Terhadap mata uang yen, misalnya, nilai tukar dollar melemah 0,2% ke level 122,95 yen. Sedangkan versus euro, dollar melemah 0,3% menjadi $ 1,0753 per euro. Sejumlah mata uang dunia lain juga mencatatkan penguatan terhadap dollar AS. Sebut saja misalnya mata uang aussie yang menguat 0,4% menjadi 70,57 sen US dan poundsterling yang juga menguat 0,3% menjadi $ 1,5165.
Baca Juga : Cegah Warga Nekat Mudik, Polri Gelar Operasi Sebelum 6 Mei
Namun apa yang terjadi pada hari Jumat (13/11), Kurs tengah Bank Indonesia terseret ke level Rp13.633 per dolar AS pada sesi pagi karena tekanan regional dimana gerakan mayoritas mata uang Asia juga mengalami pelemahan, dipimpin oleh depresiasi won. Sementara itu, Bank Indonesia juga menetapkan kurs tengah di level Rp13.575 per dolar AS, melemah 58 poin atau terdepresiasi 0,43% dari kurs yang ditetapkan sehari sebelumnya. Dengan rincian, kurs jual dipatok di Rp13.701 per dolar AS, sedangkan kurs beli berada di Rp13.565 per dolar AS. Selisih antara kurs jual dan kurs beli adalah sebesar Rp136.
Berdasarkan psikologi pasar yang berkembang, pelemahan dollar yang cukup signifikan hari awal pecan lalu disebabkan oleh aksi ambil untung (profit taking) para investor atas gerakan penguatan dollar yang tajam beberapa waktu sebelumnya. Sepanjang bulan ini saja, dollar AS sudah menguat 1% terhadap 10 mata uang utama dunia. Selain itu, pada hari tersebut, investor juga menunggu dirilisnya data ekonomi Tiongkok. Data ini cukup penting karena akan memberikan petunjuk dan indikasi lebih lanjut mengenai posisi ekonomi Tiongkok ke depan.
Baca Juga : Inilah Jam Kerja ASN pada Bulan Ramadan 1442 Hijriah
Sementara itu, dari sisi non dolar, pernyataan pejabat tinggi Bank of Japan (BoJ) menjadi penopang penguatan mata uang global. Anggota Dewan Bank Sentral Jepang, Yutaka Harada, mengatakan pada hari rabu (11/11) bahwa pertumbuhan ekonomi Jepang akan melanjutkan proses pemulihan dengan kecepatan yang “moderate”.
Sedangkan untuk pertumbuhan inflasi konsumen Jepang sendiri, BOJ memperkirakan akan mengalami kenaikan yang mendekati 2% di bulan Maret 2016 mendatang. Namun demikian, pelonggaran kebijakan bisa saja dilakukan jika risiko yang mengancam kenaikan harga semakin meluas di Jepang.
Baca Juga : Gawat! Ada 22.000 Senjata Api Dimiliki Warga Sipil di Daerah Ini
Disisi yang lain, pelemahan dolar ternyata belum mampu memperbaiki kondisi harga minyak mentah dunia. Pada hari yang sama, Rabu (11/11), harga minyak dunia masih tertekan di bawah level $ 44. Berdasarkan data Bloomberg, harga kontrak minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun 66 sen menjadi $ 43,76 per barel di New York Mercantile Exchange sesi siang waktu Hong Kong. Sehari sebelumnya, Selasa (10/11), harga kontrak minyak WTI naik 34 sen menjadi $ 44,21 per barel. Ini merupakan kenaikan pertama dalam lima hari sebelumnya.
Namun setelah jatuh lebih dari satu $1, harga patokan minyak mentah AS,light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember, justru semakin terkupas dan turun $1,18 atau 2,7%, untuk kemudian diperdagangkan di level $41,75 per barel di New York Mercantile Exchange pada sesi perdagangan pagi hari Jumat (13/11), titik terendah baru sejak akhir Agustus 2015. Dan minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Desember, patokan global untuk minyak, diperdagangkan di level $44,06 per barel di perdagangan London alias turun $1,75 (3,8%) dari tingkat penutupan hari Rabu.
Baca Juga : Launching Polri TV dan Radio, Jenderal Listyo Sigit: Untuk Mengedukasi Masyarakat
Pergerakan harga minyak masih sangat dipengaruhi oleh data cadangan minyak AS yang masih melimpah ruah. Berdasarkan data mutakhir dari American Petroleum Institute (API), cadangan minyak AS naik sebesar 6,3 juta barel pada pekan lalu. Sedangkan Energi Information Administration (EIA) merilis data suplai minyak dengan kenaikan sebesar 4,2 juta barel, jauh diatas prediksi para analis 1,3 juta barel.
Sehingga akhirnya minyak benar-benar tak mampu mengimbangi pelemahan dolar hari Rabu (11/11) karena harga tersandera oleh pasokan yang kian melimpah ditengah kekhawatiran atas perlambatan permintaan global, terutama akibat bersikerasnya OPEC untuk mempertahankan kuota produksi dan semakin memburuknya perkembangan ekonomi Tiongkok belakangan ini.
Selain faktor ancaman melandainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia, membaiknya data tenaga kerja Amerika yang dirilis minggu lalu benar-benar akan menjadi ujian bagi Rupiah menjelang datangnya bulan Desember. Tingkat pengangguran yang sudah bertengger di level 5% adalah titik awal Amerika untuk menuju era tinggal landas dan menuju kondisi full employment. Sementara data inflasi yang dirilis dua minggu lalu juga sudah benar-benar menempel pada angka incaran the Fed, yakni 1,9% alias mendekati 2%.
Walhasil, gembar-gembor rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus dihembuskan. Optimisme bukan saja terlontar dari para petinggi The Fed yang masuk ke dalam komite pengambil kebijakan, tapi juga oleh para ekonom dan pelaku pasar. Mereka mewanti-wanti ancaman ekonomi domestik Amerika yang akan mengalami overheating, jika suku bunga tidak juga dinaikan, terutama overheating untuk sektor property atau perumahan.
Meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed akhirnya ikut meredakan ekspektasi dalam negeri Indonesia yang berharap Bank Indonesia segera memangkas suku bunga pinjaman, agar ekeonomi riil bisa mendapat oli tambahan untuk bergeliat. Walaupun disisi lain, belum ada alasan yang kuat juga bagi BI untuk menaikan suku bunga seiring gonjang-ganjing kenaikan The Fed’s Rate.
Jadi penguatan sementara mata uang rupiah lebih disebabkan oleh sentiment teknikal yang juga bersifat sementara di pasar. Karena jika dilihat dari persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada dibawah bayang-bayang yang mengkhawatirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed, perlambatan ekonomi Tiongkok yang kian jelas, dan tertekannya harga komoditas ekspor andalan Indonesia.
Ketiga bayang-bayang gelap ini akan berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan pengetatan moneter Amerika akan menambah otot dolar terhadap semua mata uang rivalnya dan menekan harga minyak dunia yang memang telah terseok-seok, kemudian akan semakin mengganggu perekonomian Tiongkok dan Indonesia akibat membesarnya bayang-bayang capital outflow.
Disisi lain, harga minyak yang kian melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia dan serta-,merta akan memangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas non migas. Dan perlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau, akan mengancam stabilitas neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok karena memburuknya prospek permintaan atas komoditas non migas. Pasalnya, Tiongkok adalah negara mitra dagang kedua terbesar Indonesia untuk komoditas non migas, setelah Amerika. ***
RONNY P SASMITA
(Analist Ekonomi Global di Financeroll Indonesia)