Kopi sering kali menjadi menu awal yang ditawarkan ketika akan memulai cerita dengan lawan bicara. Warnanya yang hitam pekat kadang seperti coklat tua, dengan adukan yang pas ditambahi sedikit gula pasir dan diseduh dengan air panas mendidih, akan mengeluarkan aroma khas wangi kopi yang menggoda selera.
Baca Juga : Kabar Baik! Jaringan di Wilayah Sumatera akan Ditingkatkan Selama Ramadan
Kopi telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan mulai dari pagi, siang hingga malam, kopi selalu menjadi teman, mulai dari stimulant (penambah semangat) hingga sekedar untuk relaksasi setelah lelah menjalani aktifitas. Nikmatnya kopi, hingga tetes terakhir, begitu orang menggambarkannya. Karena itulah, filosofi kopi juga sering dipakai untuk menamai judul novel, puisi, blog bahkan nama sebuah komunitas.
Tak berbeda ketika menikmati kopi asal Sumbar. Bahkan lebih khusus lagi. Aroma kopi Arabica asal Sumbar sangat spefisik dan tiada duanya di dunia dan menjadi incaran para penikmat kopi dunia.
Baca Juga : Maksimalkan Pengalaman Aktivitas Digital di Momen Ramadan dan Idulfitri 1442 Hijriah
“Aroma khas yang diincar penikmat kopi itu adalah aroma harum, ada rasa lemon yang menonjol. Rasa lemon inilah yang menjadikannya spefisik dan mengundang orang untuk menikmati kopi asli dari Ranah Minang ini,” kata Kepala Dinas Perkebunan Sumbar, Ir. Fajaruddin suatu ketika.
Manfaatkan Lahan Tidur
Baca Juga : Resep Kolak Pisang Tanpa Santan, Cocok untuk Berbuka Puasa
Secara umum, produksi kopi Indonesia menempati peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia. Tahun 2012, ICO melansir data bahwa konsumsi kopi dunia selalu meningkat setiap tahun, Bahkan ICO memperkirakan pada 2015 nanti konsumsi kopi meningkat 155 juta. Ini merupakan peluang besar bagi Sumbar untuk menarik pasar dunia melirik kopi Indonesia.
Karena itu, sejak beberapa tahun belakangan ini tanaman kopi menjadi primadona baru komoditi perkebunan di Sumbar. Apalagi, harga kopi pun relatif tinggi mencapai Rp75 ribu/kg di tingkat petani. Karena permintaan tinggi otomatis akan diikuti harga jual tinggi, menjadi momentum bagi petani Sumbar bagaimana menjual produksi sendiri ke pasar dunia.
Baca Juga : Intip 5 Trik Kurangi Asupan Karbohidrat
Salah satunya dikembangkan di Kabupaten Solok, yaitu kebun kopi dibawah naungan Koperasi Solok Radjo. Solok Radjo merupakan Koperasi Petani Kopi Arabika di dataran tinggi Solok (1200 – 1800 mdpl) Kabupaten Solok. Anggota koperasi terdiri dari petani-petani kopi yang tergabung dalam kelompok tani di daerah Kecamatan Lembah Gumanti, Kecamatan Danau Kembar, Kecamatan Lembang Jaya dan Lecamatan Gunung Talang.
“Keempat kecamatan itu dulunya merupakan daerah penghasil markisah. Namun sejak beberapa tahun belakangan markisah tak lagi menjadi idola dikalangan petani sehingga meninggalkan banyak lahan tidur. Ini lah yang menggugah kami untuk menggerakkan petani untuk menanam kopi,” kata Ketua Koperasi Solok Radjo Alfadriyan Syah (29) didampingi Tengku Firman kepada Haluan.
Menurut pemuda yang biasa disapa Adi ini, Solok Radjo hanya fokus melakukan pengembangan di empat kecamatan tersebut karena kondisi geografis yang benar-benar optimal untuk memproduksi kopi dengan kualitas spesialti. Solok Radjo merupakan perkembangan tahap ke-2 dari Minang Solok Project.
Minang Solok Project merupakan program pengembangan kembali perkopian di dataran tinggi Solok pada sektor hulu yang dilakukan secara kolektif. Dimulai pada Desember 2012, program ini meliputi pembenahan pada tahap produksi dikebun seperti; perbaikan pada teknik budidaya, panen dan pasca panen.
Kemudian dilanjutkan dengan pembenahan rantai perdagangan dan pemasaran. Hasil dari program ini adalah munculnya “Kopi Arabika Minang Solok” di kancah perkopian nasional. Memasuki tahun 2014, Minang Solok Project bertransformasi menjadi Koperasi Solok Radjo untuk lebih mengakomodir kepentingan dan posisi tawar para petani kopi di dataran tinggi Solok.
“Saat ini ada sekitar 300 orang petani yang telah bergabung dengan lahan setidaknya mencapai 900 hektar,” ungkapnya.
Meskipun hanya berbentuk sebuah koperasi, namun kata Adi, kini pihaknya telah memakai sistem dan manajemen layaknya sebuah perusahaan. Dengan modal awal berasal dari swadaya anggotanya, kini dengan didukung oleh 4 Unit Pengolahan Hasil (UPH) Koperasi Solok Radjo sudah mampu menghasilkan kopi 800 kg hingga 1 ton kopi green bean specialti per bulan untuk mengisi pasar kopi nasional.
“Segmen pasarnya lebih ke cofee shoop yang ada di kota Medan dan pulau Jawa dalam bentuk green bean dengan harga Rp85.000 perkilo,” jelasnya
Pihaknya berkeyakinan bahwa secangkir kopi tidak hanya menawarkan rasa, aroma dan karakter lainnya. Namun secangkir kopi merupakan prasasti yang memaparkan budaya, sosial, sejarah dan kearifan hubungan manusia dengan alamnya. Berpijak kepada filosofi itu, koperasi Solok Radjo terus aktif memberikan sosialisasi kepada petani kopi tentang sistem tanam yang baik sehingga menghasilkan buah yang berkwalitas.
“Untuk menghasilkan 1 kg green bean specialty dibutuhkan setidaknya sebanyak 7 kg kopi chery mentah dengan harga Rp7.000 perkilogram,” tambahnya.
Sedangkan untuk pengolahan pasca panen langsung ditangani oleh koperasi melalui UPH yang ada. Karena proses pengolahan pasca panen kopi yang terkontrol dan terukur akan menghasilkan green bean yang baik.
“Kita membeli dari petani buah dalam bentuk ceri (mentah), sedangkan untuk pengolahan lanjutan ditangani oleh UPH yang ada,” kata Adi yang juga seorang Q Grader (ahli pencicip kopi) ini. ***
Oleh:
YUTISWANDI