Kembali Emil berdiri dari pembaringannya, guna kembali menatap sebuah poster seorang manusia yang diikuti beberapa ekor kera. Mulai dari merangkak, bungkuk, setengeh bungkuk, agak bungkuk, tegak membawa tulang, tegak membawa tombak, hingga yang paling depan tegak sempurna seperti manusia.
Bagaimana mungkin manusia berasal dari kera, batinnya. Tapi bukankah teori evolusi itu benar adanya, bantah pikirannya.
Baca Juga : Kolonel TNI Mati Dibunuh Rekan Sendiri Cuma Gara-gara Politik
Emil meletakkan poster yang dilihatnya sebelum beranjak ke rak buku. Segera ia mengambil buku yang berjudul The Origin of Species karya Carles Darwin, buku yang sudah berulang-ulang kali dibacanya. Dari Homo Gautensis yang suka menghabiskan hidupnya di pohon, berubah menjadi Homo Habilis yang cukup terampil dan sesekali bisa berjalan dengan dua kaki. Homo Habilis pun menjelma menjadi Homo Ergaster dan sangat diyakini sebagai nenek moyang manusia purba, tonggak terpenting dari kera menuju manusia purba yang diyakini telah mulai mengunakan kosa kata dalam berkomunikasi. Hidup kira-kira 1,3 juta tahun yang lalu.
Emil menghentikan bacaannya, ia sedikit menerawang. Ah! Dasar bodoh, manusia itu tercipta dari tanah, bukan dari evolusi kera, Batinnya. Tapi kan teori evolusi sudah terbukti, seperti salah satu jenis tikus tanah yang berhasil mengevolusi diri, sehingga darahnya kebal terhadab bisa cobra seperti yang kemarin aku nonton di National Geografik Chanel, pikirnya.
Baca Juga : Apakah Malaikat akan Meninggal Layaknya Manusia?
Emil pun kembali menatap buku karya Darwin tersebut. Homo Erektus disebut juga manusia tegak pertama, selama proses evolusi telah menyebar ke Georgia, India, Sri Langka, Cina dan Jawa. Di Indonesia fosilnya ditemukan di Sangiran serta Trinil. Didaulat sebagai manusia purba pertama yang sukses ke luar Afrika dan menuju berbagai belahan dunia. Dari sinilah nantinya lahir berbagai macam ras manusia, tergantung faktor alamnya. Bahkan Homo Erektus telah pandai mengunakan rakit. Setelah Homo Erektus menyebar ke berbagai belahan dunia, maka lahir jugalah berbagai jenis manusia purba. Homo Florensis di Indonesia, Homo Homini di Rusia, Homo Red Deer Cave di China, Homo Antecessor di Eropa dan sebagainya. Rahang dan gigi mereka telah mendekati manusia zaman sekarang, mereka juga telah mampu membunuh hewan buas lagi besar.
Selanjutnya ada manusia purba Homo Heidelbergensis, folume otaknya sudah jauh berkembang, bahkan mereka telah mengenal banyak ritual, seperti ritual pergi berburu, upacara penguburan serta melukis dinding-dinding goa tempat mereka tinggal. Puncak dari evolusi tersebut adalah manusia sekarang atau apa yang disebut dengan Homo Sapiens. Semua itu memakan waktu jutaan tahun. Ah! Dasar bohong, jika benar manusia itu berevolusi, mengapa Homo Sapiens tidak lagi berubah, bantah Emil.
Baca Juga : Cegah Korupsi Melalui Simplikasi Jabatan Fungsional
Bukankah Homo Sapiens adalah puncak dari evolusi panjang. Seperti halnya gajah dari evolusi mamooth atau harimau dari evolusi smilodons. Teori ini juga dilengkapi dengan teori seleksi alam, siapa yang lemah akan tersingkir di panggung dunia. Dan lagi, bukankah sekarang juga muncul terori neo Darwin yang menguatkat teori terdahulu. Tentunya orang-orang yang melakukan penelitian ini bukanlah orang sembarangan, sudah jangan diragukan lagi jika manusia memang dari kera, pikiran Emil memberi penguatan.
Jangan menjadi kaum reaksioner keilmuan. Apakah ada yang melihat kera menjadi manusia? Mana bukti empirisnya? Jika hanya berdasarkan rasionalitas tanpa adanya dukungan empiris tentu semua itu tidak bisa dibuktikan, kembali batinnya pemuda itu menolak.
Baca Juga : Belum Bayar Listrik? Yuk Segera Lunasi Agar Liburan Semakin Nyaman
***
Sebuah kebun binatang yang tak begitu jauh dari rumahnya. Terlintas begitu saja saat Emil terbangun jam 3 sore. Pemuda penuh penasaran itu berharap—semoga dengan melihat beberapa spesies kera di kebun binatang tersebut mampu menghentikan perang antara pikiran dengan batinnya.
Cukup lama Emil melihat sekawanan kera ekor panjang di kandang yang cukup luas tersebut. Kera-kera itu terlihat asyik. Ada yang saling mencari kutu, mengendong anak sedangkan para kera muda terlihat sedang berayun-rayun. Seekor kera jantan besar yang bulu sangat hitam dan sangat mencolok di antara kawannya berdiri di pucuk pohon yang paling tinggi, ia terlihat benar-benar waspada menjaga kawanannya. Kera jantan besar itu disinyalir sebagai pemimpin kawanan tersebut.
Lihatlah kawanan kera ekor panjang itu dan lihat jugalah pemimpinnya yang congkak, berkuasa dan penuh curiga, tak jauh beda dengan pemimpin manusia, bukankah itu menunjukkan kalau mereka juga memiliki sistem sosial yang sama dengan kita. Inilah tanda kalau sesunguhnya kera dan manusia itu saudara. Kita berasal dari kera yang sukses berevolusi, sementara mereka dari kera yang gagal mencapai evolusi tahap sempurna. Jadi jangan ragukan lagi jika manusia itu benar-benar dari kera, analisa pikiran Emil.
Dasar goblok! Mana mungkin manusia itu berasal dari kera. Jika hanya sistem sosial yang dinilai, bukankah setiap hewan di dunia ini punya itu. Singa, burung, ikan dan semua jenis hewan di dunia ini mempunyai sitim sosial, lagi-lagi batin Emil membantah.
***
Puas mengamati kera ekor panjang. Emil beranjak ke kandang sebelah yang dihuni dua puluh satu ekor simpase. Pemuda yang masih mencari jati dirinya itu seakan tidak percaya, ketika mengetahui sang pemimpin kawanan tersebut hanyalah simpanse berbadan kecil, berbeda dengan pemimpin kawanan jenis hewan mana pun”yang mengutamakan kekuatan dan badan besar untuk menjadi pimpinan. Para simpanse jantan yang memiliki tubuh jauh lebih besar memberi hormat kepada simpanse pimpinannya yang badannya lebih kecil.
Emil semakin kagum saat mengerti kalau simpanse menunjuk pemimpin bukan berdasarkan kekuatan, tetapi berdasarkan manipulatif dan politis. Siapa yang mampu memberikan pengaruh terbesar pada suatu kejadian dalam sebuah kawanan, maka ia akan naik menjadi pemimpin. Emil terus memperhatikan simpanse jantan pemimpin itu. Si pemimpin itu berjalan begitu sombong dan congkak diantara kawanannya, para simpase jantan bawahannya terlihat memberi hormat dengan mengeluarkan dengkuran atau bertepuk-tepuk tangan, sementara simpase betina memberi hormat dengan menungingkan bokongnya.
Emil pun teringat akan buku evolusinya. Simpanse adalah kerabat manusia yang masih hidup dan terpisah dari ranting evolusi kira-kira enam juta tahun yang lalu. Sistem pemilihan pemimpinya sama dengan demokrasi manusia; siapa yang paling politis maka ia akan jadi pemimpin. Tidak mungkin simpase yang meniru manusia, juga tidak mungkin manusia yang meniru simpase. Sebab sistem demokrasi sudah ada sejak era Khalifah Rasyidin dan juga melalui piagam magna carta yang dikeluarkan di Inggris pada tahun 1215. Jauh sebelum manusia mengerti kalau simpase juga berpolitik dalam menunjuk pemimpinnya.
Itulah bukti jika manusia dan kera berasal dari satu keturunan, kita sama-sama mewarisi ilmu dari leluhur, kesimpulan pikirannya. Jangan menyamakan manusia dengan kera. Manusia itu makhluk sempurna, sementara kera itu binatang, tolak batinnya.
***
Tidak puas dengan kera ekor panjang dan simpanse. Emil pun pindah ke kandang yang diisi sepasang orang utan. Orang utan jantan terlihat tertidur, sementara yang betina meyambut kehadiran Emil dengan berdiri dibalik jeruji, hingga mereka saling bertatapan. Coba lihat, sama-sama punya dua tangan, dua kaki, dua mata, dua lubang hidung, dua telinga, dan sepuluh jari. Jika aku punya pakian maka dia punya bulu, apa lagi yang perbedaannya? tanya pikirannya.
Kera itu binatang sedangkan kita manusia! Jawab batinnya.
Emil tersentak dan menghentikan perang antara pikiran dan batinnya—ketika orang utan betina itu menjulurkan tangannya guna meminta kacang. Emil merogoh tas bekalnya, roti tawar dan selai kacang yang masih tersisa membuat orang utan betina tersebut beranjak dari balik jeruji besi dan menjauh ke dalam.
Emil juga pun beranjak ke bangku taman yang tak jauh dari kandang orang utan tersebut. Kali ini pikiran dan batinnya tampak kompak tentang kasus beberapa tahun silam. Dimana seekor orang utan betina dijadikan PSK dan masyarakat sekitar kompak mendukung dan menutupi kasusnya, hingga TNI harus turun tangan guna membebaskan seekor orang utan betina tersebut. Si orang utan tampak pandai merayu dan bergaya erotis, pertanda ia sering disetubuhi. Bentuk sama, perangai sama, tingkah laku apa lagi. Jika kera kawin sedarah, manusia juga ada begitu, bahkan sudah sering ada kasus bapak kandung yang menghamili anaknya sendiri, pikirnya.
Ah, jangan begitu, itu hanya sebagian manusia, sanggah batinnya.
Jangan membantah, sekejam-kejamnya kera tidak ada yang membunuh anaknya, tapi semulia-mulianya manusia, banyak juga yang membuang jabang bayinya di bak sampah. Bapak kera jika buat anak tidak bertangung jawab, namun ibu kera tetap merawat anaknya. Bapak manusia juga banyak yang buat anak dengan tidak bertangung jawab dan kebanyak anak itu dibunuh sebelum lahir. Ah, kera lebih baik, pikirnya.
Hanya sebagian manusia yang lebih buruk dari kera, tolak batinnya.
***
Perang antara batin dan pikiran Emil seketika buyar, lantaran kehadiran seorang kakek tua yang sedikit membungkuk dan ditopang dengan tongkat kayu—berjalan pelan di hadapannya. Ada rasa ragu dan sungkan di hati Emil untuk bertanya, namun ketika melihat wajah si kakek yang budiman, dermawan serta berpadu dengan raut ilmuan, tidak Cuma itu, si kakek juga terlihat penuh wibawa. Apa lagi rambutnya telah ubanan, pertanda orang ini telah puas mengarungi lautan asam garam kehidupan. Emil pun memberanikan diri. Ia yakin, kakek tua bangka itu punya banyak pengetahuan.
“Maaf kek, boleh bertanya?” Emil sedikit membungkukkan diri.
“Soal apa?” Si kekek sedikit heran.
“Tentang kehidupan kek?”
“Oh! Silakan, kamu bertanya kepada orang yang tepat, dalam 99 tahun usia kakek, kakek akan bagi segudang ilmu kehidupan kepadamu, tidak perlu sungkan,” si kakek menepuk-nepuk pundak Emil, “kamu anak muda yang hebat, silakan mau menanya apa?” tambah lelaki tua yang berpenampilan rapi itu. “Kakek kan sudah lama hidup, menurut kakek apa yang membedakan kera dengan manusia?” Tanya Emil.
Kakek yang mendapat pertanyaan tak lazim itu mencoba berpikir sejenak, “sifat munafik,” jawab kakek tua itu penuh wibawa. “Sifat munafik?” Emil mengeritkan kening mendengar jawaban tersebut.
“Ya sifat munafik, sekarang coba kamu sebutkan binatang apa yang paling mirip dengan manusia?”
“Ya pastilah kera kek,”
Si kakek tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “benar, kera adalah binatang yang paling mirip dengan kita, tapi justru kita memungkirinya dan menolak keras jika disebut mirip kera.”
Si kakek menghirup nafas panjang dan melanjutkan kalimatnya, “orang yang kuat dan jantan dikatakan seperti singa, juga ada istilah jangan membangunkan macan tidur. Seorang wanita lebih senang jika disebut merak kayangan, bahkan dalam dunia olahraga ada istilah kuda hitam. Orang-orang yang mendapat persamaan dengan binatang tersebut bangga bukan kepalang. Tidak sampai disitu, manusia seolah ingin menjadi binatang. Tentunya kamu pernah menonton film Manusia Harimau, Ganteng-Ganteng Srigala, Dewi Ular dan lain sebagainya. Tapi yang anehnya, manusia akan langsung teringgung jika dapat persamaan dengan kera. Munafik bukan, pada hal jelas-jelas kita memang mirip dengan kera.”
Emil berpikir sejenak mendengar penjelasan tersebut, ia teringat akan pahlawan masa kecilnya, ada Spiderman, Cat Woman, Batman dan Satria Baja Hitam yang juga jelmaan belalang. Bagi Emil kecil, pahlawan adalah manusia yang menjelma menjadi binatang. Namun yang anehnya, tidak satu pun pahlawan yang mau memakai kera sebagai perubahan wujudnya, memang masih ada Hanoman dan Sun Go Kong, tapi keduanya bukan manusia yang berubah wujud, melainkan benar-benar dari bangsa kera. Satu-satunya kera dari perubahan wujud manusia hanyalah Lutung Kasarung, namun dia bukan pahlawan, akan tetapi pemuda yang dikutuk karena hendak menyetubuhi ibu kandungnya sendiri.
“Benar juga yang kakek bilang, secara lahir memang fisik kita mirip dengan kera, tapi yang saya maksud adalah perbedaan secara batin maun pun pola pikir antara manusia dengan kera kek,” tanya Emil lagi.
“Lahir maupun batin, manusia dan kera itu sama saja, kecuali satu hal.”
“Satu hal?” Emil semakin heran
“Sekarang abad berapa?” Kali ini si kakek balik bertanya.
“Abad 21 kek,” jawab Emil Mantap.
“Coba keluarkan isi dompetmu,” perintah si kakek.
Emil pun mengeluarkan empat lembar uang seratus ribu. Si kakek mengambil uang tersebut dan mengangkatnya tepat di wajah Emil. “Di abad 21. Ketika manusia telah mengukur segala sesuatu berdasarkan uang, maka inilah satu hal perbedaannya. Jadi, satu-satunya perbedaan kita dengan kera hanya soal pengunaan uang. Jika dikantongmu tidak ada uang, maka kau adalah kera dan jika kera pandai mengunakan uang, maka manusia dan kera itu sama. Seandainya Darwin masih hidup, mungkin dia akan mengajari kera menggunakan uang. Apa kau sudah paham?”
“Bisa diberikan contohnya kek,” pinta Emil yang mulai sedikit mengerti.
“Coba kau bayangkan seekor gorila bergaya parlente sambil mengendarai mobil sport dan berhenti di depan sebuah restoran, disaat bersamaan seorang lelaki pemulung yang belum makan selama hampir sembilan hari juga datang ke restoran tersebut mencoba meminta sedikit makanan. Maka percayalah kau, peyalan restoran dengan segera melayani si gorila yang punya banyak uang, ketimbang melanyani manusia miskin yang hampir mati kelaparan,”
Emil pun terpaku mendengar penjelasan tersebut, pemuda itu pun tersadar arti penting uang di zaman sekarang. Mulai dari urusan cinta hingga pemilu, uanglah yang menentukannya. Kini ia mengerti, di abad 21 uang adalah raja di atas segala raja. Andai kera benar-benar bisa mengunakan uang, tentunya status manusia dan kera sama. Seandainya Carles Darwin masih hidup di zaman sekarang, tentu ia akan tertawa puas dengan teorinya.
Melihat Emil masih terpaku dengan penjelasanya, si kakek segera memasukkan uang empat ratus ribu itu ke kantong celananya dan pergi bergegas meninggalkan pemuda tersebut. ‘Semoga kau mengerti bodoh, zaman sekarang yang diutamakan keranisasi, bukan manusiawi,’ guman si kakek dalam hati sambil mempercepat langka kakihnya. ***
Oleh:
YANSEN WAPITA ANWAR