Tidak sampai disitu saja, di bidang sastra, sastrawan minang menjadi lokomotif kesusastraan pada angkatan Balai Pustaka yang merupakan masa keemasan sastra Indonesia seperti Nur Sutan Iskandar (Apa Dayaku Karena Aku Perempuan), Abdul Muis (Salah Asuhan), Marah Rusli (Sitti Nurbaya), Aman Datuk Madjoindo (Si Doel Anak Betawi) serta sederatan sastrawan minang lainnya.
Baca Juga : Capres 2024, PDIP Serahkan pada Keputusan Megawati
Di era modern saat ini walau pahit harus diakui di ranah minang paceklik tokoh pemikir, ulama, serta sastrawan. Saat ini ranah minang tidak lagi menjadi rujukan akan hal itu semua. Oleh karena itu, ada benarnya Buya Ahmad Syafii Maarif dalam kolom Resonansi Harian Republika mengatakan bahwa para intelektual idealis seperti nama-nama di atas tidak lagi lahir di ranah minang. Ranah minang saat ini telah kehilangan pesonanya untuk menjadi pusat pemikiran bagi bangsa dan negara.
Melihat kemunduran yang terjadi itu tentu ada faktor penyebabnya diantaranya ialah telah memudarnya penerapan agama dan adat dalam masyarakat minang itu sendiri. Secara sosio-kultural ranah minang sangat kental perpaduan antara agama dan adat.
Baca Juga : Tindakan KKB Papua Sangat Keji, Tembaki Guru dan Tenaga Medis Covid-19
Prinsip adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah merupakan backbone dari penerapan agama dan adat yang ada di Sumatera Barat. Secara eksplisit prinsip ini menegaskan bahwa adat harus bersendikan pada syariat (syara’) dan syariat (syara’) bersendikan kepada kitabullah. Pada akhirnya paham ini memberikan sebuah kesimpulan adat pun harus bersendikan kepada syariat (syara’) itu sendiri. Namun prinsip ini perlahan sudah mulai dilupakan dalam kehidupan masyarakat minangkabau.
Menurut teori Receptio in Complexu yang dicetuskan oleh Lodewijk Willem Chirstian Van Den Berg bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Bila mengkaitkan teori ini dengan prinsip adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah maka tentulah adat yang diterapkan harus sejalan dengan syara’. Mengingat agama masyarakat asli minangkabau merupakan Islam.
Baca Juga : Innalillahi, Pemilik Radwah Hartini Chairuddin Meninggal Dunia
Sehingga segala bentuk pedoman masyarakat minang seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai adat yang luhur dan tentunya dengan tidak meninggalkan syariat yang bersumberkan pada kitabullah (Al-Quran).
Di sisi lain prinsip inilah yang sesungguhnya membesarkan pemikir-pemikir besar di atas. Di zamannya mereka bukanlah besar karena pendidikannya yang tinggi, namun mereka besar karena tempaan agama di surau-surau di kampung mereka. Pendidikan di surau-surau itu telah menjadi kawah candradimuka membentuk kepribadian, karakter serta pemikiran mereka. Merupakan sebuah ironi bila di masa sekarang bertebaran perguruan tinggi di Sumatera Barat namun tidak dapat melahirkan pemikir-pemikir seperti masa lampau. Hal ini patut menjadi evaluasi kita bersama.
Baca Juga : Pemerintah Perlu Pertimbangkan Kembali Penggabungan Kemendikbud dan Ristek
Untuk mengakhiri masa kemunduran ini, salah satu caranya ialah di Sumatera Barat harus memiliki pemimpin yang mengerti perannya sebagai kepala derah. Memiliki komitmen yang kuat untuk mengembalikan kejayaan minangkabau. Tidak sampai disitu saja ia harus memahami pula bahwa ia sebagai bagian yang tak terpisahkan secara historis-sosiologisnya sebagai putra minangkabau.
Akhir tahun ini akan dihelat pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumatera Barat. Daerah-daerah yang mengikuti pilkada ialah ialah Provinsi Sumatera Barat (Gubernur/Wakil Gubernur), Kab. Solok, Kab. Dharmasraya, Kota Bukit Tinggi, Kab. Solok Selatan, Kab. Pasaman Barat, Kab. Pasaman, Kab. Pesisir Selatan, Kab. Sijunjung, Kab. Tanah Datar, Kab Padang Pariaman, Kab. Agam, dan Kab. Lima Puluh Kota. Ajang suksesi politik ini dapat dijadikan momentum mengembalikan kejayaan minangkabau. Semua elemen masyarakat minang harus bersama-sama mengawal proses ini sehingga melahirkan kepala daerah yang sesuai dalam upaya mengembalikan kejayaan minangkabau.
Dalam mengembalikan kejayaan minang kabau, di Sumatera Barat harus memiliki kepala daerah yang memiliki wawasan luas serta memiliki visi ke depan untuk mambangkik batang tarandam. Kepala daerah harus mampu merevitalisasi adat dan syara’ dalam kehidupan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah membuat perda yang mengatur hukum adat dan syara’ serta memfungsikan kembali peran dari ninik mamak dan datuk-penghulu sebagaimana mestinya. Saat ini tatanan adat minangkabau hanya sebagai simbol. Peran ninik mamak, datuk-penghulu terhadap anak kemenakan tidak berperan efektif dalam mengawasi norma adat dan agama.
Peran yang dapat dilakukan oleh ninik mamak, dan datuk-penghulu ialah mengawal proses pilkada ini secara berkelanjutan. Mengawasi jalannya pemerintahan, serta memberi masukan kepada kepala daerah dalam pembangunan ranah minang. Lebih jauh lagi, ninik mamak, datuk-penghulu dapat memberikan usulan kepada kepala daerah untuk menumbuh kembangkan pembinaan keagamaan dan adat yang selama ini telah mengendur.
Hal-hal yang demikian sangat mungkin untuk dilakukan oleh kepala daerah terlebih di era otonomi daerah yang seluas-luasnya demi pembangunan daerah berdasarkan kearifan lokal yang hidup pada masing-masing daerah. Sehingga bagi calon kepala daerah yang bertarung harus memiliki komitmen kuat untuk mengembalikan kejayaan minangkabau. Layaknya seperti sebuah bangsa yang pernah merasakan kejayaan, jiwa mereka dipenuhi semangat untuk menang dalam pertarungan. Hal ini pun pasti juga dimiliki oleh masyarakat minangkabau. Tinggal apakah semua elemen masyarakat memiliki keinginan serta tekat yang kuat untuk mengembalikan kejayaan itu. ***
OFIS RICARDO
(Pemerhati Hukum dan Politik)