Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Andi Wiyana mengatakan, secara umum kondisi rupiah memang tertekan karena “risk off” (risiko pasar tinggi) yang didorong rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Fed.
Baca Juga : Benarkah? Hasil Studi Sebut Anjing Pelacak Bisa Deteksi Covid-19 Seminggu Sebelum Hasil PCR
“Selain itu ada pula pernyataan bahwa negara-negara besar akan mulai meninggalkan periode bunga rendah, otomatis itu membawa periode ‘risk off’ dan tentu ada tekanan ke rupiah,” ujarnya.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada sepekan terakhir terus bergerak di atas level Rp13.700 per dolar AS.
Baca Juga : Inggris Temukan Lagi 16 Kasus Varian Baru COVID-19, Mengandung Mutasi E484K
Karena tren pelemahan rupiah inilah, disinyalir banyak transaksi perdagangan yang berlaih menggunakan mata uang asing seperti dolar. Misalnya, di bidang perhotelan, pembelian tiket pesawat, ataupun di perdagangan.
Andi Wiyana menyebutkan, semestinya, hal ini menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mengawasinya. Sebab, jika hal ini dibiarkan terus, tentunya akan semakin berdampak buruk terhadap rupiah. Karena, ada yang tak pas dengan perilaku kita sehingga rupiah tak laku di negeri sendiri. “Kerjasama kita semua dengan aparat pemerintahan, sangat dibutuhkan dalam mengawasi transaksi valuta asing (valas),” tegas Andi.
Redominasi
Di bagian lain, Andi Wiyana juga menyinggung tentang redominasi (penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya) rupiah.
Baca Juga : Miliuner Jepang Ini Cari 8 Orang Teman Traveling ke Bulan, Siapa Berminat?
Menurtut Andi, dibutuhkan waktu minimal tujuh tahun untuk mempersiapkan redenominasi rupiah. “Redenominasi itu sebenarnya sesuatu yang sederhana, tapi masalahnya ada pada pola pikir dan psikologi masa sehingga butuh waktu mewujudkannya,” katanya.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman negara-negara lain butuh waktu lima sampai 12 tahun untuk dapat melakukan redenominasi. “Nilai uang sebenarnya tidak berubah, hanya penyebutan yang berubah, ini perlu hati-hati apalagi Indonesia terdiri atas 17 ribu pulau,” kata dia.
Andi menilai mau tidak mau redenominasi harus dilakukan karena terlalu besar biaya yang harus dikeluarkan dengan nilai mata uang saat ini.
Sekarang banyak transaksi yang menggunakan komputer seperti transfer, belanja dan lainnya, jika nilai mata uang semakin besar maka biaya pemeliharaan komputer perbankan menjadi tinggi, ujar dia.
Ia memberi contoh tiket dari Jakarta ke Amerika kelas satu harganya Rp120 juta dengan jumlah nominal angka mencapai sembilan, sementara kalau dikonversi ke dolar amerika hanya sekitar 10 ribu dolar yang hanya lima angka.
Akan banyak biaya yang dapat dihemat jika nominal mata uang rupiah dapat dikurangi terutama dari aspek penggunaan komputer, kata dia.
Kemudian, lanjut dia, redenominasi akan menekan angka ketidaktelitian karena saat mengetik angka Rp100 miliar risiko salahnya akan lebih besar dibandingkan Rp100 juta. (h/atv)