Tertangkapnya mucikari Robby Abbas yang menjajakan selebriti, tidak serta merta menghentikan bisnis esek-esek artis papan atas. Kepala Subdit III Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Komisaris Besar Umar Fana, mengatakan kepolisian melakukan investigasi berdasarkan informasi yang diperoleh dari Robby Abbas, seorang mucikari yang Bulan Oktober 2015 dijatuhi hukuman 16 bulan penjara untuk kasus perdagangan seksual dengan tarif puluhan juta rupiah untuk satu kali transaksi.
Menteri sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan seebetulnya sama sekali bukan karena faktor ekonomi. Bayangkan kalau tarif short time Rp50 juta hingga Rp 120 juta. Dulu bahkan sampai Rp 200 juta. Nikita dan PR, lanjut Umar, telah diserahkan ke dinas sosial di Cipayung, Jakarta Timur, untuk mendapatkan pembinaan.
Dari kamar, polisi mengamankan sejumlah barang bukti, berupa bukti transfer, pakaian dalam, kunci hotel, kondom, HP. Puty dan Nikita ditetapkan statusnya sebagai korban atas dasar hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sementara muncikari F dan O sudah menjadi tersangka dan bisa kena pidana. Puty dan Nikita akan menjadi saksi dalam pengembangan kasus tersebut.
Usai pemeriksaan, Puty dan Nikita dikirim ke santi sosial untuk mendapat pembinaan layaknya PSK yang terkena razia. Namun mereka hanya sebentar di sana untuk di data. Berbeda dengan Nikita yang santai wajahnya terekspos, Puty hadir di panti sosial dengan wajah serba tertutup.
Tentu saja fakta yang mengelilingi kehidupan para selebritis dan artis sebagaimana yang menimpa NM dan PR menjadi aib dan pelajaran yang sangat berharga. Tindakan mereka sangat tidak layak dicontoh. Keindahan dan kecantikan diri semestinya dijadikan sebagai sarana untuk memberikan inspirasi kepada orang lain. Kemolekan yang dimiliki harusnya disyukuri dan dengan ketenarannya harus memberi contoh hidup baik agar masyarakat mengikuti jalan hidupnya yang lurus. Namun sungguh sayang, banyak artis dan juga wanita-wanita cantik lain, melecehkan Allah dengan menghambakan diri pada uang. Mereka melecehkan Sang Pencipta dengan menjajakan diri sebagai budak seks kaum pria yang tak bermoral. Mereka juga sekaligus melecehkan diri sendiri.
Nilai-nilai luhur dikalahkan dengan pemujaan cara hidup yang hedonistis. Padahal seharusnya kaum cantik bisa ‘memanfaatkan’ anugerah Tuhan itu untuk memberi contoh berbagai gaya hidup yang peduli, berbelarasa, dan penuh cinta. Kalau mereka menjadi bintang antirokok, antinarkoba, antimadat, dan antiseks bebas pasti jauh lebih didengarkan daripada orang biasa. Sayang mereka justru menjadi contoh perokok, narkoba, madat, dan seks bebas, bahkan prostitusi kelas wahid.
Memang tak dapat disalahkan, gaya hidup yang dipelajari di kalangan artis adalah glamour. Mereka yang tidak memiliki kemandirian dan karena itu harus juga ikut arus glamouria. Masalah timbul ketika biaya untuk berglamouria tidak mencukupi. Di situlah bisikan-bisikan menjual diri muncul dan pada akhirnya diterima. Sebab menjajakan diri pada praktik prostitusi cara mudah dan cepat mereka memperoleh rupiah dalam jumlah besar yang oleh orang biasa harus dikumpulkan bertahun-tahun. Tapi mereka hanya dalam satu sampai tiga jam sudah memperoleh ratusan juta rupiah. Tentu saja sulit bagi mereka untuk kembali masuk ke dunia normal. Dengan pekerjaan normal, mustahil mereka dapat mencetak uang dalam jumlah besar dalam waktu yang relative sangat singkat.
Persoalan prostitusi kelas atas ini sebaiknya memang dibuka lebar. Selain untuk menyelamatkan para korban dan mengantisipasi agar jangan terulang serta menjadi pelajaran berharga bagi yang lainnya. Ini juga menjadi momentum bagi kalangan pejabat eksekutif dan legislative serta para pengusaha, swasta dan BUMN untuk bertobat. Mereka jangan menyalahgunakan kewenangannya untuk bisa menikmati ‘daun muda’ dengan menghambur-hamburkan uang dalam jumlah banyak. **