut beberapa, biarpun acap kena sarengeh, saya relatif dekat dengan suhu A.A. Navis, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi, Mursal Esten, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Danarto, Hamsad Rangkuti, Leon Agusta, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Zainuddin Tamir Koto (Zatako), Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar, Husni Djamaluddin, bahkan juga Ismail Hussein di Malaysia, Djamal Tukimin di Singapura, Fransisco Sionil Jose di Filipina. Tentu saja saya pernah berdiskusi dengan Umar Kayam, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Toeti Heraty Noerhadi, Ikranagara, Radhar Panca Dahana, Nirwan Arsuka, Nirwan Dewanto, Afrizal Malna, Taufik Ikram Jamil, Adek Alwi, Isbedy Stiawan Z.S. Ke Jakarta, saya menyempatkan diri singgah ke Jalan Bonang 17, atau ke kantor Yayasan Obor di Jalan Plaju, untuk berjumpa dengan Pak Mochtar Lubis. Ketika ke Padang, Mochtar Lubis bahkan mampir ke Jalan Pasaman II/170, Kompleks Pe-rumnas Siteba, Kelurahan Surau Gadang, Nanggalo, tempat tinggal saya. Istri saya menjamu Mochtar Lubis dengan teh manis, dan tumbang ubi bakarambie. Sering Pak Mochtar Lubis mengingatkan, bahwa penulis itu harus berani, jujur menyampaikan kebenaran dan tidak menggadaikan apalagi menjual (harga) diri. Tidak lupa pengarang Harimau Harimau itu memberi saya buku. Mochtar Lubis bahkan minta saya menerjemahkan novel The Moonson Country, nominator penerima Hadiah Nobel Sastra, oleh Pira Sudham dari Thailand. Novel itu saya terjemahkan dengan judul Negeri Hujan, dan diterbitkan Yayasan Obor (Jakarta, 1999). Penyuntingan terhadap terjemahan saya langsung dikerjakan Mochtar Lubis.
Baca Juga : Pemerintah Perlu Pertimbangkan Kembali Penggabungan Kemendikbud dan Ristek
Dari mereka dan pembacaan sejumlah buku kemudian saya menerima pemahaman dan pencerahan, bahwa untuk berbuat kreatif, sekali lagi, berbuat kreatif, di bidang sastra itu memerlukan kerja keras, bersungguh-sungguh, berpeluh, mati-matian, tidak mengenal lelah, banyak membaca dan berupaya memaknai kehidupan. Menemukan sesuatu yang baru, itulah ujud konkret kreativitas. Mengulang apa yang sudah dikerjakan M. Yamin, Amir Hamzah, Chairil Anwar atau Marah Roesli, Abdoel Moeis, Armijn Pane, Hamka, Iwan Simatupang, dan seurut sastrawan besar dan penting lain jadi sia-sia. Betapa lagi saya sempat membaca beberapa karya Boris Pasternak, Yukio Mishima, Ernest Hemingway.
Konsep dan tesis penting dan mendasar ini pula yang sepuluh tahun belakangan saya sampaikan kepada puluhan bahkan ratusan siswa, mahasiswa dan guru-guru bahasa Indonesia se-Sumatera Barat yang saya dampingi ketika mereka mengikuti Program Pelatihan Menulis (Puisi, Cerpen, Novel, Esai) yang ditaja Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat di berbagai kampus dan sekolah, dan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Pendamping lain adalah Taufiq Ismail, Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, Upita Agustine, Gus tf Sakai, Harris Effendi Thahar, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Iman Soleh, Yusrizal K.W., Abdullah Khusairi, Zelfeni Wimra, Endut Ahadiat, Muhammad Ibrahim Ilyas, S. Metron Masdison, Syuhendri.
Baca Juga : Hadapi Terorisme, Indonesia Bisa Adaptasi Strategi CTAP Selandia Baru
Di masa jadi korektor itu saya gamang apakah saya akan mampu menulis karya yang bagus? Kemudian saya juga sempat menyimak Albert Camus, Penerima Hadiah Nobel Sastra 1957: “Setiap orang, dengan alasan yang kuat, setiap seniman, sastrawan, ingin diakui.” Lalu, apa kelak saya bisa diakui, diterima, dalam blantika sastra? Untuk itu, saya membatin, bahwa saya harus melahirkan karya bermutu, betapa pun relatif dan atau absurd ukuran bermutu itu! Saya memang tergila-gila sesudah membaca dan membaca ulang kehebatan pantun, soneta, sajak-sajak modern Indonesia, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Merantau ke Deli, Belenggu, Senja di Jakarta, Merahnya Merah, Godlob, ratusan bahkan ribuan puisi dan cerita pendek.
Di masa jadi korektor, di zaman BMI dan RMI itulah, saya menulis novel Gumam yang entah mengapa, berani-berani saja saya menyertakan ke Sayembara Penulis Roman DKJ 1976. Ternyata ada 43 naskah roman yang menyertai, dan Gumam termasuk naskah (novel) yang layak diterbitkan sebagai bacaan biasa. Tujuh naskah lain yang direkomendasi adalah Mata-mata (Suparto Brata), Di Atasnya Pepuingan (Tri Rahayu Prihatmi), Jatuhnya Benteng Batu Putih (Mohayus Abukomar), Maryati dan Kawan-kawannya (Suwarsih Djojopuspito), Keok (Putu Wijaya), Jembatan (Ediruslan Pe Amanriza) dan Warisan (Chairul Harun). Pada Sayembara 1976 itu tidak ada Juara I. Juara II diraih Upacara oleh Korrie Layun Rampan dan Juara III Pembayaran oleh Kowil Daeng Nyonri (Sinansari ecip, yang kelak juga saya kenal baik). Dewan Juri: H.B. Jassin, Ali Audah, Mh. Rustandi Kartakusuma, Dodong Djiwapradja, dan M. Saleh Saad.
Baca Juga : Jatim Diprediksi Hujan Usai Gempa Malang M 6,1, BMKG: Waspada Longsor-Banjir
Gumam benar-benar melecut saya. Saya siasati dan pelajari lagi novel-novel bermutu, yang selalu dibicarakan, didiskusikan, dianggap terbaik. Empat tahun kemudian, 1980, saya kembali ikut Sayembara Penulisan Naskah Roman DKJ. Selama tiga tahun saya menulis Bako yang pada awalnya hendak saya beri judul Mendiang atau Silsilah. Pengerjaan Bako benar-benar berpeluh, lima kali ketik ulang, dengan mesin ketik biasa. Paling akhir, harus pakai lima lembar kertas karbon setiap kali mengetik rangkap enam. Dan pengetikan harus diulang total dari baris pertama di halaman yang sama bila terjadi salah ketik di baris ke duapuluh. Salah ketik saja bisa diakali, bisa dihapus. Tetapi, celaka, ada kata yang tertinggal, atau ada frasa yang harus ditambahkan! Mana ada tip eks, mana ada laptop pada tahun itu. Betul-betul kerja keras! Sekarang? Menyunting naskah alangkah mudah. Dari halaman tujuh bisa langsung berpindah ke halaman tujuh puluh.
Dan, alhamdulillah, luar biasa. Bako dinyatakan menjadi satu di antara Tiga Pemenang Utama. Disusun menurut abjad, Tiga Pemenang Utama itu adalah Bako (Darman Moenir, Padang), Harapan Hadiah Harapan (Nasjah Djamin, Yogyakarta), Olenka (Budi Darma, Surabaya). Ada lima Pemenang Harapan: Den Bagus (Sudarmoko, Surabaya), Dicari Hari yang Cerah (E. Nohbi, Jakarta), Ketika Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti, Jakarta), Merdeka (Putu Wijaya, Jakarta), dan Panggil Aku Sakai (Ediruslan Pe Amanriza, Pekanbaru). Naskah masuk 25, hanya 23 yang memenuhi syarat. Dewan Juri: Ali Audah, Sapardi Djoko Damono, Dami N. Toda, Toeti Heraty Noerhadi.
Merayakan kemenangan Bako, A.A. Navis menjamu saya dan keluarga makan bersama di sebuah rumah makan terkenal “Serba Nikmat” di Kota Padang. Jamuan itu dihadiri oleh Gubernur Sumatera Barat, Walikota Padang, beberapa Guru Besar, sastrawan, budayawan, dan seniman terkemuka, berjumlah sekitar 40 orang. Semasa Navis hidup, tradisi merayakan kemenangan itu berlanjut.
Ajip Rosidi dari PT Pustaka Jaya menyurat, penerbit yang dia pimpin dan asuh sedia menerbitkan Bako. Saya terlambung! Pustaka Jaya mau menerbitkan?! Tetapi ada syarat, kalau boleh, judul diubah: Keluarga Ayah atau apa. Saya galau. Bukankah saya sama sekali belum punya naskah sastra yang terbit menjadi buku? Tiba-tiba ada tawaran luar biasa. Namun, setelah saya pikir, judul tidak usah diubah, dan biarlah Bako belum terbit. Pada hemat saya, pada diksi bako ada sistem dan sekaligus kebaruan. Pada akhirnya tawaran untuk menerbitkan Bako itu datang dari PN Balai Pustaka. Dengan acc Redaktur Sastra Soetjipto, Soebagio Sastrowardojo, Abdul Hadi W.M., dan Hamid Jabbar, saya menanda-tangani kontrak penerbitan dengan BP. Para redaktur menjelaskan, di sana-sini ada penyuntingan, dan saya setuju. Dari sinilah saya tahu dan kemudian belajar banyak teknik penyuntingan naskah. Pada cetak pertama, Bako terbit 5.000 eksemplar, dan saya menerima wesel royalti penerbitan. Biarpun tidak banyak, alangkah enak memberi makan bini dan anak-anak dengan honor karya sastra. Syukran. Sampai 2013, Bako sudah tujuh kali dicetak BP (termasuk dua kali untuk naskah elektronik). Pada akhir 2012, Dewan Kesenian Jakarta pun melakukan digitalisasi terhadap Bako. *
DARMAN MOENIR
(Sastrawan)