Mereka pun sering menggunakan tindakan yang melanggar aturan yang menjadi rule of law-nya Pilkada. Setidaknya ada dua praktik menyimpang yang akan cenderung kepada tindakan korupsi dalam proses pemenangan paslon kepala daerah yaitu membayar/suap penyelenggara pilkada (KPUD dan Panwaslu) pada setiap tingkatan daerah—bagi paslon gubernur—dan politik uang/money politik.
Baca Juga : Maaf ya! Beda dengan PNS, THR Karyawan Swasta Kena Pajak
Membayar Penyelenggara
Salah satu kunci pemenangan pilkada ada pada penyelenggara seperti KPUD dan Panwaslu. Karena itu, beberapa pasangan calon kepala daerah berupaya keras dalam memengaruhi dan melakukan loby politik kepada penyelenggara dari tingkat atas sampai ketingkat paling dasar seperti PPS (panitia pemungutan suara) dan PPL (panitia pengawas lapangan) tingkat kecamatan dan desa.
Baca Juga : Sponsori Vaksin Nusantara dr Terawan, Apa Saja Peran AIVITA Biomedical?
Pola-pola prilaku corrupt yang tercermin dari mereka dengan membayar para penyelenggara itupun mulai menyebarluas ketika tahapan pilkada telah memasuki masa kampanye. Ada beberapa pola prilaku yang dilakukan, seperti menempatkan orang-orang yang termasuk tim pemengangan paslon kedalam lembaga tersebut dan memengaruhi mereka dengan janji-janji jabatan politik dari paslon dan memberikan politik uang, serta melakukan tindakan refresif kepada anggota KPUD dan Panwas.
Salah satu cara yang paling berdampak untuk itu, dengan menekan anggaran KPUD. Proses pencairan dana dibuat sangat ketat sehingga memengaruhi persiapan pemilihan. Tekanan tersebut akan memberi ruang terutama kepada calon incumbent untuk menawarkan transaksi dana pilkada kepada penyelenggara. Tidak hanya terfokus kepada KPU, Panwas pun menjadi sasaran calon kepala daerah untuk dikendalikan.
Baca Juga : Isu Reshuffle Menguat, Abdul Mu'ti Tak Mau Berandai-andai
Pembajakan yang dilakukan pihak penyelenggara dalam upaya pemenangan paslon tertentu dapat terjadi ketika aktor dalam lembaga tersebut telah menerima deal dari kesepakatan politik yang diiming-imingkan para calon kepala daerah. Pembajakan itu pun berupa, memfasilitasi paslon tertentu dalam melakukan pertemuan ilegal kepada seluruh element lapisan tokoh-tokoh masyarakat maupun setiap kepala daerah yang sedang berkuasa setingkat kecamatan dan desa (camat dan epala desa). Bukan hanya sekedar fasilitator, cara lain yang sering digunakan oleh mereka (baca: penyelenggara) adalah menggunakan kewengangan dan kekuasaan yang mereka miliki, berkaitan dalam pemilihan dan penghitungan suara nantinya kepada setiap masyarakat yang telah terdaftar sebagai DPT (daftar pemilih tetap) dimasing-masing daerah.
Ancaman Money Politics
Baca Juga : Polemik Ceramah Tengku Zulkarnain soal Surga dan Warna Kulit
Para kandidat paslon kemungkinan besar telah memberikan sesuatu kepada masyarakat yang menjadi DPT didaerah mereka mencalon. Peyebaran dan pemberian berbagai barang dan uang terhadap konsituen jauh sebelum proses pemilihan kepala daaerah dilaksanakan. Praktek tersebut dapat digolongkan kepada tindakan politik uang, dikarenakan dilakukan tidak didalam ruang lingkup terbuka melainkan secara terselubung dan dikategorikan membeli suara calon pemilih.
Intensitas pemberian barang dan uang kepada konsituen akan semangkin meningkat menjelang atau saat akan dilaksanakannya pemilihan. Biasanya, para calon memberikan sesuatu berbentuk sembako barang kebutuhan sehari-hari, kedok bantuan dana sosial (bansos) dan uang tunai atas nama pribadi paslon dalam beberapa hari menjelang pilkada. Sedangkan pola-pola terselubung yang dilakukan para tim pemenangan satu hari (H-1) sebelumnya, memberikan uang kepada setiap masyarakat yang sering dikenal sebagai “serangan fajar”. Selain itu, setiap daerah memiliki modus politik uang yang berbeda-beda. Faktor perekonomian suatu keluarga misalnya, dapat mempengaruhi besaran angka dana yang akan diterimanya dari tim sukses tadi dan masih ada beberapa faktor lain yang berpengaruh.
Pada sisi lain, khususnya menjelang pemilihan gubernur, sering terjadi konsolidasi antara salah satu calon kepala daerah dengan aparatur pemerintahan seperti jajaran birokrat provinsi dan para petinggi kepala daerah yang sedang berkuasa saat itu. Dalam hal menentukan peta pencarian untuk memperoleh suara terbanyak bagi calon tersebut yang nantinya akan menjadi pemenang pilkada. Dalam praktiknya, politik uang dengan cara membeli suara pemilih sering terjadi disekitar kita pada setiap kesempatan pemilihan umum yang dilaksanakan.
Kesimpulan
Dengan realitas tersebut, praktik pola-pola korupsi telah menjauhkan pikada dari jalur tujuan semula. Masyarakat tidak lagi meng-gunakan hak pilihnya dalam pilkada sebagai instrument untuk memilih kandidat calon terbaik sebagai pemimpin yang memiliki kualitas dan integritas mumpuni. Dengan secara tidak langsung, pendidikan politik dikalangan lokal gagal dalam menumbuhkan nilai-nilai demokrasi ideal.
Politik uang justru melahirkan sikap kebiasaan anti-demokrasi dengan mengajarkan warga untuk menjual hak suara mereka. Mahalnya biaya “ongkos” politik untuk kontestasi membuat pilkada hanya dapat diikuti oleh para pemilik modal besar dan para aktor yang telah memiliki basis politik dan sosial capital didaerah yang kuat. Dominasi kelompok ini dalam setiap pemilihan tingkat lokal ditandai dengan kemenangan sebagian besar incumbent pada sebagian daerah.
Walau begitu, menjamurnya praktik korupsi dalam pilkada bukan semata-mata menjadi alasan untuk menghentikan proses demokrasi melalui pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Pilkada secara langsung masih menjadi pilihan terbaik dalam menjalankan asas-asas demokratisasi dalam rangkan membangun negara demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat pada tingkat lokal melalui partisipasi langsung dalam proses pilkada. Oleh karena itu, satu-satunya pilihan adalah dengan memperbaiki kebijakan antara lain dengan memerangi prilalu dan praktik korupsi. ***
IQBAL ARIF
(Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)